Chereads / Epiphany (My Handsome Pilot) / Chapter 18 - Asa - Tujuh Belas

Chapter 18 - Asa - Tujuh Belas

Kuharap monologku tadi tak terdengar olehnya. Bukan malu. Aku takut jika Aska justru kesal karena aku mencintainya. Banyak hal yang aku takutan berkaitan dengan Aska.

Memikirkan banyak ketakutanku saja sudah membuatku lelah. Aku ingin menanyakan langsung kepadanya. Tapi, ini bukan waktu yang tepat. Aska masih sakit walaupun suhu tubuhnya sudah turun. Dia bahkan sudah tampak lebih baik setelah sekitar empat jam tertidur dalam pelukanku.

Aska masih berada di kamarnya. Merebahkan tubuhnya sembari bermain game. Sulit sekali melepaskan pelukannya karena dia enggan kutinggal. Tapi, setelah sedikit memaksanya dan mengatakan harus membuat makan malam, Aska akhirnya melepas pekukannya juga.

Aku tak tahu, apakah hal seperti ini hanya akan terjadi satu kali dalam hidupku. Atau hal ini akan menjadi awal hubunganku dengan Aska menjadi lebih baik. Ntah, aku juga tidak mengerti.

Sepanjang tidur bersama tadi, aku merapalkan banyak harapan. Aku ingin kehidupan pernikahanku bersama Aska akan lebih baik. Pernikahan normal layaknya orang lain. Aku tidak tahu apakah aku terlalu banyak berharap. Tapi, sungguh aku ingin disayangi dan dihargai layaknya istri.

Aku akan berusaha melupakan kejadian beberapa waktu lalu. Dimana Aska justru meninggalkanku dihari pertama bulan maduku. Aku tak tahu dia tidur dimana dan bersama siapa. Apa yang dia lakukan. Dan apa alasannya membohongiku. Aku akan berusaha melupakannya jika pernikahanku akan berubah lebih baik.

"Kamu masak apa?" Aku berjingkat karena Aska yang tiba-tiba muncul begitu saja. Terlebih suaranya yang berat tepat ditelinga kananku. Untung saja panci berisi sup kombinasi yang kubuat tidak terjatuh karena kutarik. Bisa-bisa tubuhku melepuh karena terkena tumpahan sup.

"Astaga! Aku kaget!" Seruku karena kesal dengan Aska. Bisa-bisanya dia datang tiba-tiba. Mengagetkanku yang tengah membagi fokus antara masakan dan pikiranku.

"Aku nggak ngagetin. Kamu yang lagi melamun." Eh, bagaimana dia bisa tahu? "Aku nggak lagi melamun. Cuma lagi fokus masak aja." Aska terkekeh. "Kamu nggak pinter bohong." Aku hanya menghela nafas saja. "Kamu masak apa?" Tanya Aska. "Sup kombinasi." Aska mengangguk.

"Tapi, nggak pake seafood, kan?" Aku mengangguk. Aska ini sangat membenci makanan yang hidup di laut tersebut. Aska dan seafood adalah musuh bebuyutan. Aska pernah berkata tubuhnya menjadi mudah sakit setelah memakan seafood. Ntahlah.

"Aku ganti seafood pake ayam sama bakso." Aska mengangguk. "Duduk sana. Bentar lagi makanannya siap." Aku membalikan tubuhku. Tepat sekali, Aska berada dihadapanku. Bahkan jarak kami dapat dikatakan terlalu dekat. Membuatku gugup dan memilih menunduk.

Kepalaku menabrak dadanya. Karena tinggi kami yang berjarak sekitar sepuluh centimeter. Tinggi Aska sekitar seratus delapan puluh tiga, sedangkan aku seratus tujuh puluh. Aku ini termasuk dalam kategori tinggi untuk ukuran wanita.

"M-mundur dikit, Ka." Aska diam saja. Tak bergerak sedikitpun. Walaupun, permintaanku barusan terdengar sangat jelas. Aku memintanya untuk mundur agar tubuhnya tak menghimpitku. Aku masih enggan menatap kedua netra tajam Aska.

"Kalau bicara tatap mata lawan bicaramu, Sa." Bersamaan dengan ucapannya, jemari Aska menyentuh daguku. Mendongakan kepalaku agar bertatapan dengan matanya. "Seperti ini kalau bicara dengan seseorang." Ucapnya dengan nada rendah. Aku hanya bisa membatu. Tatapannya begitu tajam, fokus, dan seolah mengintimidasiku. Aku takut. Tapi, tak merasa terancam.

