Chereads / Epiphany (My Handsome Pilot) / Chapter 14 - Asa - Tiga Belas

Chapter 14 - Asa - Tiga Belas

Asa - Tujuh

Ini minggu ketiga hidup sebagai istri pilot yang ditinggal pergi bekerja. Ternyata, tidak seseru seperti novel-novel yang kerap kali kubaca. Rasanya membosankan. Dan yang pasti, aku merindukannya.

Aku dan Aska memang belum sedekat itu. Hanya saja, aku sudah hampir terbiasa hidup berada disekitarnya. Memenuhi kebutuhannya, membantunya ini dan itu, mencuci bajunya, menyiapkan sarapan, mengingatkannya meminum vitamin, mengingatkannya untuk mengenakan jaket jika udara sedang tak bersahabat. Banyak hal yang membuatku terbiasa.

Dalam tiga minggu ini, terhitung Aska hanya mengirimku pesan sebanyak lima kali. Itu hanya mengabari seperti dia sudah berada di bandara A, atau lagi di hotel untuk beristarahat, dan yang paling membuatku kesal adalah dia hanya menjawab pesanku dengan emotikon '👌'.

Aku bisa saja menghubunginya via telepon. Tapi, aku takut jika nanti panggilan dariku hanya akan mengganggunya. Aku takut jika waktunya tidak tepat. Aku bingung harus bagaimana. Semuanya terasa sulit karena aku belum terbiasa. Terkadang aku takut jika Aska merasa risih dengan pesan-pesan yang kukirimkan.

Selama ini, hanya aku yang sering mengirimnya pesan. Pikirku, pesan bisa dibaca nanti saat waktunya sedang senggang. Jadi, sekedar mengirim pesan untuk mengingatkan makan dan menjaga kesehatan tak ada salahnya, kan?

Selama ini, aku cukup banyak menyimpan kekhawatiran yang sulit aku ceritakan kepada orang lain. Salah satunya adalah nasib pernikahanku dengan Aska. Apakah pernikahanku dan Aska akan selamanya seperti ini.

Daripada suami-istri, hubungan kami lebih cocok seperti teman. Terkadang aku berpikir, apakah keinginanku terlalu tinggi? Aku menginginkan hubungan pernikahan normal seperti yang lainnya. Aku tidak salahkan jika menginginkan hal itu. Bagaimanapun, aku ini perempuan.

Aku tidak bisa diam saja ketika hidup bersama lelaki tampan. Merawatnya sepenuh hatiku. Mengingatkannya untuk ini dan itu. Membantunya menghangatkan diri ketika dingin menyerang tubuhnya. Dan yang pasti, bagaimana aku bisa menahan diri untuk tidak mencintai laki-laki yang memenuhi kebutuhan materiku?

Aska memang terbilang kurang memperdulikanku. Dia bahkan jarang sekali menanyakan perihal keadaanku seperti aku yang selalu perduli dengan keadaannya. Aku tidak tahu apakah ini ada kaitannya dengan perjodohan yang tanpa didasari dengan cinta. Atau Aska masih menganggapku seperti orang asing?

Pernikahan kami memang baru seumur jagung. Bahkan mungkin benih yang baru ditanam belum tumbuh sepenuhnya. Hubungan kami masih sangat baru. Membutuhkan waktu untuk saling menerima satu sama lain. Aku menerima Aska sebagai suamiku. Tapi, tidak dengannya.

Aku tidak tahu apa arti kehadiranku didalam hidupnya. Apakah dia menganggapku sebagai seorang istri. Menganggapku sebagai teman. Atau yang lebih parah hanya menganggapku sebagai wanita yang sedang merawatnya sepenuh hati. Ntahlah, aku sendiri tidak tahu.

Aku adalah wanita pada umumnya. Lebih senang berspekulasi dengan pemikiran sendiri. Menyiksa diri sendiri dengan tebakan-tebakan yang belum tentu kebenarannya. Mengira-ngira apakah dia mencintaiku atau tidak. Berpikir apakah ada wanita lain yang dicintainya. Hal semacam ini kerap kali merusak pemikiran positif milik wanita.

Terkadang aku berpikir, kenapa tidak langsung bertanya saja dengan yang bersangkutan. Bukankah itu lebih baik daripada berspekulasi sendiri dan berujung dengan menyakiti hati karena yang muncul hanya pikiran negatif. Kenapa mau terus menerus tersakiti dengan pikiran sendiri. Apa semua wanita memang senang membuat drama dalam hidupnya sendiri?

Sebenarnya, pikiran yang muncul setiap kali akan bertanya langsung adalah takut. Takut jika jawaban yang keluar bukanlah yang diinginkan. Setiap manusia memiliki harapan dalam hidupnya. Walaupun, berpikir negatif adalah caranya untuk mengantisipasi. Wanita berpikir negatif untuk memberi persiapan dalam dirinya jika nanti kenyataan yang terjadi tak sesuai dengan harapannya.

Selama ini, aku memang selalu mempersiapkan pikiran negatif yang kusimpan rapat-rapat. Walaupun tampak kuat, aku ini tetaplah wanita dengan perasaan selembut sutra. Disakiti sekali saja akan berhasil membuat menangis berhari-hari. Menjadi wanita itu sulit. Meletakan perasaan dan hati diatas logika.

Hal ini kerap kali membuat wanita tampak bodoh. Kenapa tidak menggunakan logika saja sepenuhnya. Inginnya seperti itu. Hanya saja, perasaan selalu berebut antrian untuk menjadi nomor satu. Tak bisa mengelak.

