Kana memandangi langit malam penuh bintang, menghirup segarnya udara mencoba menenangkan diri dari segala hiruk-pikuk kehidupan.
Wanita itu tidak menyalahkan siapapun atas kekacauan yang ada, ia sadar semua ini salahnya. Menjual hidupnya demi uang adalah kesalahan terbesar.
Walaupun sedari awal Kana tau bahwa uang bukanlah sumber dari segala kebahagiaan, tapi tetap saja ia melakukan gaya hidup bodoh ini.
Sekarang Kana tengah duduk di lapangan basket dekat taman kota . Febri lah yang membawa Kana ke sini dengan motor bebek merah kesayangan pemuda itu.
Kana tidak protes, asalkan Febri membawanya ketempat sunyi yang jauh dari kegaduhan. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana bisa Febri menemukan Kana?
Apa pemuda itu membuntutinya atau bagaimana?
Begitu banyak pertanyaan terlintas dipikiran Kana saat ini.
"Tante sudah tenang?" Tanya Febri menghampiri Kana dengan sebuah bola basket di tangannya.
Kana mengangguk, tapi air wajahnya masih terlihat sedih. Febri menyadari hal itu, ia kemudian mendudukan bokongnya di samping Kana, berharap bisa sedikit menenangkan sang pujaan hati.
"Katakan padaku, bagaimana kau bisa menemukanku, Febri?" Tanya Kana penasaran.
"Saat hendak pulang, aku tidak sengaja melihat tante dan teman tante bertengkar di pinggir jalan, lalu aku membuntuti mobil mewah yang tante tumpangi." jelas Febri.
"Teman? Siapa?"
"Laki-laki berjaket biru itu teman tante kan?"
"Dia bukan temanku." jawab Kana yang membuat Febri kebingungan.
"Tapi tadi siang tante berjalan bersamanya"
"Aku tidak ingat."
"Tante aneh, tadi siang pun tante mengatakan bahwa kau tidak mengenalku. Apa tante sudah pikun?" Ucap Febri membuat Kana kesal.
"Aku tidak setua itu sampai-sampai mengidap pikun, jadi jaga perkataanmu!"
Akan tetapi... Setelah kana pikir-pikir lagi, perkataan Febri ada benarnya juga. Kana menyadari ada beberapa saat dimana ia tidak mengingat apapun. Kebanyakan ingatan Kana hanyalah seputar kehidupan malam, tak pernah sekalipun ia mengingat pernah berkeliaran di sing hari.
Awalnya Kana pikir ia tertidur di siang hari dan berkeliaran di malam hari, tapi Kana sadar ada sesuatu yang ganjal di pikirannya. Salah satunya adalah pemuda berjaket biru tadi.
Pemuda yang tak ia kenal mengaku bahwa dia adalah teman Kana dan sekarang Febri yang mengatakan bahwa Kana pernah berjalan bersama laki-laki pemilik jaket biru itu tadi siang.
Kana jadi ingat dengan tatapan sendu si pemuda berjaket biru. Jika memang mereka tidak saling kenal, mengapa pemuda itu menatap sedih kepadanya?
"Tante pasti menyukai langit malam." tebak Febri mengganti topik pembicaraan.
"Mengapa kau berfikir seperti itu?"
"Tante selalu menatap langit ketika berfikir."
"Hanya kebiasaan, tapi entahlah mungkin aku memang menyukai langit malam."
"Kenapa?"
"Kau ini banyak bertanya ya?" Ucap Kana jengkel dengan pertanyaan Febri yang tanpa akhir.
Febri mengangguk membenarkan perkataan Kana. Teman-temannya di sekolah pun juga berkata seperti itu. Bawel dan selalu ingin tau urusan orang. Febri tidak pintar, dia rata-rata, namun pikirannya selalu diliputi rasa penasaan. Wajar untuk remaja seumurannya.
"Aku jarang sekali melihat langit siang, atau mungkin tidak pernah." ucap Kana, namun Febri nampak tak memahami apa yang di ucapkan Kana. Walaupun begitu, Febri tetap menyimak apa yang di katakan sang tante dengan seksama.
"Aku harap aku juga bisa melihat langit siang." ucap Kana sambil tersenyum menghadap langit.
"Jika aku bisa membawa tante jalan-jalan di siang hari, apa tante mau jadi pacarku?"