"M-maaf. T-tapi, bisa kamu m-mundur sedikit?" Sial! Kenapa nada bicaraku tampak sangat gugup begini. Membuatku malu. Terlebih Aska tersenyum miring. Sepertinya, Aska menyadari kegugupan yang melandaku saat ini.

"Kalau aku ingin cium bibirmu, boleh?" Aku mengerjap beberapa kali. Apa? Cium bibirku? Aska sedang demam hari ini, apakah hal tersebut mempengaruhi pikirannya? Kenapa dia sangat aneh hari ini?

Aska mematikan kompor yang tepat ada dibelakangku. Aku berkedip beberapa kali. Sedetik kemudian, tubuhku merasa melayang. Dan yang aku rasakan adalah alas keras yang terbuah dari kayu. Meja makan. Aska mengangkatku dengan sangat mudah dan duduk diatas meja makan.

"Aska!" Aku memekik ketika lelaki itu mulai bersikap aneh. Tidak seperti biasanya. Menggendongku bukan tipenya sekali. Apalagi, selama ini, dia kerap mengabaikan keberadaanku.

"Kenapa?" Nafas hangatnya mampu menyapu wajahku. Membuatku harus terpaksa menahan nafas karena saking gugupnya. Bahkan jemariku meremas ujung meja makan yang keras. Aku menatapnya dengan takut-takut.

"Kenapa? Kamu butuh sesuatu?" Tanyaku mencoba tak gugup. Aska menggeleng. Kemudian, bibirnya yang kenyal serupa permen yupi menyentuh pipiku. Mengecupnya tanpa suara. Aku hanya bisa diam. Tubuhku benar-benar kaku dibuatnya.

Aska menjauhkan wajahnya. Menatap wajahku yang kini sudah memerah. "Malu, heum?" Aku diam saja. "Aku bahkan baru cium pipimu. Kalo bibirmu yang kulumat, gimana coba?" Aku benar-benar tidak tahu. Apakah reaksi tubuhku sebegini berlebihannya. Aska baru mencium pipiku dan bukan bibirku. Kenapa aku sudah malu seperti ini.

Aska melumat bibirku tepat ketika aku sedikit membuka mulutku untuk bernafas. Ciuman pertamaku. Bibirku belum pernah terjamah sebelumnya. Dan Aska baru saja melepas segel pada bibirku.

Gugup tentu saja. Ciuman yang Aska berikan begitu menuntut. Aku kesulitan mengimbangi karena ini pertamanya bagiku. Aska melepas tautan bibir kami. Aku membuka mata. Merasa kehilangan karena bibirnya baru saja melepaskan tautan.

Aku menatapnya dengan bingung. Lelaki itu menatapku dengan senyum miringnya. "Kenapa tidak membalas ciumanku?" Tanya Aska membuatku terkejut. "A-aku, a-anu--" belum sempat menyelesaikan kalimatku. Bibir Aska kembali melesak menyerang bibirku yang beberapa waktu lalu masih dalam status suci.

Takut jatuh dan menyebabkan kekacauan, aku memegang sisi tubuh Aska. Berpegangan erat pada pakaiannya. Bibirnya masih sibuk melumat bibirku. Sebenarnya, aku hanya belajar cara berciuman dari drama, film, atau, ehmm video dewasa yang sesekali kutonton. Tapi, sungguh, aku belum pernah berciuman dengan siapapun.

Hingga aku menyadari satu hal. Bahwa ternyata teori yang selama ini aku pelajari sama sekali tak ada gunanya. Tadinya kupikir jika aku berciuman untuk pertama kalinya, aku dapat langsung memiliki kemampuan untuk mengimbangi lawanku. Justru yang terjadi adalah tubuhku terasa kaku. Dan aku bingung bagaimana cara membalas ciuman yang baik dan benar.

Mengikuti gerakan bibir Aska yang melumat bibirku. Akupun perlahan mengikuti gerakannya. Melumat bibirnya lembut. Hingga merasa bahwa posisi tanganku tak lagi nyaman. Aku merubah posisi tanganku melingkari lehernya. Menahan tengkuknya agar tak melepaskan ciuman kami.

