Sudah dua hari berlalu, tapi pikiran Jan masih juga tak bisa fokus.
"Sepertinya ada yang salah denganku."
Kata-kata itu terus saja terngiang-ngiang di kepala Jan. Bukan hanya kata-kata itu saja, tapi juga ekspresi wajah Seva yang tak bisa digambarkan. Resah, bingung, dan ada sedikit kegilaan terpancar dari tatapan matanya.
Laptop dan tumpukan buku di meja Jan abaikan, pikirannya terus bergulat dengan setiap kanehan yang muncul pada Seva akhir-akhir ini. Jan sudah tidak peduli lagi dengan tugas kuliah yang harus ia selesaikan sesegera mungkin, bahkan handphone-nya yang sedari tadi berdering saja ia acuhkan.
Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Seva, ada yang aneh dengan dirinya.
Tapi apa?
Ini masih menjadi misteri bagi Jan.
Jan jadi teringat dengan sosok Kana yang ia temui malam itu. Perempuan itu benar-benar mirip dengan Seva, dari mulai wajah, bentuk tubuh, tinggi, juga suara semuanya sama. Tapi ada yang berbeda, yaitu caranya berbicara dan berdandan yang terlihat lebih dewasa. Mereka seperti kembar. Tidak. Mereka seperti satu orang dengan kepribadian yang berbeda.
Dring~ dring~ dring~
Suara dering handphone yang mengacaukan pikiran jan. Dengan kesal ia mengangkat panggilan telephone-nya tanpa melihat siapa nama orang yang tertulis di layar.
"Halo dengan siapa?" Tanya Jan ketus.
"Hey! Apa bigitu cara kau menjawab panggilan telephone kakakmu sendiri?"
Ini kakak Jan, Ferdinan, seorang psikiater dari salah satu rumah sakit swasta di bandung. Dia tergolong sebagai dokter muda, umurnya baru saja memasuki kepala tiga tahun ini.
"Aku sedang sibuk. Jangan mengganggu!"
"Jangan bohong. Kaka tau yang sedang kau lakukan hanyalah melamun dan tidak melakukan apa-apa."
Jan terkejut dengan tebakkan Ferdinan yang seratus persen akurat. Kadang-kadang kakaknya ini selalu membuat Jan merinding dengan kemampuannya yang bisa membaca tindak prilaku orang lain bahkan lewan telekomunikasi jarak jauh seperti sekarang ini. Maklum saja, Ferdinan kan psikiater. Membaca tindak prilaku seseorang bukanlah hal yang sulit baginya.
"Ada perlu apa?"
"Adikku yang tampan, bisa tolong carikan buku kakak di ruang kerja tidak?" Bujuk Ferdinan.
"Kau menjijikan. Sejak kapan kau memujiku tampan? Biasanya kau menghina-hinaku buruk rupa."
"Ayo lah jan... Kakak sedang perlu-perlunya nih... Bantu carikan ya?"
"Iya iya beisik!"
"Nah begitu dong hehehe."
"Kalau ada maunya saja baru kau memujiku." Jan mendengus kesal, tapi ia tetap melakukan apa yang diperintahkan oleh sang kakak.
Jan bergegas menuju ruang kerja kakaknya di lantai dua tanpa mematikan sambungan telephone antara mereka.
"Bukunya dimana?"
"Ada di rak buku."
"Jan tau, tapikan rak buku kakak banyak. Kasih tau yang spesifik dong." Jan memutar bolamatanya kesal.
"Rak buku seblah kiri, jajaran keempat, paling ujung. Judulnya trauma healing." jelas Ferdinan secara mendetail.
Jan langsung menuju ke letak rak yang disebutkan Ferdinan tadi. Di sana terlihat sebuah buku berwarna putih bercorak kuning dan hitam bertuliskan 'Trauma Healing'.
"Yang warnanya putih corak kuning dan hitam bukan?"
"Ya, yang itu."
Jan menarik buku yang tidak terlalu tebal itu keluar barisan, namun tak sengaja menarik buku lain juga yang terletak tepat di sampingnya hingga terjatuh. Jan merendahkan tubuhnya hendak mengambil dan mengembalikan buku berwarna donker itu ke tempat semula.
Tertulis pada kover buku itu
'multiple personaliti: kepribadian ganda'.
Entah mengapa buku itu terus menarik perhatian jan, membuatnya jadi penasaran dengan isi buku tersebut.
