"Anjir! Macet banget jalanan." Ucapnya dengan wajah kesal. "Namanya juga jam pulang kerja. Pastilah macet." Jawabku. "Kesel banget gue sama atasan gue." Aku mengernyit. "Kenapa?" Dia menarik nafasnya. Aku yakin setelah ini Rena akan bercerita dengan nada yang mirip dengan seorang rapper.
"Sialan banget. Brengsek emang. Eh tapi, apa gue yang salah ya?" Aku diam saja menantinya hingga menyelesaikan ceritanya. "Jadi, gue salah ngitung gitu. Pokoknya ada kekurangan gitulah. Nggak tau gue yang salah hitung atau gimana. Terus atasan gue marah-marah ke gue. Nyuruh gue ganti duit kekurangannya." Rena ini memang ceroboh sejak dulu. Makanya aku tidak terkejut. Tapi, aku merasa iba karena dia yang harus menanggung akibatnya.
"Emang kalo ada kurang gitu yang disuruh ganti teller ya, Re?" Rena mengangguk. "Yaiyalah! Mau Lo yang ganti?" Aku tersenyum kecil. "Santai kali nggak usah ngegas. Kan gue cuma tanya." Rena mendengus. "Berapa emang?" Tanyaku penasaran. Tidak mungkin puluhan ribu, kan? Kalau puluhan ribu diganti saja sudah selesai. "Lima juta." Aku membulatkan mataku. "Itu sama aja gaji Lo sebulan, Re." Rena mengangguk. "Terancam nggak gajian deh gue." Aku tersenyum iba.
"Kenapa si Rena wajahnya kesel gini?" Tanya Jevan sambil membawa minumanku dan Rena sekaligus. "Gue disuruh ganti lima juta sama atasan gue. Gara-gara duitnya kurang." Jevan duduk disampingku. Menatap Rena dengan mencemooh. "Pasti Lo yang salah sih, Re. Soalnya kan Lo ceroboh dari dulu." Ucap Jevan santai. "Setan Lo, Jev!" Aku tersenyum geli.
"Berat juga ya Re kerja di bank gitu." Aku pasti sudah menyerah lebih dulu. Sejak dulu aku memang tidak ada niatan bekerja. Apalagi mengurusi uang seperti bekerja di bank. Aku tidak memiliki keahlian apalagi kemauan. "Lo sih enak. Suami Lo pilot. Duit banyak. Lo nggak usah kerja juga duit ngalir." Ucap Rena cukup membuatku tertohok. Rena sayang, kamu tidak tahu kebenerannya pernikahanku.
"Oh iya ngomong-ngomong Lo belum cerita sama kita gimana Lo akhirnya nikah sama dia?" Aku menghela nafas. "Kan gue udah bilang dijodohin nyokap gue." Ucapku kesal. Aku sudah mengatakan bahwa aku dan Aska ini dijodohan beberapa bulan sebelum undangan disebar. Kenapa mereka masih bertanya terus, sih.
"Terus gimana bulan madu Lo kemarin? Seru nggak?" Tanya Rena dengan alis yang naik turun. Dia pasti sedang menggodaku. Aku paham arah pembicaraannya.
"Dia ganas nggak diranjang?" Aku menatap Jevan tajam. "Setan Lo, Jev! Pertanyaan Lo. Nggak ada akhlak banget perasaan." Seruku. "Ya kan gue kepo gitu, Lho." Ucapnya kemudian cengengesan.
Aku bingung harus bercerita atau tidak mengenai hal yang aku pikirkan belakangan ini. Sebenarnya yang aku pikirkan banyak. Hanya saja, ada salah satu yang cukup menganggu pikiranku. Walaupun yang lain juga menganggu. Intinya, aku pikir ini bisa aku ceritakan kepada mereka berdua. Aku butuh pendapat dan masukan orang lain untuk menenangan pemikiranku.
"Eh, Sa. Gue ini nggak mau nakut-nakutin Lo, ya." Aku diam menanti Rena melanjutkan ucapannya. "Katanya kalo pilot selalu ada main sama pramugarinya, kan? Hmmm Lo takut nggak? Maksud gue-- anu---" Ya, kalo itu memang sudah menjadi rahasia umum. Karena banyak juga sih buktinya.
