Aska tidak pulang. Aku bangun beberapa kali dan tidak menemukannya disampingku. Aku bahkan tidak mendengar suara pintu terbuka. Sekali lagi aku katakan, itu berarti semalaman Aska tidak kembali ke kamar. Aku menelponnya beberapa kali dan ponselnya dalam keadaan tidak aktif.
Apakah semalam dia tertidur di kamar Ezra karena kelelahan bermain game? Aku masih berusaha berpikir positif. Aku belum mengenalnya terlalu dalam. Takut berpikir negatif yang akan berakhir dengan fitnah. Aska suamiku sekarang, sudah merupakan kewajibanku untuk mempercayainya, kan?
Aku selesai mandi. Karena, kupikir di kamar ini tak ada orang selain aku, jadi aku memilih untuk mengenakan bathrobe saja. Sembari mengenakan skincare routine pada wajahku.
Aku mendengar suara pintu diketuk. Aku lupa, jika pintu hotel hanya bisa dibuka dari dalam. Apa semalam Aska pulang dan aku tidak mendengar ketukan pintunya? Bisa saja hal ini terjadi?
Aku segera bangkit dan berjalan menuju pintu. Mengeceknya terlebih dahulu siapa yang mengetuk. Barang kali bukan Aska. Bisa saja pegawai hotel.
Lelaki itu berdiri disana. Masih mengenakan pakaian yang sama seperti dia terakhir kali pergi. Aku membukakan pintu untuknya. Dan dia segera masuk setelah aku memberinya jalan.
"Kamu gak balik ke kamar ya semalem?" Tanyaku padanya. Dia mengangguk. "Ketiduran di kamar Ezra. Maaf, ya." Aku tersenyum. Aku memang hanya bisa tersenyum mendengar hampir setiap jawabannya. "Ponselmu juga mati. Aku telpon beberapa kali."
Aska mengangkat ponselnya yang memang dalam keadaan mati. "Semalem kehabisan daya. Mungkin terlalu banyak dibuat main." Ucapnya. Aku mengangguk. "Kamu mandi dulu sana. Udah sarapan?" Tanyaku dan dia menjawab dengan gelengan. "Aku tunggu. Habis itu kita sarapan bareng, ya?" Dia mengangguk.
Aku melihatnya meletakan ponsel diatas nakas. Melepas hoodienya. Menyisakan kaos putih dan celana jeansnya. Aku menghela nafas setelah melihat tubuhnya hilang bersamaan dengan suara pintu kamar mandi yang tertutup.
Aku memilih pakaian yang akan aku kenakan. Dan pilihanku jatuh pada dress selutut berwarna ungu yang nantinya akan aku padukan dengan cardigan berwarna hitam. Mengingat dressku itu tanpa lengan.
Aku memasangkan charger pada ponsel Aska. Katanya ponselnya tidak aktif karena kehabisan daya, kan? Tapi, justru aku baru saja mendapatkan kebohongan. Setiap kali kita memasang charger pada ponsel akan muncul pada layar berapa jumlah batrai yang tersisa pada ponsel itu.
Aku pikir angka 43% bukan angka yang membuat ponsel seseorang akan mati karena kehabisan daya. Seharusnya masih bisa menyala, kan?
Seharusnya aku percaya dengan ucapan Aska. Tapi, justru melihat kebohongannya ini membuatku yakin, selanjutnya akan ada kebohongan-kebohongan lain yang akan ia berikan untuk menyembunyikan satu fakta kebeneran.
•••
Aku dan Aska kembali ke restoran untuk sarapan. Aku menikmati pancake dengan madu yang ditumpahkan diatasnya. Aska memilih omelette untuk mengisi perutnya pagi ini. Ternyata hotel cukup ramai hari ini. Terlihat banyak orang yang berlalu lalang.
Pantai tak bisa dijangkau dengan mata. Mengingat Aska memilih untuk sarapan didalam saja. Aku menurutinya. Kemudian duduk dihadapannya setelah dia memilih tempat.
Aska menghabiskan sarapannya dalam diam. Kemudian, meminum kopi miliknya hingga habis tak tersisa. Aku tersenyum. "Masih laper?" Tanyaku padanya. Dia menatapku. Kemudian mengangguk. "Mau aku ambilin sesuatu?" Aska kembali mengangguk.
