"Bisa kah kau berhenti mengikutiku, Jan?" Protes Seva pada Jan yang terus saja mengikuti kemanapun ia pergi. Bahkan saat akan berangkat kuliah pun, setengah jam sebelum kelas dimulai Jan sudah menunggu di depan kosan Seva, menjemputnya untuk berangkat bersama.
"Aku hanya melakukan tugasku untuk mengawasimu, Seva. Harusnya kau berterimaksih kepadaku karena mau melakukan hal merepotkan ini." balas Jan ketus.
"Ya memang, tapi haruskah kau mengikutiku ke toilet?" Seva memutar bola matanya kesal.
"Kau juga seharusnya berterimakasih kepadaku, karena aku mau menemanimu pergi ke fakultas ilmu komputer yang jaraknya cukup jauh dari gedung fakultas kita."
"Ya, ya, ya terimakasih nona Seva. Lagipula fakultas ini tidak begitu jauh dari gerbang utama, kita bisa langsung pulang setelah ini."
" Ya sudah kalau begitu, cepat selesaikan pekerjaanmu di sini agar kita bisa cepat pulang. Aku akan menunggumu di depan toilet." ucap Seva kemudian membuka pintu toilet lalu masuk ke dalam.
"Awas kau jangan kabur!" Terak Jan dari luar toiet yang dibalas teriakan juga dari dalam toilet oleh Seva. "Berisik!"
Jan bergegas pergi menuju ruang lab komputer di lantai 3 gedung. Berniat untuk mengantarkan sebuah paket milik temannya yang berkuliah di jurusan komputer. Jan sempat kesulitan untuk menemukan ruangan itu, namun tak lama ia menemukannya, juga menemukan sang kawan yang sudah menunggu Jan cukup lama di depan ruang lab tersebut.
"Kau lama."
"Maaf aku sempat kesulitan untuk menemukan ruangan yang kau maksud."
"Hmm... Terimakasih Jan, maaf aku sudah merepotkanmu."
"Tak apa. Kalau begitu aku pergi dulu ya? Dah..."
Jan dengan terburu-buru berlari menuruni tangga. Kakinya yang panjang bisa dengan cepat melewati dua sampai tiga anak tangga dalam satu langkah sehingga ia bisa sampai ke tempat Seva menunggunya dengan lebih cepat.
Hanya dalam beberapa menit saja Jan sudah sampai di toilet yang tadi di masuki oleh Seva, namun sepertinya Seva belum juga keluar dari dalam sana. Mau tak mau Jan harus menunggu Seva hingga ia selesai.
Sudah lima belas menit menunggu, namun Seva tak kunjung keluar. Di kala orang-orang silih bergantian keluar masuk toilet, tapi batang hidung Seva belum juga terlihat.
Apa Jan salah toilet?
Tapi Jan rasa tidak, karena ia yakin ini toilet yang benar dlihat dari posisinya yang berdekatan dengan pintu keluar fakultas. Jan mengingatnya dengan jelas.
Lama ke lamaan Jan jadi khawatir. Jan takut terjadi sesuatu kepada Seva di dalam sana. Ingin mengeceknya, tapi manamungkin Jan masuk ke dalam toilet wanita.
Jan buru-buru berlari ke arah pintu toilet, kala melihat seseorang keluar dari sana.
"Maaf, apa kau melihat seorang gadis berambut panjang di dalam sana? Rambutnya berwarna coklat, panjangnya hingga ke pinggul." Tanya Jan yang dibalas gelengan kepala oleh gadis itu.
Seva tidak ada di dalam toilet?
Bukankah Seva sudah bilang akan menunggu Jan di depan toilet. Lalu kemana dia pergi?
Atau jangan-jangan....
Oh tidak, inilah yang paling ditakutkan oleh Jan. Bagaiman jika alter lain milik Seva muncul saat Jan tidak ada di sekitarnya. Bisa gawat jadinya.
Jan harus cepat-cepat mencari Seva, tapi sebelum itu, Jan akan memastikannya dengan menelephone Seva terlebih dahulu.
Jan menekan nomor Seva yang tertera di layar handphone-nya. Mulai tersambung dan berdering. Namun rasanya aneh, Jan seakan mendengar dering handphone tak jauh dari tempat ia berdiri.
