Chereads / Epiphany (My Handsome Pilot) / Chapter 16 - Asa - Lima Belas

Chapter 16 - Asa - Lima Belas

Sejak satu jam yang lalu, aku menanti kedatangan Aska. Dia bilang akan tiba sekitar dua jam lagi. Sesuai dengan pesan singkat yang dikirimnya ketika aku masih berada di rumah. Mengingat jarak antara rumah dan bandara cukup jauh, aku berangkat satu setengah jam sebelum kedatangannya. Tetapi, sudah satu jam lebih menunggu, aku belum dapat melihat batang hidung Aska yang mancung itu datang.

Aku melirik segelas bubble tea yang sudah habis tanpa sisa. Bahkan bungkus bagian atas sudah aku sobek demi melancarkan lolosnya boba untuk masuk ke dalam mulutku. Untuk kesekian kalinya aku melirik pintu kedatangan dan Aska belum hadir juga.

Kemarin, Aska mengatakan kepadaku akan pulang hari ini. Dan kalau tidak ada sesuatu kendala, dia akan tiba sekitar dua jam lagi. Itu pesan singkat yang dia kirimkan pada hari ini. Maka, sebagai istri yang merindukan suami wajar jika aku bersemangat datang untuk menjemputnya.

Tapi, yang terjadi adalah sudah sejam lebih dan Aska belum juga keluar. Ponselnya masih belum aktif. Mungkin, karena masih diatas pesawat. Aku menghela nafas lagi. Lama-lama menunggu itu melelahkan juga.

Aku tersenyum dengan lebar ketika melihat Aska berjalan menuju pintu kedatangan sembari menarik kopernya. Dia masih rapi dengan seragamnya. Dibelakangnya, ada pramugari cantik yang menggangu pikiranku belakangan ini. Helena tampak mengikuti langkah Aska.

Aku segera menghampiri Aska. Meninggalkan gelas bubble tea milikku yang telah kosong diatas kursi tunggu. Sedikit berjalan lebih cepat untuk segera menghampiri Aska. Aku tersenyum lebar, tidak dengan Aska yang hanya tersenyum tipis. Helena menatapku tak suka.

"Aska," panggilku. "Hai. Daritadi?" Aku mengangguk. "Hmm, sejam." Dia terkejut. "Maaf, ada sedikit kendala. Jadi, terjadi keterlambatan." Aku tersenyum. "It's okay." Dia tersenyum. "Halo, Helena." Sapaku. "Halo, Bu Asa." Jawabnya.

"Ayo, pulang." Ucap Asa kemudian menarik tanganku. "Loh, kok buru-buru?" Tanyaku. "Aku capek." Aku mengangguk. Aku melirik Helena yang menatap Aska dengan tatapan sendu. Sebenarnya ada hubungan apa diantara mereka berdua? Kalau teman tidak seperti ini, kan? Aku dan Jevan tidak seperti ini kok.

Tanpa pamit, Helena mendahuluiku dan Aska. Aku mengerutkan dahi karena bingung. Ada apa sih dengan wanita ini. Kenapa pula sikapnya aneh seperti ini.

"Helena kenapa, Ka?" Tanyaku pada Aska yang berjalan mendahuluiku. Dari belakang aku dapat melihatnya mengendikan bahu. Aku mengangguk saja. Sepertinya, memang ada sesuatu antara Aska dan Helena. Haruskah aku bertanya? Aku lelah berspekulasi.

"Kamu laper? Mau makan dulu? Aku gak masak apa-apa. Kita bisa beli dulu." Ucapku ketika kami sudah berada didalam mobil. "Pulang. Aku capek." Jawabnya dingin. Aku menghembuskan nafas. "Okey."

Aku mengendarai mobilku menuju ke rumah. Aska diam saja selama didalam mobil. Begitu pula aku. Matanya hanya berkeliaran diluar jendela. Ntah apa yang sedang dipikirkannya. Seperti ada masalah yang sedang menimpanya.

"Kamu kenapa?" Tanyaku hati-hati. "Aku kenapa?" Aska justru malah bertanya kembali kepadaku. "Ya aku tanya kamu kenapa. Kayak lagi ada masalah gitu." Aska diam beberapa saat. "Nggak papa." Ah, apa susahnya berbagi denganku, sih. Dia benar-benar tidak menganggapku, ya?

Setelah tiba di rumah, Aska segera turun dan meninggalkan kopernya. Wajahnya dingin. Aku menurunkan kopernya. Kemudian, menyusul Aska masuk ke dalam rumah.