"Jan tolong kirimkan buku itu lewat kurir ya? Ke alamat rumah sakit tempat kakak bekerja." Pinta Ferdinan, namun tak ada jawaban dari Jan karena adiknya itu tengah sibuk membolak balik halaman dari buku berkover donker itu.
"Jan? Apa kau medendengarkanku? Jan?"
"Aku akan mengantarkannya."
"Hah? Yakin kau mau mengantarkannya sendiri? Tidak seperti biasanya." Balas Ferdinan heran.
"Kapan sift-mu selesai?"
"Sekitar satu jam lagi."
"Ok! Aku berangkat sekarang." ucap Jan mengakhiri perbincangan mereka.
Ferdinan menggeleng-geleng kepala memandang ke arah handphne-nya, heran dengan tingkah laku sang adik yang tidak seperti biasa. Membangkang dan tidak mau mendengar. Tapi sekarang dia sangat menurut. Membuat Ferdinan bertanya-tanya, apa adiknya itu sedang kesurupan?. Tapi ya sudah lah, yang penting sekarang Jan mau mengantarkan bukunya, jadi ia tak perlu repot-repot mengeluarkan uang untuk membayar kurir.
*****
"Nih buku kakak." Ucap Jan mengejutkan Ferdinan yang baru saja keluar dari ruangnya.
"Kau ini mengejutkanku saja." Balas Ferdinan sembari mengelus-elus dadanya.
Ferdinan mengambil buku pesanannya dari tangan jan, tak lupa ia berterimakasih kepada Jan yang sudah repot-repot mau mengantarkan.
"Ok! Thank you"
"Lho kok kamu masih di sini? Tidak pulang?" Tanya Ferdinan pada Jan yang masih saja berdiri mematung di sampingnya.
"Kak bisa bicara sebentar?"
"Mau bicara apa?"
"Hmm... Aku bingung harus mulai dari mana. Ceritanya sedikit membingungkan." ucap Jan sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal.
"Kau sudah makan siang?" Tanya Ferdinan yang dijawab gelengan kepala oleh jan.
"Kalau begitu, ayo kita ke kantin."
*****
Jan duduk di bangku kantin paling ujung. Ia menanti kakaknya yang sedang memesankan makanan untuk mereka berdua. Dari jauh terlihat Ferdinan yang datang mendekat sembari membawa dua nampan di tangannya.
"Kok kamu memilih bangku paling ujung? Memangnya seserius apa sih hal yang kau ingin bicarakan?" Tanya Ferdinan, kemudian mendudukkan bokongnya di kursi di depan Jan.
"Begini kak, aku memiliki seorang teman dan beberapa hari terakhir ini banyak sekali kejadian aneh pada dirinya juga aku." Jan mulai menjelaskan.
"Dia orang yang baik dan sopan, tapi suatu saat aku memergokinya pergi dengan seorang pria tua yang tidak aku kenal. Dia berpenampilan seperti seorang yang berbeda, berdandan seperti seorang wanita penggoda yang berbanding terbalik dengan sifatnya yang biasa. Awalnya aku pikir inilah sisinya yang lain, sisi yang selalu ia sembunyikan dariku."
Sambil menikmati makan siangnya, Ferdinan terus menyimak setiap penjelasan sang adik dengan seksama.
"Tapi aku menyadari ada sesuatu hal yang aneh darinya. Dia mengaku tidak mengenaliku dan namanya pun berbeda."
"Apa kau yakin itu temanmu? Mungkin saja kau salah orang."
"Tidak, aku yakin 100%. Aku hafal dengan jelas tinggi dan bentuk tubuhhnya. Jelas-jelas itu dia"
"Mungkin dia berpura-pura tidak mengenalmu, karena malu kau mengetahui rahasianya."
"Mungkin saja, tapi... Esoknya saat aku tanya, ia nampak kebingungan, seperti seseorang yang tidak mengetahui apa-apa, seakan-akan ia lupa ingatan. Aku jadi bingung kak, aku ingin membantunya tapi aku tak tau apa yang harus aku lakukan."
"Lupa ingatan dan kepribadiannya berubah-ubah?" Tanya Ferdinan yang diiyakan oleh jan.
"Aku rasa aku pernah mendengar kasus yang sama." Ferdinan menaruh sedok di samping piringnya, lalu meneguk segelas air sebelum ia melanjutkan penjelasannya. Sedangkan Jan menanti dengan tidak sabar, ingin segera mendengar penjelasan dari sang kakak.
"Dissociative identity disorder atau biasa disebut dengan kepribadian ganda"