Dring~ dring~ dring~
Jan mencari-cari dari mana arah sumber suara itu berasal. Jan sangat mengenali suara dering handphone ini, suara derinng handphone Seva. Jan pikir Seva sedang ada di dekatnya, tapi ternyata tidak.
Seketika atensi Jan beralih menuju benda persegi panjang yang tergeletak tepat di depan toilet pria, yang letaknya bersampingan dengan toilet wanita. Itu handphone milik Seva. Mengapa ada di depan toilet pria?
Jan langsung mengambil handphone itu, lalu mengeceknya depan belakang, memastikan apa itu benar milik Seva. Casing putih dengan layar berukuran 6,5 inci. Walpapernya pun bergambar snoopy, tokoh kartun favorit Seva. Fix handphon ini benar-benar melik Seva.
Senyap-senyap Jan mendengar suara dari dalam toilet. Seperti suara dua orang yang tengah beradu argumen dan salah seorangnya terdengar seperti suara seorang perempuan. Mendengar itu Jan jadi curiga. Dibuka lah pintu toilet itu oleh Jan dan menampakkan seorang pemuda yang tengah berdiri memegang gagang pintu salah satu bilik di sana sambil tersenyum ke arah Jan. Tapi anehnya wajah pemuda itu ditutupi oleh selaput berwarna putih yang sepertinya itu masker wajah.
Ingin Jan bertanya, tapi saat ini hal itu tidak penting, yang lebih penting adalah dimana Seva sekarang berada.
"Boleh aku bertanya?" Orang itu memiringkan kepala sambil tersenyum.
"Apa kau melihat seorang gadis berambut panjang masuk ke dalam sini?" Jan lanjut bertanya dan orang di depannya itu hanya menggeleng-geleng kepala.
"Oh tidak ya?"
Sejenak mereka diam saling memandang.
"Anu... Itu..." Jan menunjuk ke arah wajah si pemuda, heran namun penasaran. Namun si pemuda hanya menengadahkan tangannya seakan bertanya "ada apa? Apa ada yang salah?"
"Ah... Tidak, tidak jadi. Jaman sekarang menjaga penampilan memang penting kok." ujar Jan sambil tersenyum, mengurungkan diri untuk bertanya, lalu memilih untuk menutup pintu dan pergi.
"Tapi haruskah di kampus?" Gerutu Jan kecil, lalu menghilang dari balik pintu.
"Apa dia sudah pergi?" Tanya Deby yang kepalanya muncul dari atas bilik yang desainnya sengaja tidak di tutup.
"Kau sudah gila ya? Untuk apa aku menggunakan masker wajah di toilet kampus?
aku sangat malu saat orang itu menatap aneh kepadaku tau." Protes Martin tak terima dengan ide absurd Deby.
"Ah kan maskernya jadi retak."
"Aku tidak bisa memastikan apa kau menggunakan setiap perawatan kulit yang ku berikan jika kau menggunakannya di rumah, jadi lebih baik jika kau menggunakannya saat di kampus, agar lebih mudah untuk aku awasi."
"Kau pikir apa gunanya handphone? Pajangan? aku bisa mengirimi mu bukti foto bukan?"
"Oh kau benar juga."
Deby membenarkan perkataan seva dan langsung memeriksa handphone-nya di dalam saku celana, namun saat dicari handphone Deby tidak ada.
"Lho kok handephone-ku tidak ada?"
"Coba kau periksa saku celanamu yang lain." Titah Martin yang langsung dituruti oleh Deby.
"Di saku satunya lagi pun tidak ada. Kemana ya? Apa aku lupa menyimpannya ya?" Deby terus mencari-cari handphone-nya setiap saku yang menempel di pakaiannya.
"Kau ini teledo sekali sih." ucap Martin seraya menyentuh-nyentuh masker wajahnya yang retak.
"Aku tidak tau skin care semahal ini. Isi dompetku langsung terkuras habis tanpa sisa.
Huhu... Uang makanku....
Mungkin aku akan mulai berpuasa besok" rengek Martin meratapi isi dompetnya yang ludes dibelanjakan skin care via online oleh Deby.