Daripada berpikir yang tidak-tidak dan membuatku sakit kepala. Aku mengirimkan pesan kepada kedua sahabatku, Jevan dan Rena. Rencananya, aku akan menemui mereka di salah Coffee Shop. Tidak mau berpikir yang iya-iya. Akhirnya aku segera pergi keluar dari rumah untuk mencari udara segar. Berharap pikiran positif akan memenuhi isi kepalaku.

Aku memeriksa seluruh sisi rumah. Apakah aku sudah menguncinya atau belum. Air, lampu, dan yang terpenting adalah kompor. Bisa-bisa rumah cantik yang dibangun suamiku dengan terbang kesana kemari layaknya burung merpati terpaksa hangus dilalap sijago merah.

Setelah memastikan semuanya, aku segera pergi meninggalkan rumah. Sekitar sejam lalu aku mengirim pesan kepada Aska untuk meminta izin pergi bersama temanku. Aku belum mendapatkan balasan apapun. Bahkan pesan via whatsapp yang aku berikan belum terkirim. Mungkin Aska sedang berada diatas langit. Mengantarkan ratusan penumpang untuk pergi ke tempat tujuan mereka.

Aku memarkirkan mobilku diantara para mobil lain. Ada sekitar enam mobil lain yang terparkir tak jauh dari milikku. Mungkin karena sudah memasuki jam pulang kantor. Membuat mereka membutuhkan waktu untuk sejenak mengobrol dengan teman atau melanjutkan pekerjaan sembari meminum kopi kesukaan.

Ketika memasuki kedai kopi ini yang pertama kali menjadi pusat perhatianku adalah aromanya. Sudah pasti aroma kopi memenuhi seluruh ruang. Sebenarnya, aku kurang menyukai kopi. Hanya saja, tempat ini selalu menjadi yang paling efektif untuk aku serta kedua temanku bertemu.

Coffee Shop ini milik Jevan bersama teman-temannya kuliah yang juga pecinta kopi. Kedai kopi yang mereka rintis sejak dibangku kuliah semester enam. Awalnya hanya kedai kopi kecil yang letaknya ada didalam Ruko. Ruko yang ia kontrak selama sekitar dua tahun. Kemudian, karena kemajuan yang pesat, kedai kopi kecil berubah menjadi Coffee Shop sekaligus Cafe yang letaknya ada di pusat kota yang mudah dijangkau. Terlebih orang-orang yang bekerja di daerah pusat kota.

Aku melihat Jevan masih tampak sibuk melayani customernya. Aku melambaikan tanganku untuk menyapanya. Sekaligus mengatakan kepadanya untuk diselesaikan dulu saja pekerjaannya. Lagipula, Rena yang saat ini bekerja menjadi Teller disalah satu Bank juga belum tiba. Mungkin pekerjaannya banyak. Sebagai penggangguran satu-satunya disini, akulah yang tentunya datang paling awal. Jevan datang lebih awal, tapi maksudku bukan itu.

Aku memilih untuk duduk di tempat paling ujung. Disampingku dinding kaca. Aku dapat melihat jalanan yang cukup macet. Mobil-mobil menyalakan klakson sekedar untuk meminta kendaraan didepannya agar segera berjalan. Atau motor-motor yang beradu dengan motor lain untuk berebut jalan. Pemandangan yang selalu terjadi pada jam-jam pulang kantor seperti ini.

Dulu, sewaktu aku kecil. Ketika kesal menghadapi macet, aku berharap mobilku memiliki sayap dan dapat terbang layaknya pesawat. Sepertinya seru dapat terbang dan tidak perlu merasakan macet. Aku bahkan juga berharap memiliki mobil serupa milik Eliza Thornberry. Dapat digunakan dalam keadaan apapun. Bahkan mobil itu juga dijadikan rumah. Seru sekali bukan kehaluanku masa kecil?

"Bengong aja, Lo." Aku terkejut ketika mendapati Jevan yang masih mengenakan apron berwarna cokelat telah duduk dihadapanku. Mungkin wanita lain akan terpesona melihatnya seperti ini. Tapi tidak denganku. Aku bahkan tak pernah menganggap Jevan seorang laki-laki.

"Ngagetin aja. Sialan Lo, Jev." Dia hanya terkekeh. "Eh, Lo mau minum apa? Gue ambilin." Aku melihat deretan tulisan yang terpasang diatas dinding. "Red velvet. Pake Ice ya, Jev. Jangan terlalu manis. Pokoknya harus pas." Jevan memutar bola matanya. "Banyak mau Lo, Sa." Aku tertawa. Jevan sudah berdiri untuk menyiapkan minumanku. Sebelum pergi aku menahannya sebentar. "Bayar nggak nih, Jev?" Tanyaku basa-basi. Aku tahu, Jevan selalu tak mau dibayar ketika aku atau Rena datang.

"Bayar. Tapi, gue nggak terima kartu kredit platinum punya Lo. Apalagi duit cash rupiah. Gue cuma terima duit dollar atau euro." Aku memutar bola mataku. "Anjing Lo, Jev." Lelaki itu terkekeh. Kemudian berjalan meninggalkanku.

"Jev, gue mau Ice Americano, ya." Aku mengenal suara ini. Siapa lagi jika bukan Irena Novinda. Wanita yang tak malu berteriak ditengah keramaian kedai kopi hanya untuk meminta minum. Dia pikir dia ini siapa. Jevan hanya mengacungkan ibu jarinya saja.