"Mau apa?" Tanyaku sebelum berdiri untuk mengambilkan menu sarapan untuknya. "Waffle." Jawabnya singkat. Aku mengangguk. Kemudian, berjalan menghampiri waffle yang aku yakini masih hangat. Aromanya tercium membuatku juga berniat ingin mengambilnya.
"Eh, istri Capt Aska bukan, sih?" Aku tersenyum ketika mendapati wanita cantik yang sudah rapi dengan pakaian seragamnya. Kali ini warnanya berbeda dengan kemarin yang dikenakan. Aku mengangguk. "Saya Annisa. Kemarin ketemu didalam pesawat." Aku ingat Annisa. Dia salah satu pramugari yang menyapaku kemarin.
"Iya, inget saya. Ada jadwal flight lagi?" Tanyaku. Dia mengangguk. "Sekitar dua jam dari sekarang, Bu." Aku mengangguk. "Semangat kerja ya, Annisa." Ucapku pada Annisa. Setelah mengambil dua piring waffle aku segera berlalu setelah berpamitan dengan Annisa. Sepertinya wanita itu sedang memilih menu sarapan juga.
"Ini," ucapku kemudian memberikan salah satunya kepada Aska. "Kamu makan lagi?" Tanyanya. "Yang laper bukan cuma kamu, ya." Ucapku kemudian tertawa. Dia tersenyum menanggapi ucapanku.
"Heh, Aska. Cemen lo! Baru main sejam udah balik. Gak seru lo lama-lama. Pasti semalem udah gak sabar ketemu istri lo, kan? Makanya buru-buru balik." Tiba-tiba Ezra datang. Sudah rapi dengan seragamnya. Sama seperti Annisa tadi. Ezra juga sudah rapi.
Aku tidak salah, kan? Jika ada satu kebohongan. Maka akan ada kebohongan lain yang dibuat. Untuk apa? Jelas untuk menyembunyikan fakta.
Aska melirikku. Apakah baru saja dia khawatir dengan kebohongannya yang baru saja tak sengaja terungkap. Pikiranku menjadi berkecamuk. Apa yang dikatakan Ezra barusan sangat berbeda dengan apa yang Aska katakan tadi pagi.
"Gue pikir lo semangat mabar bakal tahan sampai pagi. Taunya, baru sejam udah balik. Mana kalah mulu lagi." Aska kembali melirikku. Aku mencoba tak perduli dengan menatap Ezra yang saat ini tengah membongkar kebohongan Aska secara tak sengaja.
"Suami lo cemen, Sa. Baru mabar bentar udah balik. Mana kalah mulu lagi." Ucapnya padaku yang diakhiri dengan tawa. Aku masih tersenyum. "Pasti semalem dia udah gak sabar mau nyerang lo, kan?" Ezra tertawa dengan candaannya. Tapi, tidak dengan Aska. Karena yang terjadi selanjutnya, dia enggan menatap mataku dan terkesan membuang wajahnya.
"Oh iya? Main sampai jam berapa, Zra?" Tanyaku pada Ezra. "Jam sembilan. Habis itu dia buru-buru balik." Aku mengangguk. "Kurang seru dong. Cuma bentar gitu mainnya." Jawabku menanggapi ucapan Ezra. Diam-diam aku berterimakasih karena lelaki ini dengan tak sengajanya membongkar kebohongan yang sudah rapi dibuat oleh Aska.
"Next time main lagi, Ka. Cemen lo cuma bentar." Aku tertawa geli menutupi kesakitan hatiku. "Sikat aja dia kalo kalah lagi." Jawabku. Aska benar-benar bungkam dan diam membatu. "Eh, gue duluan ya. Mau sarapan dulu." Aku mengangguk. Ezra segera meninggalkan kami berdua.
Aku menyentuh tangan Aska. Mengusapnya perlahan. "It's okay." Ucapku singkat menenangkannya. Aku tahu dia mungkin merasa tak enak karena kebohongannya baru saja terungkap.
Pernikahan kami bahkan baru dua minggu berjalan. Kenapa Aska sudah berani berbohong kepadaku. Aku tahu jika pernikahan ini tanpa cinta. Tapi, tidak bisakah dia menganggapku istrinya?
Lalu, semalaman dia dimana jika tidak ada di kamar Ezra. Apakah ada seseorang yang dihampirinya semalam? Apakah dia memesan kamar hotel lagi karena enggan tidur bersamaku? Aku benar-benar penasaran.
•••