Chereads / Epiphany (My Handsome Pilot) / Chapter 17 - Asa - Enam Belas

Chapter 17 - Asa - Enam Belas

"Minum dulu." Aku memberikan segelas air putih kepadanya. Dia menerimanya. Kemudian, meminumnya sedikit. "Buka mulutnya." Aska segera membuka mulutnya. Membiarkan bubur itu masuk ke mulutnya. "Enak?" Tanyaku. Aska mengangguk.

"Kenapa bisa sakit?" Tanyaku sambil terus menyuapkan bubur ke mulutnya. Dia hanya mengendikan bahunya. Aku mendengus kuat. "Tidurmu pasti nggak teratur, kan? Makan juga pasti nggak tepat waktu." Aska menatapku yang tengah kesal dengan kelakuannya. Lelaki itu tersenyum. Dan senyumannya kuanggap sebagai jawaban "iya" atas tuduhanku.

"Kamu cerewet." Ucapnya. Aku terkekeh geli. "Maaf. Aku cuma khawatir." Mendadak aku merasa tak enak. Apa aku bergerak terlalu jauh? Apa dia merasa tak nyaman dengan perhatianku?

"Nggak masalah. Aku suka." Aku yang tengah menunduk sembari mengaduk buburnya agar menyatu langsung mendongak. Apa? Dia suka aku cerewet? Benar, kan? Aku tidak salah dengar.

"Apa?" Aku ingin agar Aska mengulang ucapannya. "Aku suka kamu cerewet." Aku tersenyum. Mengusap pipinya dengan tanganku yang bebas. "Jangan sakit, ya? Aku paling nggak bisa liat kamu sakit." Ucapku. Aska mengangguk. "Ini terakhir. Buka mulutnya." Ucapku menyuapkan bubur terakhir. Aska meminum air putihnya.

"Minum obatnya." Aku membantu membuka bungkus obat. Kemudian, memberikan kepada Aska. "Ini," Aska menerimanya. Meminum obatnya tanpa banyak bicara. Setelahnya, ia meminum air yang masih tersisa digelas hingga tandas. Aku tersenyum puas.

"Aku turun dulu kembaliin mangkok sama gelas. Kamu tidur, ya. Kalo butuh apa-apa teriak aja. Kalo engga telpon ponselku. Bisa, kan?" Aska diam saja masih menatapku. Terbiasa dengan ucapan yang tak menjawab jawaban, aku segera membawa gelas dan mangkok ke dapur.

Aku hampir berjalan ketika tangannya menahan tanganku. "Kamu tidur disini aja. Temenin aku. Aku lagi pingin ditemenin." Astaga, kenapa Aska ternyata semenggemaskan ini saat sedang sakit. Aku mengangguk. "Bentar, ya. Habis kembaliin ini sekalian aku ambilin air putih lagi buat kamu. Aku balik kesini lagi." Aska mengangguk. "Kamu bisa ganti baju sendiri, kan? Kayaknya nggak nyaman deh tidur pake seragam gitu." Aska mengangguk.

Aku segera meninggalkan kamar Aska dengan jantung yang berdendang layaknys genderang mau perang. Astaga, serius Aska memintaku menemaninya tidur? Ini pasti karena efek dia sedang sakit. Mungkin, agar dia tak kesulitan mencariku saat membutuhkan sesuatu. Lebih baik aku tidak terlalu banyak berharap dengannya.

Setelah selesai, aku kembali ke kamar Aska untuk memenuhi janjiku. Aska memejamkan kedua matanya. Aku tidak tahu dia tidur atau tidak. Tapi, sepertinya belum. Aku belum bisa mendengar suara nafasnya yang teratur.

"Ngapain cuma berdiri disitu? Sini," aku berjalan dengan langkah kecil. Duduk disisi ranjangnya. "Tidur, Asa. Aku nggak minta kamu cuma duduk disitu." Aku tersenyum canggung. Aku tidur disampingnya. Dengan sedikit memberi jarak. Takut jika Aska merasa kurang nyaman.

"Sa, aku boleh minta peluk?" Sepertinya aku ada yang salah dengan pendengaranku. Apa? Peluk? "Hha? Gimana, Ka?" Tanyaku. "Aku mau minta peluk. Kamu keberatan?" Aku mengerjap beberapa kali. "Serius?" Aska mengangguk. "B-boleh, sih. Tapi, kamu nggak papa kupeluk?" Tanyaku meyakinkan. Aska terkekeh. "Kan aku yang minta, Sa." Aku tertawa kecil.

