Aku pernah terluka sebelumnya. Luka dihatiku pernah menganga hingga aku berpikir tak ada cara lain untuk mengobatinya. Mau tak mau aku mencoba membekukan perasaan dengan harapan tak akan lagi merasa tersakiti. Tak tahu jika membekukan hati saja tak selamanya berhasil.
Batu karang yang nampak paling kuat saja mampu lebur dihantam ombak. Mau sombong dengan mengatakan hatiku takkan luluh oleh apapun dan siapapun. Nyatanya aku tak bisa. Lupa hingga kesombongan adalah hal yang dibenci Tuhan.
Aku melupakan fakta bahwa hati itu rentan dengan kebaikan. Karena, walaupun sejak dulu menjunjung tinggi logika. Nyatanya perasaan masih ada diatas segalanya. Kembali aku melupakan jika lobus frontal dan korteks milik wanita lebih besar dibanding laki-laki.
Berusaha semaksimal mungkin mengedepan logika dan mengesampingkan perasaan. Tak semudah itu aku lakukan. Hanya dengan pengalaman pernah tersakiti tak serta merta membuatku berhati-hati. Logika yang kugenggam sejak awal berhamburan hanya karena emosi yang tak mampu dikendalikan.
Aku pernah mencintai seseorang terlalu dalam. Hingga lupa bahwa tak semua janji yang diucapkan akan begitu saja ditepati. Kembali melupakan fakta jika banyak manusia pengingkar janji yang berkeliaran disekitarku. Salah satunya seseorang yang hadir dari masa laluku.
Tak mau mengulang rasa sakit. Aku enggan menjadi wanita yang mudah percaya hanya dengan janji. Karena, sebelum janji itu ditepati, kata-kata itu hanya berupa omong kosong belaka yang tak memiliki arah tujuan.
Setiap kali aku diberi janji. Harapan akan muncul begitu cepat dalam benakku. Berekspektasi setinggi mungkin untuk menimang apa yang akan terjadi nanti. Ekspektasi terlalu tinggi tak selalu berakhir baik. Jika tak sesuai, hanya akan merasa sakit hati.
Setelah mengetahui fakta itu, aku tak lagi mau berekspektasi tinggi. Justru aku malah berpikir negatif. Mempersiapkan diri agar tak terkejut ketika harapan tak sesuai dengan keinginan.
"Kamu cepet banget waktu liburnya habis." Setelah pergulatan panjang kami semalam, aku dan Aska sibuk berpelukan. Dengan Aska yang mengusap pinggang telanjangku lembut. Dan bibirnya yang sibuk menciumi permukaan kulitku. Jemariku hanya sibuk bermain diatas permukaan kulit wajahnya.
"Kamu aja yang terlalu menikmati." Aku tersenyum kecil. Memang selama liburan Aska kali ini, aku terlalu menikmati kebersamaan kami berdua. Tak ada lagi berbicara hanya jika butuh. Hanya saja, aku merasa dia tetap Aldebaran Askara yang membangun dinding pembatas tinggi yang begitu enggan aku masuki.
"Gitu ya?" Tanyaku. Aska mengangguk. Kembali mengecup leherku. Sesekali menghisap dan meninggalkan jejak yang akan menjadi merah keunguan. Aku diam saja, sibuk menikmati wajah tampan Aska yang begitu mengagumkan.
Terlebih dengan absennya pakaian yang menampilkan dada bidang dan bahu lebarnya. Setidaknya, jika Aska memberiku penghalang untuk membuka hatinya. Aku masih bisa membuka pakaiannya untuk kunikmati secara nyata. Ah sial, betapa binalnya pikiranku.
"Liburan ini kita cuma di Rumah, lho. Kamu nggak bosen?" Aku menggeleng. Untuk apa aku merasa bosan jika penghiburku hanyalah Aska. Hanya dengan melihatnya bermain game seharian, melihatnya bertelanjang dada, melihatnya senyum dan tertawa. Bagiku itu semua adalah hiburan.
"Besok aku udah mulai flight lagi." Aku tahu, Sayang. Berhenti mengingatkanku dan membuatku bersedih. Aku benci ketika berjauhan dengannya.
Kupikir memiliki suami seorang pilot adalah hal mengagumkan. Mengingat nominal yang akan tersimpan direkening tak main-main. Aku akan menjadi wanita sosialita yang sibuk berbelanja kesana kemari. Tak perduli jika suamiku juga terbang kesana kemari demi pundi-pundi rupiah gendut direkeningnya.
