Sejak umur belia, aku memiliki dua cita-cita. Orang lain pernah memberikan pernyataan jika cita-citaku tersebut adalah keinginan paling mulia di Dunia. Itu menurut pernyataan orang lain. Walaupun menurutku tidak juga.
Malah, aku sempat berpikir jika keinginanku tersebut merupakan keinginan paling bodoh. Ketika setiap orang dapat mengatakan ingin menjadi apa mereka dimasa depan. Aku selalu memilih diam karena tak mau cita-citaku dianggap konyol oleh sebagian orang lain.
Memilih diam dan menjawab dengan tidak tahu. Karena jujur saja, jika cita-cita yang mereka maksud adalah merujuk pada sebuah profesi aku tidak punya. Tidak ada profesi yang benar-benar aku inginkan dalam hidupku. Tidak ada satupun bagian dalam profesi yang ingin aku raih.
Aku senang belajar ketika berada dibangku kuliah. Aku bahkan berusaha mati-matian agar mendapat nilai tinggi. Usaha yang sebenarnya aku sendiri juga tidak tahu untuk apa. Ketika mereka berbondong-bondong berusaha keras agar cita-citanya terwujud, maka lain hal denganku. Aku berjuang keras tapi tidak tahu untuk apa.
Aku hanya berpikir jika biaya masuk universitas swasta yang menjadi pilihanku masuk dalam kategori tinggi. Tak mau membuat kedua orangtuaku menyesal, aku hanya belajar agar mendapat nilai bagus dan kedua orang tuaku tidak menyesal. Begitu juga dengan aku. Aku berpikir jika dengan mendapat nilai bagus sudah cukup untuk mereka.
Mungkin orang lain akan melihatku seolah memiliki tujuan hidup. Berjuang keras seperti hari ini adalah menjadi penentu dimasa depan. Mereka tak tahu saja jika aku melakukan hal itu hanya karena tidak mau membuat orang tuaku menyesal sudah membayar biaya kuliahku dengan nominal yang tidak sedikit.
Aku diam saja ketika teman-temanku mengatakan apa keinginan mereka dimasa depan. Jelas saja aku juga punya. Hanya saja, keinginan mereka lebih mengarah lada profesi, sedangkan aku pada status dan tugas.
Ketika mereka ingin menjadi pembawa acara, anchor berita, public relation, dan lain-lain. Dalam hati aku berkata jika cita-citaku adalah menjadi istri dan ibu. Hanya itu cita-citaku sejak dulu.
Katanya, untuk menjadi istri dan ibu tidak perlu belajar tinggi-tinggi. Untuk apa? Toh pada akhirnya ilmu yang sudah dipelajari hanya akan terbuang sia-sia. Menurutku tidak. Mendapat gelar dibelakang nama merupakan suatu kehormatan. Walaupun nantinya aku hanya akan berada di rumah dengan segala pekerjaan rumahnya.
Kalau begitu, asisten rumah tangga juga bisa. Bukan begitu. Seseorang berkata jika kecerdasan anak tergantung pada ibunya. Aku percaya itu. Aku tidak pintar sebenarnya. Hanya saja, aku mau anakku bangga karena ibunya adalah seorang sarjana.
Paling tidak, aku memiliki gelar dibelakang namaku walau pada akhirnya aku hanya akan berakhir di dapur. Tak masalah bagiku. Cita-citaku menjadi istri dan ibu bukan tanpa alasan. Tak ada salahnya menjadi wanita karir yang juga berstatus sebagai istri dan ibu memang. Bahkan dimataku mereka adalah wanita hebat yang berhasil membagi waktu. Antara mimpi dan tugas.
Namun, itu bukan aku. Dalam kamusku, ada istilah "hidup adalah pilihan". Aku menyadari ketidak mampuanku untuk membagi waktu dengan baik. Aku hanya akan bisa fokus pada satu hal saja. Dan aku memilih menjadi istri dan ibu saja.
Keinginanku tidak dapat dikatakan sederhana. Karena tanggung jawabnya juga tidak kalah besar dengan wanita karir diluar sana. Hanya saja, tugas yang kami kerjakan berbeda. Wujud tanggung jawabnya juga berbeda.
Ketika mereka bertanggung jawab dengan atasan mengenai bagaimana pekerjaan mereka. Seberapa baik hasil kerja mereka. Berapa banyak keuntungan yang mereka dapatkan dan banyak hal lain. Maka aku bertanggung jawab langsung dengan Tuhan.
Hanya saja, yang menilaiku bukan atasan. Melainkan suami, anak, serta orang-orang disekitarku. Mereka akan menilai sebarapa becus aku menjadi ibu dan istri. Seberapa besar pengaruhku terhadap keluarga. Ibuku berkata jika istri adalah pusat keluarga. Katanya, bagaimana bentuk keluarga itu adalah sebagaimana istri bersikap. Aku percaya karena memang begitu.
