Chereads / Epiphany (My Handsome Pilot) / Chapter 21 - Asa - Dua Puluh

Chapter 21 - Asa - Dua Puluh

"Pingin diperawanin tapi malu-malu. Serius, kamu khas perawan banget, Sa. Bikin aku gemes." Wajahku terasa panas. Efek dari kata-katanya memang cukup membuatku malu. Sial! Ternyata enaena pertama kali tidak semulus seperti yang aku liat difilm. Nyatanya, aku merasa malu-malu hanya sekedar untuk memperlihatkan bentuk polos tubuhku.

Aska merubah posisinya hingga berada diatasku. Membiarkanku berada dibawah kungkungannya. Aku menatap kedua mata Aska. "K-kenapa?" Tanyaku dengan sedikit tergagap. Aku gugup. Sungguh, ini pertama kali. Aku ini masih perawan. Sepertinya aku sudah berulang kali mengatakan bahwa aku ini masih perawan, ya. Sudahlah, tak perlu diulang-ulang.

"Percaya sama aku, kan?" Aku mengangguk pasrah. "Aku janji bakal pelan-pelan." Aku mengangguk pasrah. Aska tersenyum menatap kedua mataku. Kemudian, mengecup keningku sebentar.

Tangan kekarnya meremas aset kananku dengan begitu lembut. Ah, jadi begini rasanya. Nikmat sekaligus geli. Aku jadi bingung. Aku mengigit bibir bawahku untuk menahan desahan nikmat agar tak lolos begitu saja. Aku masih malu.

Aska beralih pada aset sebelah kiriku. Melakukan hal yang sama. Kedua matanya benar-benar menatap takjub pada dua gundukan indah milikku. Bibirnya kali ini yang bekerja untuk meraup ujung asetku. Memainkan dengan lidahnya, sesekali menggigit kecil.

Aku meremas rambutnya. Melampiaskan geli sekaligus nikmat yang bercampur menjadi satu. Aska beralih pada aset sebelahnya. Melakukan hal yang sama, menggigit, menjilat, dan memainkan dengan bibirnya.

"Akhh, Aska, eunggh" sialan. Aku tidak bisa menahan desahanku. Lelaki ini begitu lihai dan ahli. Aska beralih pada leherku. Menciumnya kemudian menyesap leherku dan meninggalkan bekas merah keunguan disana. Melakukan pada sisi yang lain. Memberikan kecupan serta gigitan.

Tanganku terus mendorong kepalanya agar melakukan hal lebih. Tak mau Aska berhenti bermain disana. Aku begitu menyukainya yang bermain diperpotongan leherku. Meninggalkan bekas-bekas yang kuyakini tak akan hilang dalam kurun waktu sekitar dua hingga tiga hari.

Aska beralih mengecup bibirku. Melumatnya dan beberapa kali menggigit bibirku. Perih ketika Aska menggigitnya. Tapi, nikmat ketika dilumat.

Aska meninggalkan bibirku. Turun menuju dadaku dan berhenti tepat didepan perut rataku. Mengecupnya dengan lembut. Hingga membuatku sedikit menggerakan tubuh karena merasa geli. Sesekali lidahnya bermain dan menjilat dipermukaan perutku.

"Eungghh, Aska-akhh" desahku karena tak tahan dengan bibirnya yang begitu lihai bermain diperutku. Aska mengakhiri permainannya diatas perutku dengan mengecup kecil permukaannya. Membuatku meremas sprei dengan kuatnya.

Aska melepas celana yang melekat ditubuhku. Melakukan hal yang sama pada baju tidurku. Membuangnya hingga jatuh diatas lantai. Aska menatap surga dunia yang menjadi miliknya seutuhnya. Menciumnya beberapa kali sebelum memasukan jarinya dilubang kegelapan yang akan membawanya menuju surga dunia.

Bermain disana dengan memutar. Perih. Itu yang pertama kali aku rasakan ketika tangannya bermain disana. "Akhh, Aska, sakit." Ucapku merintih. Aska melirikku sekilas. Kemudian, kembali memainkan jarinya disana. Mengocok dengan tempo yang cepat dan lambat. Membuatku terasa tersiksa karena perbuatannya.

"Aska, aku mau pipis." Ucapku malu-malu. Aku memang merasa seperti ingin pipis. Aku bingung, apa ini yang dinamakan orgasme? Apa sebentar lagi aku akan mengalami orgasme pertamaku?

"Kamu mau orgasme. Bukan mau pipis. Keluarin aja. Aku siap nampung." Ucap Aska. Kemudian, mencabut jarinya dari lubangku. Aska bermain dengan lidahnya. Memainkan pusat tubuhku dengan bibirnya. Mengecup dan mengigit.