Pikiran gilaku yang menjurus pada matrealistis. Sekarang aku tak lagi berpikir seperti itu. Aku bahkan sempat berpikir tak masalah Aska hanya bekerja menjadi pegawai biasa dengan gaji sesuai UMR. Yang terpenting kehadirannya disisiku.
Tuhan sudah mengabulkan doaku. Memiliki suami kaya dengan rekening berisi uang berlimpah. Aku tetaplah manusia yang tak pernah bersyukur. Selalu saja merasa apa yang diberikan kurang. Padahal, hal yang kulakukan juga tak banyak.
"Kok aku rasanya nggak pingin ditinggal, ya." Ucapku pada Aska. "Kenapa?" Aska menatap kedua mataku. "Pingin aja kayak gini terus." Aska tersenyum. Mencium pipiku dengan lembut. "Aku jadi pengangguran aja gimana?" Aku mendengus kuat.
"Kamu nggak bisa beli parfum dua juta nanti." Aska terkekeh. "Apa sih parfum dua juta dibahas terus. Aku balik lagi aja pake parfum tiga ratus ribu. Kesel banget heran." Aska tertawa dengan suara beratnya. Membuatku memejamkan mata untuk merekam suara tawanya.
"Parfummu harganya lebih mahal dikit ya. Apa kamu nggak ikhlas ya uangnya aku pakai buat beli parfum tiga juta?" Aska terkekeh geli. "Tapi, kayaknya itu pertama dan terakhir aku beli parfum tiga juta, Ka." Aku merasa bersalah uang yang diberikan kugunakan untuk membeli barang yang kurang bermanfaat. Aku terbiasa hidup hemat.
"Kenapa?" Nada suara Aska berubah datar. "Parfum Victoria Secret Bombshell juga wangi lho, Ka. Aku berasa jadi Victoria Secret's angel. Atau ntar aku beli lingerienya juga kali, ya. Biar kamu semakin terangsang gitu?" Sedetik kemudian aku mendengar suara renyah tawa Aska yang menggema pendengaranku.
"Kamu habis aku perawanin isi kepalanya tambah kotor, ya." Aku mengerucutkan bibirku karena kesal. Bukankah seksinya seorang istri adalah kebahagiaan suami, ya?
"Kamu mending nggak usah pakai baju aja, Sa. Itu kayaknya lebih bikin aku terangsang, deh." Aku merasakan pipiku memanas karena malu. "Udah aku nggak mau bahas ini lagi." Sungguh, aku menyesal berbicara seperti itu. Apa? Membuat Aska terangsang? Astaga Asa, belajar dimana kata-kata kotor seperti ini.
"Minggir dulu tangannya. Aku mau bersih-bersih dulu. Cairan kamu lengket banget serius. Aku risih." Ucapku sambil berusaha menyingkirkan tangan Aska. "Bentar dulu. Besok kita nggak bisa kayak gini dua bulan." Ucap Aska. "Habis mandi bisa pelukan lagi, Aska. Minggir buruan." Ucapku sambil menyingkirkan tangan Aska.
"Kamu besok berangkat agak siangan, kan?" Aska mengangguk menjawab pertanyaanku. "Aku anter lagi, ya?" Aska mengangguk lagi. Tangannya yang melingkar diperutku terlepas. Memberikanku akses untuk turun dari atas kasur.
"Kamu juga harus bersih-bersih, Ka. Kotor. Nggak baik kalau dibuat tidur." Ucapku sambil berdiri dihadapannya. Aku tidak berniat pamer tubuh indahku dihadapan Aska. Tapi, memang aku tak diharuskan mengenakan pakaian hanya untuk berjalan sekitar tujuh kaki dari atas kasur kami.
Aska menaikkan sebelah sudut bibirnya. Menyeringai dengan mata tajamnya yang masih menatapku. "Kenapa baru bilang nggak baik sekarang, Sa? Beberapa hari lalu kita juga tidur telanjang dalam keadaan cairan lengket ditubuh kita, kan?" Aku mengerjap. "Y-ya, i-itu aku terlalu capek aja buat bersih-bersih." Aska tersenyum.
Aku segera berlari masuk kedalam kamar mandi. Memang benar. Sebelumnya kami kerap tertidur dalam keadaan telanjang. Dengan cairan yang masih menempel pada permukaan kulit kami. Sialnya, keganasan Aska membuatku tak bisa bangkit dari kasur. Akhirnya, mau tak mau aku memilih tidur dalam keadaan kotor.
•••