Aku ingin menjadi orang yang mengikuti perkembangan anakku kelak selama dua puluh empat jam. Aku ingin menjadi orang yang mengurus rumahku dengan tanganku sendiri. Aku ingin menanti kedatangan suamiku sepulang kerja dengan wajah lelah sembari bercerita bagaimana ia menghadapi hari ini. Aku ingin menjemput anakku sembari menuju rumah, ia akan bercerita ada apa saja di Sekolahnya hari ini. Bagaimana teman-temannya bersikap dimatanya. Aku menginginkan hal itu.
Aku tidak tahu apakah itu keinginana sederhana atau keinginan yang tinggi. Hanya saja, aku berpikir tidak semua wanita memiliki keinginan yang sama denganku. Ketika keinginan mereka adalah menjadi salah satu bagian petinggi dari sebuah instansi, maka aku hanya ingin menjadi istri seorang laki-laki dan ibu dari seorang anak.
Sebentar lagi keinginanku akan terwujud. Tapi, aku tidak tahu apakah Tuhan akan bermurah hati mengabulkan keinginanku tersebut atau justru malah membalikan keadaan dengan memberikan hal yang berkebalikan. Ntahlah..
Aku melupakan satu hal lain untuk masuk serta dalam daftar list keinginanku. Sebuah hal penting yang akan menjadi salah satu bagian untuk menjadikan keinginanku menjadi nyata. Aku lupa jika seharusnya aku juga memasukan cinta didalamnya. Harusnya aku juga memasukan list keinginanku dicintai oleh suamiku sepenuh hati. Karena, aku melupakan satu hal itu, Tuhan enggan memberikanku cuma-cuma hal yang tidak masuk dalam daftar list yang sudah aku rancang sejak umurku masih belia.
"Saya terima nikah dan kawinnya Nuansa Langit Senja dengan mas kawin cicin berlian dibayar tunai." Ucapnya lantang tanpa kesalahan sedikitpun. Nafasku sempat tertahan beberapa saat kini dapat kembali seperti semula. Kali ini dengan perasaan lega. Mulai hari ini satu persatu keinginanku akan terwujud. Menjadi istri dari seorang laki-laki.
Aldebaran Askara. Laki-laki berumur dua puluh delapan tahun. Lebih tua dariku dua tahun. Aku belum benar-benar mengenal bagaimana sifatnya. Aku bahkan baru mengenalnya sekitar lima bulan lalu. Perjodohan. Tentu saja. Kami menikah karena perjodohan.
Dia bekerja sebagai seorang pilot disalah satu maskapai penerbangan. Tak banyak waktu untuk mencari pendamping hidup. Karena kata Ibunya, dia terlalu sibuk bekerja hingga tak bisa berkenalan dengan wanita. Tapi, aku kurang percaya. Apa benar dia seperti itu? Masalahnya, dia ini seorang pilot. Salah satu profesi dengan bayaran nominal tinggi.
Pekerjaannya terbang kesana kemari. Menjelajah hampir seluruh belahan bumi. Sungguh dia tidak menemukan wanita manapun untuk sekedar diajak berkenalan?
Ibuku dan Ibunya adalah teman arisan. Satu perkumpulan arisan. Sudah sangat dekat bahkan beberapa kali pergi bersama. Tapi, aku tidak tahu bahwa teman arisan ibuku itu memiliki anak seorang pilot. Mungkin karena itu juga dia jarang terlihat setiap kali aku bertandang ke rumahnya sekedar menitip uang arisan milik ibuku. Atau sekedar datang karena mengirim makanan buatan ibuku.
Umurku tidak bisa dikatakan terlalu tua atau terlalu muda untuk membina rumah tangga. Hanya saja, ibuku khawatir jika menunda menikah akan mempersulit hadirnya jodoh. Aku percaya jika jodoh adalah rencana Tuhan. Aku santai-santai saja. Tapi, tidak dengan ibuku.
Sekitar lima bulan lalu, ibuku dan ibunya Aska membuat rencana pertemuan yang disengaja. Mengikut sertakan aku dan Aska untuk memperlancar rencana mereka. Pada pertemuan pertama tidak ada kata-kata perjodohan.
Aku duduk disalah satu kursi restoran makanan Indonesia yang menjadi tempat pilihan ibuku dan Ibu Aska. Aku biasa memanggilnya dengan Tante Anne. Ibuku hanya meminta diantarkan serta ditemani karena tidak bisa menyetir mobil. Katanya sedang enggan menaiki taksi online. Sebagai anak yang patuh aku menuruti keinginannya.