Aku memposisikan diriku lebih tinggi dari Aska. Kemudian, lelaki itu meletakan kepalanya didadaku. Aku memeluk tubuh Aska sedikit lebih erat. Aska sudah mengganti pakaiannya dengan kaos dan celana pendek saja.

"Aku nggak tau kalau pelukan kamu senyaman ini, Sa." Aku terkekeh. "Kamu nggak pernah perduli dengan kehadiranku sih, Ka." Ucapku yang membuat tubuh Aska menegang beberapa saat. Diam-diam aku takut Aska dapat mendengar suara degup jantungku. "Kamu gugup ya, Sa. Jantungmu detaknya kenceng banget. Aku bisa denger." Aku membulatkan kedua mataku. "Mana ada. Aku biasa aja kok." Aska terkekeh.

Aku mengusap kepala Aska dengan lembut. "Aku nggak tau kamu kalo sakit bisa jadi bayi gini." Aska tersenyum kecil. Aska menyentuh pergelangan tanganku yang memerah. "Ini kenapa?" Tanyanya dengan nada menyelidik. "Oh ini, tadi nyuci baju. Nggak tau tumbenan merah." Aska menatapku. "Kenapa nggak pake mesin cuci?" Aku tersenyum. "Menurutku kalo pakai tangan lebih cepet dan bersih. Lagipula ada baju seragammu juga. Kalo warnanya putih emang harus dicuci pakai tangan biar lebih bersih." Jelasku. Aska menghela nafasnya. "Apa aku cari asisten rumah tangga aja, ya?" Aku mengerutkan dahi. "Kenapa? Aku bisa kok bersihin rumah sendiri."

"Serius kamu nggak papa?" Tanyanya untuk meyakinkanku. Aku mengangguk. "Lagian aku cuma tinggal berdua sama kamu. Kalo kamu lagi kerja rumah cuma ada aku. Bersihinnya lebih gampang." Ucapku menjelaskan. Aska mengangguk. "Terserah kamu." Aku tersenyum.

"Tidur, ka. Badanmu masih panas, lho." Aska mengangguk. Semakin merapatkan pelukannya. Membuatku harus menahan nafas beberapa saat. "Sa, usap-usap kepalaku lagi." Aku tersenyum. Mengusap kembali kepala Aska sesuai dengan permintaannya.

Tak berselang lama, aku mendengar deru nafas teratur dari seorang Aldebaran Askara. Wajahnya tampak begitu damai. Matanya yang serupa milik rubah kini terpejam. Satu fokusku, bibir milik Aska yang tampak begitu menggoda.

Aku menahan diri untuk tidak menyecap bibir milik Aska. Kadang, aku memiliki jiwa nakal yang begitu sulit aku kendalikan. Jiwa nakal yang kerap muncul ketika aku melihat Aska. Mencium keningnya saja untuk mengganti keinginanku mengecup bibirnya.

Semakin hari, perasaanku terhadap Aska benar-benar terasa nyata. Semenjak menikah, aku tak pernah menganggapnya orang asing. Usahaku mungkin belum sepenuhnya berhasil untuk membuka hatinya. Tapi, tidak salah kan untuk berharap?

Satu hal yang aku rasakan ketika mendapatinya sakit. Aku khawatir dan ingin merawatnya hingga sembuh. Kesal karena dia enggan hidup teratur hingga menyebabkan dirinya jatuh sakit. Kupikir saat tadi pertama kali melihatnya menginjakan kaki pada pintu kedatangan, dia baik-baik saja. Tak tahu jika tiba di rumah ternyata tubuhnya sedang dalam keadaan sakit.

"Ini kamu beneran tidur kan, Ka?" Aku bermonolog pada Aska yang kuyakini sudah sibuk dengan alam mimpi. Tanganku terus bergerak mengusap kepalanya dengan lembut. Rambutnya terasa sangat halus dan wangi. Membuatku betah untuk mengusapnya terus-menerus.

"Aska, nanti-- besok-- atau kapanlah itu. Intinya kalau waktunya udah tiba. Tolong, bales perasaanku, ya. Aku capek jatuh cinta sendirian. Perasaan ini terasa nyata walau kenyataannya kita menikah tanpa ada janji yang terucap sebelumnya. Mungkin ini terlalu cepat untuk aku menamainya dengan cinta. Tapi, apapun yang kamu lakukan diluar sana-- tolong, jangan buat aku terluka." Ucapku dengan air mata yang sudah menggenang dipelupuk mataku.

•••