"Hey mangapa kau membawa-bawa hal itu sekarang?"
"Ayolah tante..., aku sudah putus dengan semua pacarku dan menghapus semua kontak mereka, apa tante tidak mau melihat perjuanganku?"
"Itu sih urusanmu." ucap Kana diiringi tawa.
"Tante..." Febri memasang wajah memelas berusaha membujuk Kana sekuat tenaga.
"Kau ini keras kepala sekali ya? Baiklah akan ku turuti permintaanmu."
"Benarkah?!"
"Itu pun kalau kau bisa hahaha."
"Deal ya?" Tanya Febri yang dibalas senyuman oleh Kana.
Kana mengambil handphone dari dalam tasnya, lalu mengetikkan suatu pesan di sana.
"Apa yang sedang tante lakukan?" tanya Febri penasaran.
"Mengirim bukti perselingkuhan si tua bangka brengsek itu pada istrinya."
"Untuk apa?"
"Balas dendam." jawab Kana singkat, kemudian ia memperlihatkan isi chat itu pada Febri sebelum mengirimnya, lalu menekan tombol kirim tanpa penyesalan.
"Sekarang kita impas." ucap Kana tanda perjanjian sudah disetujuai kedu belah pihak.
Febri senang permintaannya akhirnya di setujui Kana, tapi yang membuat Febri lebih senang lagi adalah melihat senyuman sang pujaan hati yang kini telah kembali menghiasi wajah cantik Kana.
*****
Pagi itu Seva tengah asik mengerjakan tugasnya di perpustakaan universitas, menyelesaikan satu per satu soal yang diberikan oleh Prof. Hendra. Tugas yang tidak terlalu sulit namun tak mudah, hanya memerlukan beberapa referensi yang sesuai, lalu aplikasikan. Tidak sulit bagi mahasiswi berprestasi seperti Seva.
Suasan perpustakaan begitu tenang saat itu, membuat konsentrasi Seva semakin meningkat. Namun seketika konsentrasinya buyar kala Jan memukul meja Seva dengan keras.
BRAK!!!
Tubuh Seva terperanjat, terkejut dengan kehadiran Jan yang sangat tiba-tiba. Orang-orang di sekitar Seva menatap ke arahnya, merasa terganggu dengan kegaduhan yang dibuat jan.
"Apa yang kau lakukan Jan?"
"Jelaskan padaku Seva!" Ucap Jan dengan wajah serius.
"Apa maksudmu?"
"Jika kau memerlukan uang katakan padaku, jangan sampai kau menjual diri pada laki-laki hidung belang!"
Seva terkejut dengan apa yang Jan katakan. Dengan cepat Seva menarik Jan keluar, takut akan pandangan orang-orang yang sekarang tengah menatap sinis ke arah mereka berdua.
"Kau itu kenapa sih jan? Jangan coba-coba menyebar gosip yang tidak-tidak"
"Harusnya aku yang tanya begitu. Kau itu kenapa Seva? Jika kau memerlukan uang, katakan padaku, seberapa banyakpun akan aku usahakan, tapi jangan sampai kau menjual dirimu sendiri pada pria tua hanya demi uang."
"Apa maksudmu? Aku tidak paham dengan alur pembicaraan ini."
"Kemarin malam kau pergi dengan seorang pria tua kaya raya kan?"
"Tadi malam? Tadi malam aku mengerjakan tugasku di kamar kost."
"Jangan berbohong! Lalu mengapa kau masih mengerjakan tugasmu itu pagi ini?"
"Karena aku ketiduran."
Jan menggaruk kepalanya kesal, lelah dengan segala kebohongan Seva yang bertingkah seakan-akan tidak tau.
Jelas-jelas Jan melihat Seva pergi dengan seorang pria paruh baya tadi malam, tapi masih juga Seva mengelak.
"Apa kau tidak salah orang?" Tanya Seva seketika mengingatkan Jan akan sebuah nama yang sempat ia dengar kemarin malam.
"Kana!"
"Siapa Kana?" Tanya Seva, namun Jan hanya terdiam seakan tengah memikirkan sesuatu.
Wajahnya sama, tinggi serta bentuk tubuhnya pun juga sama. Yang berbeda hanyalah cara mereka berdandan dan berpakaian. Jan mulai berfikir, apakah orang yang Jan temui kemarin benar-benar Seva atau orang lain yang sangat mirip dengan Seva?