Jan menggenggam erat pergelangan tangan Seva, berusaha menarik ke luar tubuh gadis itu dari mobil. Dari dalam mobil seorang pria paruh baya juga menarik Seva, mempertahankan Seva agar tetap di sampingnya.
Jan mempererat genggamannya membuat sang empunya meringis kesakitan "Aw aw aw!". Sadar telah menyakiti Seva, Jan lantas memperlonggar genggamannya.
"Apa yang kau lakukan di sini Seva?" Tanya Jan pada orang dihadapannya, karena seingat Jan, tadi siang Seva mengatakan bahwa malam ini dia akan mengerjakan tugas di indekos, tapi nyatanya sekarang Seva sedang pergi berkeliaran malam-malam dengan seorang pria tua berjas mewah nampak berkelas.
Pakaian Seva begitu terbuka dengan dres mini merah dan rambut yang digulung memperlihatkan tengkuknya, juga riasan wajahnya pun tebal. Ini tidak seperti Seva yang biasanya, Seva yang selalu menggunakan pakaian tertutup seperti kemeja lengan panjang dan celana levis panjang, rambutnya pun selalu ia biarkan terurai.
Sebenarnya ada apa dengan Seva?
"Seva? Siapa dia? Dan kau siapa?" gadis di depan Jan itu memandang heran, begitu pun dengan Jan, ia bingung mengapa Seva bertindak seakan dia tidak mengenali jan?
"kau mengenal pemuda itu Kana?" Tanya pria tua di dalam mobil memandang sinis ke arah Jan.
"tidak aku tidak mengenalnya" balas Kana menggelengkan kepala.
"namaku Kana, bukan Seva. Lagi pula kau ini siapa?"
"Kana? Siapa itu Kana? apa kau ngelindur?"
Begitu banyak pertanyaan di kepala Jan terhadap tingkah laku tidak masuk akal Seva, terutama alasan mengapa sahabatnya itu berbohong kepadanya.
"kau ini bicara apa? masa kau tidak mengenali sahabatmu sendiri? kau pasti sedang membodohiku ya?" tanya Jan berulang-ulang, pikirnya Seva sedang berbohong kepadanya.
Kana terdiam sejenak, memerhatikan dengan seksama wajah pemuda di depannya.
"ah ya ya ya aku mengingatmu" ucap Kana merekahkan senyum di wajah Jan.
"kita pasti tidak sengaja bertemu di jalankan?" ucap Kana membuat Jan menepuk jidat. masa iya Seva tidak mengenali temannya sendiri?
"Apa kau mabuk? baumu seperti alkohol"
"Hmm entahlah?"
"Ini berapa?" tanya Jan mengangkat jari telunjuknya tepat di hadapan Kana, membuat gadis itu memicingkan mata memfokuskan pandangannya kepada jari Jan yang berbayang.
"Mmm tiga."
"Ok kau mabuk."
Jan meraih tangan Kana lalu menyeretnya pergi. Namun Langkah Jan terhenti ketika seorang pria menahan genggamannya.
"Mau kau bawa kemana gadisku?"
"Gadismu? harusnya kau ingat anak istrimu di rumah, pak tua."
"Jangan ikut campur urusan orang."
"Ooh jangan ikut campur ya?" Jan memasang wajah menantang, mendekatkan wajahnya kehadapan si pria tua.
"Dari yang kulihat plat mobilmu berwarna merah. Biar ku tebak. Pasti kau pejabat pemerintahan kan?" Tanya Jan membuat tubuh sang pria tua terhentak.
Jan menyeringai lebar mengetahui tebakannya benar.
"Kau kira apa yang akan orang-orang pikirkan ketika melihat seorang pejabat pemerintah bersama seorang gadis muda malam-malam begini hah?".
Pria tua itu meneguk ludahnya berat dan mula berkeringat dingin. Pikirnya jan ada benarnya juga. Bisa gawat jadinya jika dia sampai tertangkap kamera sedang berduaan dengan seorang gadis muda, bisa-bisa karirnya sebagai anggota DPR bisa hancur setelah banyaknya pengorbanan yang ia lakukan dengan menyogok sana-sini untuk mendapatkan posisi yang seperti sekarang ini.
Pria itu melepaskan genggaman tangannya, mendercikkan lidah, lalu berbalik kembali ke dalam mobil lamborghini yang terparkir di pinggir jalan.
