Chereads / Love Another Me / Chapter 11 - 11

Chapter 11 - 11

"Jan kita mau kemana?" Tanya Seva pada Jan yang sedari tadi menarik lengannya, menyeret Seva di sepanjang lorong rumah sakit.

Sudah berulang kali Seva bertanya, tapi jawaban Jan hanyalah "Sudah, ikut saja dulu." Jawaban yang tidak menjelaskan apapun.

Sekarang Seva dan Jan sedang berada di salah satu rumah sakit swasta di bandung. Entah untuk apa Jan membawa Seva kesana, tidak jelas, tapi Seva tetap menurut dengan apa yang diperintahkan oleh Jan.

Akhirnya mereka berhenti di depan salah satu ruangan. Tertempel tepat di pintu berwarna putih itu sebuah papan bertuliskan

'Psikiater'

"Untuk apa kita kesini?" Tanya Seva bingung.

"Kakakku bekerja di sini."

"Lalu?"

"Dia ingin bertemu denganmu."

"Hah! Tapi aku tidak mau menikah denganmu"

"Dia kakakku bukan orang tuaku. Berhentilah bercanda." Jan memutar bola matanya kesal, malas meladeni candaan dari Seva.

"Habis dari tadi aku tanya kau hanya menjawab 'sudah, ikut saja'

Tidak jelas.

Eh... Taunya aku dibawa bertemu dengan kakakmu."

"Jika mau melamar pun harusnya aku yang menemui orang tuamu bukan sebaliknya, bagaimana sih kau ini." Balas Jan seraya mendorong tubuh Seva masuk ke dalam ruangan itu.

"Sudah lah ayo kita masuk."

Saat Seva dan Jan masuk ke dalam ruangan itu, mereka disambut oleh dua orang laki-laki. Satu diantaranya adalah pria berumur sekitar awal tiga puluh tahunan yang mengenakan jas berwarna putih, sepertinya dia seorang dokter. Dan yang satunya lagi adalah remaja beseragam SMA yang sempat Seva temui waktu itu.

"Halo tante..." Sapa Febri riang.

"Loh kenapa kamu ada di sini?" Tanya Seva heran akan kehadiran Febri.

"Kak Jan yang menyuruhku ke sini."

"Aku tidak tau kalian akrab." ujar Seva melirik ke arah Jan.

"Tidak, kami tidak akrab." elak Jan.

Diam-diam Ferdinan berjalan mendekati Jan dan berbisik ke telinga adiknya tersebut.

"Dia benar temanmu?"

"Dia temanku, memangnya kenapa?" Jawab Jan ketus.

"Cantik banget loh, yakin dia bukan pacarmu?" Tanya Ferdinan lagi sembari menyikut-nyikut lengan Jan, menggoda sang adik.

"Apa kau ini benar-benar seorang psikiater?" Jan menatap sinis ke arah Ferdinan, namun Ferdinan hanya terkekeh, senang berhasil membuat adiknya itu kesal.

"Ayolah aku hanya bercanda."

"Tapi aku akan senang jika benar dia pacarmu." Lanjut sang kakak seraya melangkahkan kaki menuju tempat duduknya.

"Kalian boleh duduk." Ucap Ferdinan mempersilahkan ketiganya duduk. Seva, Jan, dan Febri kemudan duduk di kursi yang telah disediakan, dengan posisi Seva berada di antara Jan dan Febri.

"Perkenalkan namaku Ferdinan, pskiater di rumah sakit ini dan aku juga kakaknya Jan." Ferdinan memperkenalkan diri seraya menjulurkan tangannya ke hadapan Seva.

"Namamu Seva kan?" Tanya Ferdinan yang dibalas jabatan tangan oleh Seva.

"Aku dengar dari Jan akhir-akhir ini kau memiliki masalah ya?"

"Ya, sepetinya, tapi aku pun tak paham.

Akhir-akhir ini aku sering sekali mengalami sakit kepala dan tubuhku pun sakit-sakit.

Tapi tenang saja aku sudah minum obat"

"Apa ada gejala lain seperti amnesia?"

"Mmm... Terkadang aku lupa dengan apa yang telah aku lakukan. Mungkin aku terlalu banyak bergadang, jadi fikiranku tidak bisa fokus dan berakhir dengan lupa." Papar Seva.

"Apa kau sering bermimpi buruk saat tidur?"

"Ya."

"Mimpi seperti apa?"

"Tidak terlalu jelas, tapi jika tidak salah itu api." Jawab Seva mencoba mengingat-ingat.

Seva mengernyitkan dahi, ia tidak paham mengapa Jan membawanya ke psikiater. Dan tak paham mengapa ferdinan membanjiri Seva dengan pertanyaan-pertanyaan.

