Chereads / Love Another Me / Chapter 7 - 7

Chapter 7 - 7

Martin berdiri mematung. Mulutnya meganga tak bisa menutup. Terkejut akan kehadiran seorang gadis yang tersenyum lebar kepadanya.

Apa Martin tidak salah masuk toilet?

Tapi, jelas-jelas ini toilet pria. Lihat saja barisan urinoar yang menempel pada dinding tepat di hadapan Martin. Hanya toilet pria lah yang memilikinya.

Berbicara mengenai toilet, Martin jadi ingat dengan kegiatan yang sedang ia lakukan sekarang. Cepat-cepat Martin menarik resleting celana levisnya, menutup kembali alat privat yang sempat terekspos walaupun terlambat.

Wajahnya memerah karena malu.

Bukan niat Martin untuk memamerkan kepunyaannya. Dia juga tak menyangka akan bertemu seorang perempuan di toilet pria. Jadi ini bukan salahnya. Tapi tetap saja memalukan, apa lagi gadis itu sempat melihat miliknya. Ingin Martin menggali tanah, lalu mengubur dirinya sendiri hidup-hidup. Tak kuasa jika harus menanggung rasa malu.

"Apa yang sedang kau lakukan di toilet pria?!" Tanya Martin pada gadis asing itu.

"Ya sama sepertimu. Buang air kecil." Jawab gadis itu polos.

" Tapi inikan toilet pria!"

"Aku tau. Memangnya kenapa? Tidak boleh?"

"Tentu saja tidak!"

"Tapi aku juga laki-laki. Mana mungkin kan aku menggunakan toilet perempuan?"

"Laki-laki?!"

Martin memperhatikan tubuh gadis itu dengan seksama, menatapnya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dari manapun ia melihat, jelas-jelas orang di depannya ini adalah seorang perempuan. Tubuhnya ramping bersembunyi di balik hoody oversize berwarna kuning, kulit putih yang mulus, mata besar dihiasi bulu mata nan lentik, serta surai panjang berwarna coklat.

Walaupun gadis itu berusaha berdandan seperti selayaknya seorang laki-laki dengan memasang topi terbalik di atas kepalanya juga headphone yang menggantung di lehernya, tapi tetap saja dia terlihat seperti seorang perempuan. Kecantikannya benar-benar tak terbantahkan, bahkan bisa membuat Martin terpesona sesaat.

Martin menggelengkan kepala, menyadarkan kembali pikiran yang sempat tersihir oleh keindahan dari sosok di hadapannya itu.

"Namaku Deby. Siapa namamu?" Ucap si gadis asing memperkenalkan diri sembari menjulurkan tangannya.

"M-Martin." balas Martin menjabat tangan Deby.

"Ayo kita membentuk grup boyband bersama!" Ajak Deby tiba-tiba dengan nada bicara yang ceria.

"Boyband?"

"Iya boyband. Kau taukan? Grup yang berisikan sekumpulan laki-laki tampan, mereka menyanyi sambil menari."

"Tapi kau kan perempuan. Mana mungkin bisa membentuk boyband."

"Oh ayolah... Orang-orang memang selalu menyebut wajahku feminim, tapi aku ini laki-laki tulen tau." Deby memutar bolamatanya, nampak kesal saat Martin menyebutnya perempuan.

"Wajahmu tampan. Lihat saja ke cermin. Jika kita bersatu membentuk sebuah boyband, kita akan menjadi perpaduan yang sempurna."

Bujuk gadis asing itu sembari membalikkan tubuh Martin menghadap ke cermin yang menempel di dinding atas westafel, berusaha meyakinkan pemuda berkemeja kotak-kotak ungu di sampingnya.

Sebenarnya Martin tedak begitu yakin dengan apa yang dikatakan oleh Deby. Sebelumnya tidak ada yang pernah menyebutnya tampan, bahkan ibunya sendiri pun tidak pernah.

Martin memperhatikan cermin yang memperlihatkan bayangan sesosok pemuda dengan penampilan culun. Matanya berkantung dan kulitnya kusam, persis seperti seorang yang kekurangan tidur karena bergadang setiap malam. Mana mungkin orang seperti itu bisa disebut tampan.

Martin melepaskan diri dari rangkulan tangan Deby di pundaknya. Jujur dia alergi dengan pujian, apa lagi terkait dengan fisik. Mereka yang memuji Martin hanyalah para penjilat yang datang jika ada perlunya saja, lalu meninggalkannya jika dia sudah tidak diperlukan lagi. Sudah berulang kali hal seperti itu terjadi dan kali ini Martin tidak akan tertipu.