Ntah berapa lama aku sudah menahan diri untuk tidak menghirup oksigen akibat pergulatan bibir kami. Aku mendorong tubuhnya perlahan. Hingga Aska menatapku dengan penuh tanda tanya. "A-aku kehabisan nafas." Ucapku sambil terengah.

Aska tertawa dengan menutup wajahnya menggunakan telapak tangannya. Mengerutkan dahiku dengan arti menanyakan apa yang membuatnya tertawa. Aska mengusap kerutan pada dahiku. "Kamu lucu. Aku yakin ini pasti ciuman pertamamu, kan?" Aku mengerjap beberapa kali. Bagaiamana dia bisa tahu?

"Maaf. Aku tidak bisa mengimbangi ciumanmu." Ucapku menyesal. Aska terkekeh lagi. "Jangan merasa menyesal. Aku paham. Jadi, berhenti memasang wajah sedihmu, Sayang." Aku tersenyum. Menyentuh dahi Aska dengan telapak tanganku. "Kayaknya kamu udah sembuh beneran deh. Atau masih ada yang sakit? Mau aku hubungin Arka buat meriksa keadaanmu?" Bukannya menjawab, Aska malah menatapku.

"Aku udah sembuh, Sayang." Ucapnya padaku. Jantungku merasa akan perang setiap kali panggilan sayang meluncur dari bibirnya. Terlebih itu untukku. Aku mengangguk. "Makan setelah itu kamu boleh tidur lagi." Aska mengangguk.

"Aku boleh minta tolong?" Tanyaku pada Aska. Lelaki itu hanya menatapku. "Tolong turunkan aku." Aska terkekeh lagi. Kenapa hari ini senyum dan tawanya murah sekali. Membuatku gemas ingin menciumnya.

"Mohon-mohon dulu. Baru aku turunin." Aku menggeleng. "Aku bisa turun sendiri." Aska tertawa dengan nada menghina. "Gimana caranya turun? Kamu nggak ingat kalau sekarang sedang kuhimpit begini?" Aku menghela nafas. Benar juga. Bagaimana bisa aku turun jika dia saja sedang menghimpitku.

"Kalau begitu, kamu bisa mundur, kan?" Aska tersenyum kecil. "Aku nggak mau." Ucapnya. Setelah itu bibirnya menuju leherku. Mengusak leherku dengan bibirnya yang lembab. Dapat kurasakan bibirnya mengecup permukaan leherku. Tak berselang lama, lidahnya bermain diatas permukaan leherku.

Aku tak bisa berkata apa-apa. Kecuali mengeluarkan suara erangan nikmat pertamaku. Sungguh, ternyata hal seperti ini melebihi ekspektasiku. Rasanya menggairahkan, sekaligus nikmat, geli, dan gugup. Perasaan itu bercampur satu saat ini. Membuatku bingung harus melakukan apa.

Aska menghisap leherku layaknya vampire kehausan darah suci. Benar-benar kuat hingga aku kembali merengkuh tubuhnya untuk menjaga keseimbangan tubuhku. "Aska-- akh-" hanya itu yang bisa keluar dari bibirku sekarang.

Aska tersenyum tepat setelah menyelesaikan hisapannya. Bibir kami saling bertemu lagi. Aska melumatnya dengan begitu menuntut. Memaksaku agar membuka mulutku. Memberikan akses untuk lidahnya bermain disana. Aku mengikuti kemauan Aska.

Saliva kami saling tercampur satu-sama lain. Hingga menciptakan benang saliva ketika Aska melepaskan pergulatan bibir kami. Keningnya menyentuh keningku. Menatapku dengan jarak yang sangat dekat. Membuatku gugup sembari terengah karena harus menahan nafas beberapa saat.

"Maaf, tapi, aku nggak bisa nahan buat nggak cium kamu kayak tadi." Aku mengangguk. "Nggak papa. Bukan emang kewajibanku memenuhin kebutuhanmu? Termasuk yang satu ini?" Aska tersenyum kepadaku.

"Makan, kamu baru aja sembuh. Bisa-bisa sakit lagi." Aska terkekeh. "Kita harus bersihin mulut kita dulu nggak sih sebelum makan?" Kali ini aku yang tergelak dengan pertanyaannya. "Ayo buruan bersihin. Tapi, bantuin aku turun dulu." Aska menurunkanku dari atas meja.

•••