Setelah tiba di bandara, aku harus menunda keinginanku untuk segera merebahkan tubuh diatas kasur. Karena saat ini, Aska sedang ditahan oleh seseorang dengan pakaian seragam yang aku yakini didalam lemari, Aska juga memilikinya. Mereka mengajak ngobrol sesekali tertawa.
Aku hanya bisa tersenyum membalas candaan yang dilontarkan kepadaku. Aku melihat lelaki dengan empat garis emas yang menghiasi bahu kiri dan kanannya. Aku melihat lelaki ini di pesta pernikahanku. Tubuhnya sangat tinggi. Bahkan melebihi Aska. Warna kulitnya tan. Dengan gigi taring yang terlihat menonjol. Layaknya vampir tampan yang tengah haus akan darah.
"Gue masih kaget lo tiba-tiba bagi undangan. Gue pikir undangan khitanan taunya undangan nikah." Lelaki yang baru saja aku ketahui bernama Ezra ini melempar lelucon kepada Aska. "Lah anjir! Ngapain gue sebar undangan khitanan." Jawab Aska sambil tertawa. Jika dilihat dari cara mereka berbicara, aku dapat mengasumsikan jika mereka sangat dekat.
"Lo aja deket sama cewek gak pernah. Tiba-tiba nikah aja." Ucapnya sambil menggeleng. "Ka, kerjaan gue jadi nambah jam gara-gara lo cuti sebulan. Buruan balik kek. Kesel gue." Lanjut Ezra kepada Aska. "Dua minggu lagi." Jawab Aska.
"Masih lama, anjir!" Jawab Ezra lagi. "Lo mau gue kerja sekarang?" Tantang Aska. "Siap ini gue." Ezra terkekeh geli. "Gue gak mau ganggu waktu lo. Udah buruan sana." Aska mengangguk.
Kami berdua pergi meninggalkan Ezra. Aska berjalan lebih dulu didepanku. Langkah kakinya begitu besar. Mengingat betapa panjangnya kaki yang dia miliki. Bahkan jika dilihat, dari pinggang ke kaki lebih panjang dari pada pinggang ke kepalanya. Kaki Aska memang sangat panjang. Bahkan, ketika dia duduk tubuhnya akan berubah menjadi mungil.
•••
"Laper gak?" Tanyaku kepadanya yang saat ini sedang merebahkan tubuhnya diatas kasur. Kedua matanya terpejam. Tapi, aku tahu dia tidak tidur. Hanya memejamkan mata saja. Mungkin lelah.
Dia menggeleng tanpa membuka matanya. Aku mengangguk saja. Kemudian, mengambil kopernya dan koperku. Memasukkan baju-baju kami ke dalam lemari. Mengingat kita akan cukup lama berada di hotel ini.
"Aska, bajumu yang ada dikoper boleh aku masukin lemari sekalian?" Aska membuka kedua matanya. Melihatku dengan tatapan menelisik. Astaga, aku kan cuma mau memasukkan bajunya. Bukan mau mencuri barang berharganya.
"Hm" singkat sekali. Tapi, baiklah. Tidak masalah buatku. "Kunci kombinasinya berapa?" Tanyaku pada Aska. "123" jawabnya singkat lagi.
Aku mengikuti jawabannya. Dan benar saja kopernya berhasil terbuka. Bajunya cukup banyak. Walaupun tidak sebanyak yang aku bawa. Aska begitu rapi menata kopernya. Mungkin sudah terbiasa.
Aku menghabiskan waktu sekitar satu jam untuk memindahkan baju dari koper ke lemari. Begitu juga dengan peralatan lainnya. Aku meletakan koperku dan Aska didalam lemari. Membuatnya bersisian didalam lemari.
Aku meregangkan tubuhku sebentar. Kemudian, kembali menghampiri Aska. Sepertinya dia tidur. Wajahnya begitu damai saat sedang seperti ini. Membuatku gemas dan ingin menciumnya.
Aku mendekat ke arahnya. Menyentuh tangannya yang ada diatas perut. Mengusap tangannya lembut. Sekalian memeriksa apakah suhu tangannya masih dingin seperti tadi atau tidak. Tapi, tangannya sudah terasa hangat.
Aku merapikan anak rambutnya yang menutupi dahi. Sungguh, ingin mencium. Boleh tidak, sih? Aku tidak kuat lama-lama melihat lelaki tampan ini berkeliaran disekitarku.
Bagaimanapun aku ini perawan, lho. Mana tahan melihat perjaka kelas spesial dihadapanku. Sejujurnya aku tidak sanggup dianggurkan Aska seperti ini. Kami menikah sudah dua minggu. Tapi, sama kali tak terjadi perubahan apapun diantara kami.