Aku datang lebih dulu. Duduk disamping ibuku sembari memainkan ponsel. Ibuku tidak berbohong karena niatnya memang bertemu dengan Tante Anne. Hanya saja, aku tidak tahu tujuannya.
Dia disana. Berjalan disamping ibunya. Tubuhnya tinggi dan tidak terlalu berisi tapi tidak juga terlalu kurus. Tingginya sekitar seratus delapan puluh dua centimeter. Dengan rambutnya yang rapi. Mengenakan kemeja berwarna biru muda dan celana jeans berwarna hitam.
Netranya tajam hampir sama dengan mata milik rubah. Hidungnya mancung bahkan lebih mancung dariku. Kulitnya putih dan bersih. Jujur, aku terpana ketika pertama kali bertemu dengannya. Wajahnya memperlihatkan sebagaimana sifatnya yang dingin.
Dia tersenyum formal kepada ibuku. Mencium tangan ibuku. Tapi, tidak menghiraukan keberadaanku. Dia diam saja. Kemudian duduk disamping ibunya. Lebih tepatnya dihadapanku. Jantungku berdebar kencang. Aku tidak biasa berdekatan dengan laki-laki. Terlebih karena dia tampan.
Aku berkenalan dengannya. Aku mengenalkan diriku dengan nama Asa dan dia mengenalkan dirinya dengan nama Aldebaran. Tapi, Tante Anne meminta aku memanggilnya Aska saja. Aku mengangguk.
Ibuku dan Tante Anne mengobrol seperti biasa. Membicarakan ini dan itu. Dari mulai membicarakan salah satu teman arisannya yang ternyata suaminya terbukti berselingkuh. Membicarakan siapa saja yang tidak hadir pada arisan bulan lalu. Membicarakan berapa kenaikan harga bawang merah dan cabai. Sesekali tertawa karena candaan yang mereka anggap lucu.
Aku masih diam saja. Sesekali ikut tersenyum untuk menanggapi candaan ibuku dan Tante Anne. Kemudian, ibuku mulai melempar pertanyaan kepada Aska. Awalnya menanyakan bagaimana pekerjaannya. Disana aku mulai tau jika dia bekerja sebagai pilot. Lalu, berlanjut pertanyaan ringan lainnya. Serupa interview majalah bulanan.
Kemudian, pertemuan itu berakhir. Kami berpisah setelah mengobrol beberapa jam didalam restoran yang membuatku dan Aska tampak bosan karena tidak tau harus melakukan apa.
Katanya Aska sedang tidak ada jadwal flight. Maka, kesempatan bagi Tante Anne untuk meminta ditemani putra sulungnya itu. Aku biasanya bertemu dengan Arka, anak kedua Tante Anne yang jelas saja adik dari Bara juga. Sering mengobrol jika sama-sama terjebak didalam pertemuan ibu-ibu rempong.
Lalu, disini awal mula aku tahu tujuan ibuku dan Tante Anne bertemu di restoran makanan Indonesia yang ada di Plaza Indonesia. Awalnya hanya bertanya pendapatku mengenai Aska. Aku menjawab dengan apa adanya. Aska ganteng dan juga terlihat mapan. Ibuku tersenyum senang.
"Kamu mau nikah sama Aska?" Satu kalimat yang berhasil membuatku menginjak rem dengan mendadak. Beruntung tak ada mobil atau motor didekat kendaraanku. Kebetulan lagi sedang berada di lampu merah.
Saat itu aku tidak menolak. Hanya saja, kita baru bertemu satu hari. Apa tidak terlalu cepat untuk membicarakan pernikahan. Lagipula, aku tidak mengenalnya. Bagaimana bisa menikah?
Seminggu kemudian, dimakan malam, Ibuku memberitahuku bahwa Aska menerima perjodohanku dengannya. Aku terkejut tentu saja. Masalahnya, aku pikir pertanyaan itu hanya bercanda atau sambi lalu ibu saja. Ternyata tidak. Itu pertanyaan serius.
Setelahnya, persiapan pernikahan dilakukan. Aku hanya bertemu dengan Aska sekitar empat kali karena dia sibuk bekerja. Pertemuan kami masih sangat canggung. Bahkan tidak banyak obrolan karena Aska memang pendiam.
Katanya, Tante Anne sangat ingin aku menjadi menantunya begitu juga Ibuku yang sangat menyukai Aska. Pernikahan segera dilangsungkan tepat setelah lima bulan persiapan. Aku pasrah. Mungkin aku perlu lebih mengenal Aska setelah pernikahan kita nanti. Hanya saja, pekerjaan Aska menjadi kendala. Karena pertemuan kami yang terbatas.
~~~