Rumah yang sengaja dibangun dengan hasil kerja keras Aska menjadi tempat tinggalku saat ini. Rumah bernuansa minimalis yang berdiri di salah satu perumahan elite di pusat kota. Aku tidak tahu seberapa besar nominal gajinya hingga ia bisa membangun rumah sebagus ini.
Mama Anne bilang, rumah ini Aska sendiri yang membelinya. Dengan uang hasil tabungannya. Aku kagum dengannya. Dia benar-benar bekerja keras untuk meraih kehidupan dengan baik. Dia benar-benar definisi lelaki mapan. Dan beruntungnya aku karena Tuhan memilihkan dia sebagai jodohku.
Hanya saja, aku tak tahu sampai kapan dinding pembatas berada diantara kami berdua berakhir. Aku dan Aska masih bersikap seolah orang asing. Berbicara hanya saat butuh. Makan dimeja yang sama dan hanya ditemani dengan dentingan sendok dan garpu. Tidurpun kami berada di kamar yang terpisah. Aku memintanya karena sepertinya kita butuh waktu. Tak pernah ada obrolan yang membuat kami dekat.
Aku sudah beberapa kali mencoba mengajaknya berbicara. Tapi, Aska hanya akan menjawab singkat dan sesuai kebutuhan. Tidak pernah membuat obrolan kami menjadi hangat. Kalau begini terus, bagaimana aku bisa mengenalnya.
Aska seolah menutup diri dariku. Tak mau kehidupannya diganggu olehku. Dia benar-benar seperti orang yang memiliki dunia sendiri. Dia lupa jika saat ini, ada aku disekitarnya.
Aku berterimakasih karena Tuhan mengabulkan cita-citaku dengan segera. Hanya saja, bukan ini yang aku maksud. Pernikahan tanpa cinta yang berjalan hanya karena kami tak memiliki pilihan. Aku tidak pernah menjawab pertanyaan ibuku.
Pertanyaan ibuku yang dilontarkan setelah pertemuan pertama kami berakhir tak pernah ku jawab mau atau tidak. Hingga kemudian, kabar bahwa Aska menerimaku perjodohan ini. Aku tak ada pilihan lain selain menerimanya. Pikirku, dia akan berubah. Tapi, ternyata tidak. Aska tetaplah Aska.
Dia tetap menjaga jarak dariku. Bahkan tampak seperti enggan setiap kali aku mendekatinya. Dia benar-benar tidak tersentuh. Membuatku bingung harus berbuat apa untuk mampu meraih hatinya yang kaku dan sifatnya yang dingin.
Lagipula, pernikahan kami baru berjalan seminggu. Terlalu terburu-buru jika aku menginginkan lebih dari ini. Semua butuh proses. Aku memahami jika mungkin Aska masih membutuhkan waktu untuk menyesuaikan dirinya dengan kehidupannya yang baru.
Aska diberi waktu libur selama satu bulan oleh maskapainya. Maka dari itu, sebelum pernikahan kami berlangsung, dia tampak sangat sibuk terbang kesana kemari. Tak memiliki waktu banyak untuk mengikuti persiapan pernikahan kami.
Sebagai seorang istri, aku mulai berusaha memenuhi tugasku. Seperti membersihkan rumah, menyiapkan makanan, mencuci bajuku dan Aska, serta tugas-tugas lainnya. Aku merasa senang menjalankan tugas ini. Karena, memang ini yang aku inginkan sejak dulu.
Pagi ini, aku menyiapkan menu sarapan berupa nasi goreng sosis dan telur. Membaginya menjadi dua. Memindahkan nasi goreng yang sudah matang ke atas piring. Kemudian, memindahkannya ke atas meja makan.
Aku juga membuatkan kopi untuk Aska. Mama Anne bilang, setiap pagi Aska harus meminum kopi. Jadi, selama menjadi istrinya yang sedang bertugas, aku sudah sekitar empat kali membuatkannya kopi dipagi hari. Aska tak pernah protes dengan kopi buatanku. Begitu juga dengan sarapan yang kubuat. Dia hanya menikmatinya dengan diam.
Aku tak meminum kopi. Jadi, aku memilih meminum susu cokelat hangat. Aku membuatnya bersamaan dengan membuat kopi milik Aska. Sarapan sudah benar-benar siap. Hanya saja, Aska masih berada di kamarnya dan belum turun.
Aku berinisiatif untuk naik ke lantai atas dan masuk ke kamarnya. Membangunkan Aska yang mungkin saja masih tertidur. Mengingat dia harus menggunakan waktu libur dengan sebaik-baiknya. Pekerjaan Aska mengharuskannya kesana dan kemari.