"Maaf tapi aku tidak akan terbujuk akan rayuanmu." tolak Martin seraya melangkahkan kakinya menuju pintu.

"Hey! aku tidak berbohong, kau itu benar-benar tampan, hanya kurang stylish saja."

"Kalau begitu carilah orang yang lebih stylish. Lagi pula aku tidak bisa menyanyi." ucap matin menarik gagang pintu, kemudian pergi.

"Tunggu! Jika kau tidak bisa menyanyi atau menari, akan aku ajark-"

BUG!!

Suara benturan keras kepala Deby dengan pintu toilet yang tiba-tiba saja tertutup rapat.

Gadis cantik itu meringkuk di lantai, menahan rasa sakit di wajahnya, menutup kening dan hidung yang memerah dengan kedua telapak tangan. Ia tak kuasa menahan perih di setiap sudut wajahnya, bahkan ujung matanya pun sampai berair.

Tak lama pintu toilet kembali terbuka. Bukan Martin yang membukanya, tapi sesosok pemuda jangkung yang tengah menatap histeris ke arah Deby.

"SEVA!" Panggil Jan pada gadis yang tengah meringkuk kesakitan di lantai.

"Aku mencarimu kemana-mana, ternyata kau ada di sini!"

"Jan?" Seva menengadahkan kepalanya, menatap tepat ke arah Jan.

"Mengapa aku ada di sini?" Tanya Seva menatap sekelilingnya dengan bingung.

Jan meraih tangan Seva, membantu gadis linglung itu untuk berdiri. Mereka bergegas pergi dari dalam toilet, takut jika ada orang lewat yang melihat mereka akan berfikir yang tidak-tidak.

Pikiran seva kalang kabut, wajah dan kepala Seva juga sakit tak tau kenapa. Tiba-tiba saja cairan merah kental menetes dari hidungnya ke lantai, mengejutkan Jan yang melihatnya.

"Hidungmu berdarah!" ujar Jan histeris seraya menunjuk ke arah hidung Seva.

Jan cepat-cepat mengambil saputangan dari saku celana, niat mengelap darah yang mengalir keluar dari hidung Seva. Namun, Seva dengan cekatan menutup hidungnya lebih dulu dengan kedua tangan.

"Sebenarnya apa yang sedang kau lakukan di toilet pria sampai-sampai hidungmu berdarah seperti ini? Dan ada apa dengan pakaianmu?" Tanya Jan berkali-kali sembari menyodorkan saputangan miliknya ke hadapan Seva.

Walaupun Jan seringkali menjahili Seva dan membuat sahabatnya itu kesal, tapi sebenarnya Jan sangat perhatian dan tak mau sahabat kesayangannya itu kenapa-napa.

"Aku tidak tau. Aku tak ingat apapun." jawab Seva mengambil saputangan dari tangan jan, lalu mengelap darah yang terus mengalir dari hidungnya.

"Kau tidak mengingat apapun?" Tanya Jan lagi yang dibalas anggukan kepala oleh Seva.

"Apa jangan-jangan kepalamu terbentur terlalu keras tadi, hingga kau lupa ingatan." Ucap Jan mengingat kembali kejadian di depan gerbang kampus. Saat seorang wanita tua memukul kepala Seva dengan tas jinjingnya hingga Seva terbanting ke aspal. Di situ Seva sempat tak sadarkan diri karena kepala Seva yang terbentur keras.

"Kalau begitu kita harus cepat-cepat mengeceknya ke rumah sakit." ajak Jan seraya menarik tubuh Seva pergi.

"Tunggu jan!" Panggil Seva menghentikan langkah Jan.

Sejenak Seva terdiam seakan tengah memikirkan sesuatu.

"A-aku pikir ini bukan karena kepalaku yang terbentur" ucap Seva mengungkapkan isi kepalanya.

"Akhir-akhir ini kejadian aneh terus saja menimpaku. Dimulai dari paper bag, anak SMA yang terus memanggilku tante, kau yang melihatku pergi besama seorang pria paruh baya, wanita asing yang memanggilku pelakor, dan sekarang, tanpa mengingat apapun tiba-tiba saja aku ada di dalam toilet pria dengan pakaian seperti ini" papar Seva sembari menunjukkan hoody over size berwarna kuning yang sekarang tengah ia pakai.

"sebanaranya ada apa denganku?"