"Maaf, tapi sebenarnya untuk apa aku dibawa ke sini ya?" Tanya Seva yang masih kebingungan.

Ferdinan melepas kaca matanya, menyilangkan kaki Kanan ke atas kaki kirinya. "Jan yang memintaku untuk memeriksamu"

"Jan? Untuk apa?"

Ferdinan mengarahkan pandangannya kepada Jan, menaikkan dagu, memberi sinyal kepada sang adik untuk menjelaskan.

"Ok, aku akan menjelaskannya padamu, tapi janji kau tidak akan marah kepadaku."

"Kenapa aku harus berjanji?"

"Kau ingin mendengarkan penjelasanku atau tidak?"

"Iya iya, aku janji. Jadi cepatlah ceritakan padaku."

Jan menarik nafas panjan lalu menghembuskannya perlahan, berusaha menyusun kata-kata dalam kepalanya.

"Kemarin aku menguntitmu."

"Kau menguntitku?!" Seva berdiri dari duduknya, terkejut mendengar perkataan Jan.

"Tenang dulu. Biarkan aku menyelesaikan penjelasannku." Jan mengangkat kedua tangannya ke arah Seva, berusaha untuk menenangkan gadis itu.

"Pantas saja kemarin aku merasakan ada seseorang yang terus mengikutiku, ternyata itu kamu" gerutu Seva kesal, lalu duduk kembali di kursinya.

"Aku sadar akhir-akhir ini kau berperlaku aneh, bersikap selayaknya orang lain, dan parahnya lagi kau sering kali melupakan semua tindakan yang telah kau lakukan sebelumnya. Aku jadi curiga dengan perilakumu itu, karen itulah aku menguntitmu selama seharian penuh." jelas Jan berusaha memaparkan sesederhana mungkin.

"Aku kira kau pikun atu mungkin berhalusinasi, tapi ternyata tidak. Kau benar-benar menjadi orang lain di saat-saat tertentu. Menjelang malam sikapmu berubah menjadi seperti seorang tante-tante penggoda dan itu sangat-sangatlah aneh."

"Apa aku benar-benar bertingkah seperti itu?" Tanya Seva.

"Yap, aku sudah mengeceknya sendiri dan salah satu saksinya adalah bocah ini." jawab Jan seraya menunjuk kearah Febri yang sedari tadi bengong menyimak pembicaraan.

"Tunggu. Nama tante Seva? Bukan Kana?"

Febri benar-benar kebingungan mendengar penjelasan dari Jan, sama halnya dengan Seva. Apa yang diceritakan Jan terdengar tidak masuk akal namun dari ekspresi wajahnya sangat meyakinkan.

"Kalian pasti bingung dengan penjelasan dari Jan bukan?" Seva dan Febri mengangguk meng-iya-kan perkataan Ferdinan.

"Singkatnya begini...

Seva, kau mengidap Dissosiatif Identity Disorder atau biasa disebut sebagai kepribadian ganda"

"Kepribadian ganda?"

"Kau memiliki dua atau lebih kepribadan lain dalam dirimu."

"Aku memiliki kepribadian lain?"

"Dari hasil pengamatan Jan selama memata-mataimu kemarin, baru satu alter yang ia temui. Namanya Kana, seorang wanita berumur 30 tahun dan ia adalah seorang pelakor. Dan Ada kemungkinan kau masih memilik keprbadian lain dalam drimu."

Seva terdiam sejenak, tangannya memijat kepalanya yang pening, berusaha menjernihkan pikiran.

"Anu... Maaf... Apakah separah itu?"

"Ini baru diagnosis awal, cukup sulit untuk mendiagnosis kepribadian ganda, karena tidak ada tes laboratorium khusus untuk mendiagnosis kepribadian ganda. Tapi kita bisa menjalani beberapa tes lain seperti pemeriksaan fisik dan tes psikiatri. Namun jika benar kau mengidap ganguan kepribadian ganda, maka kau harus cepat-cepat mendapatkan perawatan."

"Kenapa? Apa sebegitu buruknya dampak dari penyakit ini?" Tanya Seva cemas.

"Bisa dibilang begitu." Jawab Ferdinan membuat Seva, Jan, dan Febri meneguk ludah berat. Penasaran akan dampak dari gangguan kepribadian ganda yan derita oleh Seva.

"Kita tidak tau ada berapa dan seperti apa keprbadian lain yang ada pada dirimu. Mungkin saja salah satu diantara mereka berbahaya bagi keselamatan dirimu dan orang lain.

Dan kemungkinan terburuknya adalah...

Kematian."