Sepertinya, dia langsung masuk ke dalam kamarnya. Buktinya, aku sudah mendengar suara dentaman pintu yang ditutup keras. Kenapa sih dia? Atau Aska jika lelah memang menyebalkan seperti ini? Aku belum mengenalnya terlalu dalam dan ini menyulitkanku untuk memahaminya.

Daripada berpikiran terlalu jauh, aku memilih mengganti pakaianku dengan segera. Mengikat rambutku tinggi-tinggi. Aku berniat membongkar isi koper milik Aska. Setelah itu berniat untuk kembali masuk kamar dan tidur.

Setelah mengganti pakaianku, aku segera membuka koper Aska. Sebagian besar bajunya kotor. Isinya tampak berantakan. Berbeda sekali dengan ketika dia berangkat. Ada dua baju seragamnya yang kotor. Selama sebulan dia selalu menggunakan jas laundry untuk mencuci bajunya, kan?

Aku memilah pakaian kotor dan bersih milik Aska. Jujur saja, membedakan pakaian kotor dan bersih sedikit sulit. Parfume yang digunakan Aska merupakan parfum mahal seharga lima juta. Jadi, aromanya tidak hilang begitu saja. Aroma pakaian kotor Aska tetap wangi. Walaupun telah tercampur dengan aroma tubuh Aska.

Setelah selesai memilah aku membawanya ke ruang cuci baju dan jemur. Sekali lagi memilih pakaian berdasarkan warnanya. Aku jelas memisahkan pakaian seragam Aska yang berwarna putih dengan kaos-kaos atau kemeja Aska yang berwarna lainnya. Bisa-bisa terjadi kelunturan yang tak terduga-duga. Ada empat celana jeans Aska yang kotor juga.

Sebenarnya, aku lebih suka mencuci dengan tangan. Selain lebih cepat, lebih bersih juga menurutku. Jadi, aku memutuskan untuk mencuci saja dengan tangan. Tak ada salahnya kan bermain air sedikit?

Mencuci pakaian Aska yang hampir memenuhi setengah kopernya membuatku lelah juga. Belum lagi pakaianku sendiri. Apakah aku sudah mulai dapat predikat istri idaman?

Setelah selesai mencuci aku berjalan ke atas. Lebih tepatnya ke kamar Aska. Sembari membawa kopernya yang ditinggal di lantai bawah. Biasanya, koper ini berada di atas lemari kamar Aska.

Pintu kamarnya tertutup rapat. Aku mengetuknya dengan hati-hati. Kemudian, berinisiatif membuka pintu karena tak juga mendapat jawaban. Aska disana. Sedang tertidur tanpa melepas seragamnya. Hanya saja, seragamnya yang tadi rapi kini sudah berantakan. Empat kancing teratasnya terbuka. Membuatku menggeleng.

"Aska, kenapa nggak ganti dulu?" Tanyaku sambil mengembalikan bajunya yang bersih ke dalam lemari. Aska masih tetap tidur. Aku mengembalikan koper ke tempat biasa. Kemudian berjalan mendekati Aska.

Aku menggoyangkan tubuhnya perlahan. "Aska, bangun dulu. Bersih-bersih dulu habis itu baru tidur." Ucapku masih dengan menggoyangkan tubuhnya. Aku menyentuh dahinya. Terkejut karena suhu tubuhnya yang tinggi. Aku sedikit panik karena Aska yang juga tak kunjung membuka mata.

Hal pertama yang kulakukan adalah mengompres dahinya dengan air dingin. Sembari mengusap-ngusap kepalanya dengan lembut. Aska masih tidur tanpa bergerak sedikitpun. Dengan sabar aku mengompres dahinya dan berharap suhu tubuhnya akan segera turun.

"Kamu belum makan, kan? Aku buat makan dulu sebentar." Ucapku kemudian mencium pipi Aska. Bibirku ikut panas karena suhu tubuhnya.

Memilih membuat bubur sebagai sebagai menu makan siang Aska. Membawa semangkuk bubur beserta air putih dan obat. Aku kembali menaiki lantai dua. Aska sudah bangun. Hanya saja, dia belum bangkit dari tidurnya.

"Kenapa nggak bilang kalau sakit?" Tanyaku kemudian meletakan baki berisi mangkuk dan gelas diatas meja. Aska hanya diam saja sembari menatapku. "Kalau lagi sakit bilang. Diam aja emang aku tahu?" Ucapku. Dia masih saja memilih untuk diam.

"Makan dulu, aku suapin." Ucapku kemudian membantunya duduk. Aska menurut saja dengan perintahku. Aku duduk disisi ranjangnya. Dia masih menatapku dengan mata rubahnya. Jujur saja, aku takut sekaligus gugup.