Aku mengetuk pintu kamarnya dengan hati-hati. Tak ada jawaban. Aku mengetuk sekali lagi. Hingga nanti tetap tak ada jawaban, aku akan masuk dan membangunkannya. Benar saja, tetap tidak ada jawaban apapun.
Pintunya tidak terkunci. Aku membukanya dengan hati-hati. Takut jika Aska merasa terganggu. Dia masih tertidur dengan sangat nyenyak. Berada dibawah selimut berbahan katun jepang berwarna abu-abu. Aku berjalan dengan hati-hati.
Aska sangat tampan walaupun dirinya dalam keadaan tertidur. Netranya yang tajam kini terpejam. Tubuhnya bersembunyi dibawah selimut hingga batas lehernya. Menggemaskan sekali. Aku ingin mencium pipinya, terlebih bibirnya. Hanya saja, aku takut dia akan semakin jauh jika aku lancang menciumnya ketika tidur.
"Aska, ayo bangun. Udah pagi." Aku menggoyangkan tubuhnya. "Aska, sarapannya udah siap, lho." Aska tampak terusik. Terlihat dengan dirinya yang tampak menggeliat. Netranya terbuka. Menatapku dengan tajam. Nyaliku sedikit ciut. Tapi, ini memang tugasku dan semakin tidak benar jika aku membiarkannya tertidur hingga siang dan melewatkan sarapan.
Aska menempati kamar utama di rumah ini. Jadi, tak heran jika kamarnya memiliki luas yang lebih dari kamarku. Penataannya rapi. Aska adalah orang yang begitu memperhatikan kerapian dan kebersihan. Aku tak keberatan, karena aku juga senang dengan kebersihan.
Aska hanya mengangguk. "Jam berapa?" Tanyanya kepadaku. "Jam delapan. Ayo, bangun. Sarapannya sudah siap." Aska tak banyak bicara. "Kamu bisa mandi. Biar aku yang merapikan kamarmu." Aska mengangguk. Kemudian, dia berdiri setelah kesadarannya penuh.
Berjalan masuk ke arah kamar mandi. Aku dapat mendengar gemercik air dari shower di kamar mandinya. Aku membereskan tempat tidurnya. Sesekali mataku menjelajahi kamarnya. Andai aku menjadi penghuni kamar ini juga. Dan semua perandaian itu akan selamanya menjadi harapan.
Setelah selesai membereskan tempat tidur. Aku berjalan menuju keranjang baju kotor Aska yang ada didekat pintu kamar mandi. Keranjangnya masih kosong. Aku asumsikan bahwa baju kotornya pagi ini masih ada di dalam kamar mandi.
Aku mengetuknya dengan hati-hati. "Aska, boleh minta baju kotormu? Aku mau turun. Biar sekalian aku bawa." Ucapku sambil mengetuk. Tak ada jawaban. Hanya ada suara derit pintu yang didesain sliding. Aska hanya mengenakan handuk dipinggangnya. Tanpa atasan dengan dada bidang dan bahu lebar yang basah akibat tetesan rambutnya.
Aku terpaku beberapa detik. Menelan ludahku gugup. Kemudian, mengembalikan kesadaranku. "B-baju kotormu mana?" Tanyaku. Aska hanya menunjuk piyamanya yang tergeletak diatas meja wastafel yang ada di dalam kamar mandi. Aku mengangguk.
"Minggir, gue mau lewat." Ucapnya dengan nada dingin. Selalu saja seperti ini. Aku sedikit menggeser tubuhku. Memberikannya akses jalan. Aku segera masuk kamar mandinya. Mengambil piyama kotor yang dikenakannya semalam. Aku berencana akan mencuci setelah sarapan dan cuci piring.
Jadi, agar tidak naik turun yang membuat kakiku pegal. Lebih baik sekalian saja. Lagipula, aku bisa mendapat bonus melihat tubuh Aska sehabis mandi. Aku menganggapnya bonus. Karena jujur saja, aku menyukai tubuhnya itu.
Tubuhnya tidak berisi. Bahkan masuk dalam kategori kurus. Tapi, tidak terlalu kurus juga. Mungkin tidak terlalu kurus adalah efek dari gym yang rutin dilakukannya. Bahunya tampak lebar. Membuatku ingin bersandar. Tapi, sudahlah Asa, sesuai dengan namaku. Aku hanya akan bisa berakhir dengan berharap.
Seharusnya ibuku memberi nama lain. Bukan Asa yang artinya harapan. Kalau begini, aku hanya akan bisa berharap terus menerus tanpa mendapatkannya. Padahal, aku sudah tidak sabar menanti hari itu tiba.
•••