Kana yang sadar akan di tinggal oleh sang kekasih kemudian memberontak berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Jan.
"sayang tungu aku!" Teriak kana memohon sembari menarik jari-jemari jan yang melingkari pergelangan tangannya. Sedikit sakit tapi itu tak masalah selagi ia bisa melepaskan diri dan menyusul sang kekasih di mobil.
"SEVA!!" panggil Jan membuat orang yang dipanggil berbalik dan melangkah kembali ke arah Jan.
"Satu, namaku Kana bukan Seva." ucap Kana sambil menunjuk tepat ke arah hidung mancung Jan.
"Dua, jangan urusi urusan orang lain, karena aku pun tidak mengenalmu!" lanjut Kana lalu bergegas pergi memasuki mobil.
Saat hendak menutup pintu mobil, tiba-tiba saja sebuah tangan muncul menahan pintu untuk tertutup. Jan melempar jaket miliknya ke arah Kana, kemudian melepaskan tangannya dari pintu.
"gunakan jaketku, pakaianmu terlalu minim di malam yang dingin ini" ucap Jan dan Kana menatapi sebuah jaket berwarna biru di tangannya, kemudian pintu mobil tertutup membawa Kana pergi meninggalkan Jan sendiri.
Jan menghela nafas panjang melihat kepergian sang sahabat dari hadapannya. dia menggaruk kepala kesal, kecewa tidak bisa membawa Seva kembali. disisi lain Kana tengah menatapi jaket yang diberikan Jan sambil terus mengingat tatapan sendu pemuda tadi. ada perasaan aneh dari dalam dirinya yang membuat kana iba.
"Dasar tidak tau diri! berani-beraninya rakyat biasa ikut campur urusank-" gerutu si pria tua terhenti ketika sebuah motor bebek berwarna merah menyalip mobilnya membuat kepalanya terbentur jok mobil.
"Apa lagi sih?!" protes si pria tua kesal kepada sang supir.
"A-anu... itu... tuan..." jawab sang supir menunjuk ke arah depan dimana seorang pemuda memarkirkan motornya tepat di depan mobil hingga menghalangi jalan.
"Apa dia tidak punya otak?!"
Pemuda itu turun dari motornya dan dengan tergesa-gesa menghampiri mobil, kemudian mengetuk-ngetuk kaca mobil keras.
"TANTE! TANTE! BUKA PINTUNYA TANTE!". Kana terkejut melihat siapa orang yang sedang mengetuk-ngetuk kaca mobil itu.
"Febri!"
"Sapa lagi dia?!" tanya pria di sebelah Kana dengan nada kesal.
"Apa dia salah satu dari lelakimu?".
Mulut Kana bergetar dan kepalanya pusing tak tau harus menjawab apa.
"D-dia hanya teman..."
"TAK USAH BERBOHONG! DASAR WANITA MURAHAN!" maki si tua sambil terus berteriak.
Kana terkejut bukan main mendengar kata-kata hinaan dari pria dihadapannya. Dia tau bahwa dirinya berkeliaran mencari pria hanya untuk sekedar mendapatkan uang. Tapi ingat, tidak pernah sekalipun ia menjual tubuhnya dengan meniduri siapapun orang yang sanggup membayarnya. Ia masih trauma dengan kejadian di masa lalu.
Kana meremas jaket milik Jan erat, melampiaskan kekesalannya sambil menggigit bibir bagian bawah.
Lagi-lagi Kana mengingat tatapan sendu Jan. Masih berpikir mengapa pemuda yang tidak dikenalnya itu begitu peduli kepadanya. Membuat Kana jadi merasa bersalah.
"Sayang, teganya kau berkata seperti itu." ucap Kana sembari menahan air mata.
"jangan panggil aku sayang dasar jalang! aku tidak suka dengan wanita murahan yang menjual diri hanya untuk mendapatkan uang" balas pria tua itu menyakiti hati Kana.
Bagaimana bisa dia berkata seperti itu? padahal pria tua itu sendiri lah yang terus memaksa Kana untuk menjadi wanita simpanannya.
Kesabaran Kana sudah habis. dia sudah muak mendengar semua makian-makian yang menyayat hati, termasuk wajah jelek dan keriput pria di hadapannya. Kana sudah tidak peduli lagi dengan isi dompet si tua bangka, sudah cukup harga dirinya diinjak-injak.
Kana menampar pria itu keras, membuka pintu mobil, lalu membantingnya sekuat tenaga.