Aku mendadak merasakan perutku lapar. Ini sudah lebih dari jam makan siang. Kita berdua belum memasukan apapun kedalam perut. Aska juga tidak boleh terlambat makan.
Aku mengusap tangannya lagi. Kali ini sambil menggoyangkan tubuhnya. "Aska, makan siang dulu, ayo. Nanti kamu boleh tidur lagi." Ucapku sambil terus menggoyangkan tubuhnya. Aska menggeliat sedikit. Aku mengusap tangannya dengan ibu jariku. Aska membuka kedua matanya. Menatapku dengan tatapan datar. "Bangun, kita makan siang dulu." Ucapku.
Aska bangkit dengan sedikit bantuanku yang menarik tangannya. Ntah, mengapa aku menjadi merasa tak sungkan lagi menyentuhnya. Menyentuh dalam konteks positif seperti membantu bukan menyentuh dalam konteks lain.
Aku mengusap pipinya yang masih tampak mengantuk. "Cuci muka. Kita makan siang dulu. Kamu gak boleh telat makan." Ucapku. Dia mengangguk. Berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Aku mendengar suara kran air dinyalakan. Itu artinya dia sedang mencuci wajahnya saat ini.
Tak berselang lama Aska keluar. Wajahnya sudah tampak lebih segar. Dengan sisa air yang membasahi wajah beserta rambutnya. Aku tersenyum dan berterimakasih kepada Tuhan karena memberikanku suami setampan ini.
"Udah?" Dia mengangguk. Aku berjalan menghampirinya. "Dompet sama ponsel udah?" Dia menggeleng. Berjalan menuju nakas. Mengambil ponsel beserta dompetnya. Memasukan kedalam saku kemudian berjalan mendahuluiku.
Aku berusaha berjalan disisinya dengan mempercepat langkahku. Dia berjalan dengan langkah kakinya yang besar. Mustahil aku bisa mengikutinya dengan berjalan santai. Tidak bisakah dia menungguku dan berjalan sedikit lebih pelan?
"Aska," dia berhenti sejenak. Menatapku dengan mata rubahnya. "Kenapa?" Tanyanya. Aku sedikit menunduk. Jantungku berdebar karena ketakutan. "Bisa jalan sedikit lebih pelan?" Aska mengangguk. Kemudian berjalan dengan lebih pelan. Aku tersenyum karena mau memenuhi keinginanku.
"Mau makan dimana? Restoran hotel atau keluar?" Tanyanya padaku yang membuatku mengerjap sebentar. Ini Aska serius menawariku. Bolehkah aku merasa bahagia. Sungguh, aku senang sekali.
"Terserah kamu." Aska mengangguk. Aku mengikuti langkah Aska. Tak ada saling menggenggam tangan. Aku sesekali melirik tangannya yang dilingkari jam berharga jutaan dengan penuh minat. Aku bisa saja menggenggam tangannya lebih dulu. Hanya saja, aku merasa tak enak.
Aska berhenti di restoran hotel. Aku dapat mendengar suara deru ombak yang saling berebut menghampiri daratan. Aska tampak memilih tempat yang masih ada didalam. Mungkin dia enggan terkena cahaya matahari yang memang masih terik-teriknya.
Seorang pelayan menghampiri kami. Memberikan menu kepadaku dan Aska. Lelaki itu memilih makanannya dengan cepat. Dia memilih pasta dan iced ginger tea. Aku juga segera memilih makanan dengan cepat. Tak enak jika pelayan akan menunggu lama. Aku memilih seafood ravioli dan iced lemongrass tea. Setelah mencatat pelayan itu segera pergi.
Mataku menjelajah keindahan hotel yang menjadi pilihanku dan Aska berbulan madu. Hotel ini begitu indah karena menghadap langsung dengan pantai. Bahkan restoran ini langsung berhadapan pantai. Membuatku dapat melihat birunya air laut yang bersanding dengan pasir pantai putih. Indah sekali.
"Kamu udah pernah kesini?" Tanyaku pada Aska. Dia tampak biasa saja. Tak sepertiku yang kagum dengan keindahan pemandangan pantai siang ini. Dia mengangguk. "Oh ya? Kapan?" Tanyaku lagi. "Nunggu jadwal flight selanjutnya." Aku mengangguk.
"Kamu sering ke hotel mewah kayak gini kalo lagi nunggu jadwal flight?" Aku mencoba mengajaknya mengobrol. Merasa kurang nyaman jika harus saling diam. Aku kurang suka keadaan canggung. "Kurang lebih, iya." Aku mengangguk lagi.