Aku melepaskan orgasme pertamaku. Dengan segera Aska menampung semuanya didalam mulutnya. Aska tampak tak jijik sedikitpun. Kedua matanya tampak menggelap. Aku suka melihat Aska seperti ini. Ada kebahagiaan tersendiri untukku yang tidak dapat aku jelaskan.

Kini, Aska melepas seluruh pakaiannya. Memamerkan tubuh indahnya dihadapanku. Aska tidak terlalu berisi. Pada dasarnya, tubuh Aska ini kurus. Hanya saja, berubah karena berolahraga dan memakan makanan sehat. Sehingga, tak heran jika tubuh yang didapatkannya sekarang saat berbanding jauh dengan tubuhnya semasa sekolah menengah.

Aku bahkan terang-terangan menatapnya kagum. Tak perduli pada harga diri. Sungguh, tubuh Aska begitu menggiurkan. Aku menyukai tubuh Aska seperti ini. Absnya tercetak sempurna. Menatapku seolah menggodaku untuk menyentuhnya.

Aska memasukan miliknya dengan begitu lembut. Sesuai dengan ucapannya. Dia bermain lembut untukku yang baru pertama kali melakukan ini. Aska berusaha sekeras mungkin.

Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku menahan perih. Sesekali meremas sprei dengan begitu erat. Tak bisa berteriak kesakitan karena aku malas. Kupikir lebih baik menggigit bibir bawahku saja.

Air mataku mengalir karena menahan perih. Aska mengecup kedua mataku. Mengusap bibirku yang saat ini tengah kugigit. "Jangan digigit. Gigit bibirku aja." Aku menggeleng. Aska masih berusaha menembus dinding pertahanannku.

"Akh, Asa- akh, serius-hmmm kamu begitu sem-hk-sempith" aku hanya diam mendengar ucapannya. Sibuk menahan perih. Aska mengecup bibirku hingga terpaksa aku melepas gigitanku. Aska berusaha mengalihkan rasa sakitku.

Aku bahkan melumat bibir Aska dengan ganas untuk melampiaskan rasa sakit. Sesekali menggigit bibirnya. Aku merasa tak enak jika sampai bibir Aska terluka. Tapi, sungguh aku tidak kuat.

Aska melanjutkan usahanya. Hingga berhasil masuk sepenuhnya. Aska menggerakan miliknya. Aku mengikuti pergerakan Aska.

Hingga sekitar dua jam setelahnya. Aku tertidur kembali dalam rengkuhan seorang Aldebaran Askara. Suamiku yang baru saja mengambil hak miliknya.

•••

"Bibirmu luka." Ucapku sembari meringis. Aska terkekeh. Kemudian, mengecup bibirku sekilas. "Dasar nakal." Bibir bawah lelaki itu terluka. Tak perlu bertanya ulah siapa. Jelas saja ulahku. Aku menggigitnya terlampaui anarkis.

"Perih?" Tanyaku sambil mengusap bibirnya dengan ibu jariku. Aska menatap mataku dalam. Kepalanya menggeleng kecil. "Maaf," ucapku menyesal.

Setelah kupikir-pikir, sakit pada bibir Aska akibat gigitanku tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan tubuhku. Seluruh tubuhku rasanya remuk. Belum lagi pusat tubuhku yang terasa nyeri. Sialan!

"Tapi, kamu juga harus minta maaf lho, Ka." Aska mengernyit. Semakin mengeratkan pelukannya. "Kenapa?" Aku menunduk malu-malu. "A-aku juga sakit." Jawabku dengan nada rendah. Tapi, karena aku dan Aska tak berjarak seperti ini, kupikir dia mendengarnya.

"Harus?" Tanya Aska. Aku mengerjap beberapa kali. "Harus apa?" Tanyaku kembali. Karena, sungguh, aku tidak paham. "Harus banget aku minta maaf? Lagian aku nggak kasar kok mainnya." Aku hanya menghela nafasku. Menyembunyikan wajahku pada dada bidangnya.

"Lupain aja." Ucapku karena merasa malu. Aska mengusap rambutku pelan. Sesekali mencium puncak kepalaku dengan lembut. "Aku nggak pake pengaman tadi." Ucapnya. Aska memang tidak mengenakan pengaman apapun. Dan cairannya lolos begitu saja masuk ke dalam rahimku. Tak masalah, aku justru merasa senang.

"Biar aja dia tumbuh disana." Ucapku mantap. Aku tahu saat ini Aska sedang tersenyum. Sayang sekali, senyumnya tampak seperti tak ikhlas. Apa aku baru saja membuat kesalahan dengan membiarkan benihnya tumbuh disana?

•••