"Iya, Sa. Setau gue juga gitu. Bapak sama ibunya temen gue ada yang cerai, lho. Bapaknya pilot terus ketauan ada main sama pramugari. Mana pramugarinya seumuran sama temen gue lagi." Aku miris mendengar ucapan Jevan. "Sumpah Lo, Jev?" Tanya Rena tak percaya. Jevan mengangguk. "Iya. Lho tau anaknya kayaknya, Ren. Itu si Tasya yang dulunya anak pecinta alam. Tau kan Lo?" Rena terkejut. "Sumpah? Gue kenal, sih. Pernah sekelas waktu kuliah. Tapi, seriusan? Kayaknya anaknya baik-baik aja. Gosip murahan doang ini kali. Lo ngarang ya, Jev?" Jevan menggeleng. "Gue denger dari temen deketnya. Lah, terus dia harus ngapain pasang status sedih gitu buat cari perhatian? Dia nggak gitu anaknya. Tipe yang nyimpen sedihnya sendiri menurut gue."
Mendengar obrolan Jevan dan Rena mengenai Tasya yang tidak kukenal. Diam-diam aku merasa ketakutan sendiri. Aku, Jevan, dan Rena berada di sekolah menengah atas yang sama. Kemudian, lanjut ke kampus swasta yang sama pula. Kebetulan sekali, kan? Tapi, aku berada di fakultas yang berbeda dengan Jevan dan Rena. Mereka ada di fakultas ekonomi sedangkan aku di fakultas komputer. Tak heran jika teman mereka hampir sama.
"Sebenernya gue mau cerita sesuatu." Ucapku dengan nada rendah. Aku bingung harus bercerita atau tidak. Tapi, aku tidak bisa menyimpan ini sendirian lebih lama lagi. Masih banyak masalah yang kutampung sendirian. Aku butuh berbagi walaupun tidak semua dapat kubagi.
"Cerita tinggal cerita, Sa. Alay Lo." Aku memberengut mendengar ucapan Jevan. Aku menyedot red velvet ice buatan Jevan. Rasanya pas sesuai dengan permintaanku.
"Jadi, waktu gue honeymoon--" aku melihat raut wajah Jevan dan Rena yang sudah tampak penasaran. "-- gue ada di hotel yang sama kayak temen-temennya laki gue. Mereka nunggu jadwal flight selanjutnya yang ada dihari besoknya. Akhirnya mereka nginep gitu kan disana--" Rena sudah melipat kedua tangannya diatas meja. Tampak sangat antusias mendengar ceritaku.
"Gue ketemu sama salah satu pramugari disana. Terus ada temen Aska yang bilang kalo pramugari ini deket banget sama Aska. Gue masih bisa berpikir positif. Oh kali karena jadwal mereka selalu samaan. Wajarlah kalo deket." Aku menarik nafasku. "Terus malemnya Aska izin mau mabar PUBG sama temennya. Yaudah gue izinin kan. Tapi, dia nggak balik sampai pagi. Gue ngehubungin HPnya nggak aktif. Terus pas pagi dia balik ke kamar gue tanya darimana. Dia jawab dari kamar temennya. Kecapean terus ketiduran di kamar temennya. Cowok. Sesama pilot gitu. Gue masih percaya aja, kan."
"Terus gimana? Buruan lanjut." Ucap Rena penasaran dengan ceritaku. "Perasaan gue kok nggak enak, ya." Ucap Jevan padaku. "Bentar gue belum selesai." Mereka kembali diam sembari menatapku.
"Gue kan telpon Aska malemnya. Tapi, HP dia nggak aktif. Terus gue tanya perihal HP. Dia bilang kehabisan daya gara-gara buat mabar. Gue masih percaya kan disitu. Logis kan kehabisan daya gara-gara buat mabar. Terus dia mandi HPnya gue charge. Lo tahu, daya ponselnya masih 43%. Nggak mungkin kan mati dengan jumlah daya segitu. Gue udah mulai nggak tenang tuh. Terus waktu sarapan. Gue ketemu sama temen Aska yang ngajakin dia mabar. Lo tahu dia bilang apa?"
Suaraku mendadak bergetar. Serius, aku tidak tahu kenapa hatiku mendadak merasa sakit. Tingkat kekhawatiranku meningkat. Pernikahanku baru seumur benih, tapi, Aska sudah berani membohongiku.
"Cemen Lo, Ka. Baru main bentar udah buru-buru balik. Mana kalah lagi." Aku kembali mengulang apa yang dikatakan oleh Ezra beberapa waktu lalu. Jevan dan Rena menatapku iba. "Aska nggak balik ke kamar. Pas gue tanya selesai main jam berapa katanya jam sembilan. Padahal, Aska keluar dari kamar jam delapan. Itu berarti Aska nggak ada tidur di kamar temennya, kan? Terus dia tidur dimana coba semaleman itu. Gue udah dibohongin dua kali." Ucapku dengan air mata yang mulai mengalir.
"Terus, ada yang lebih bikin gue curiga." Aku sengaja memberi jeda ceritaku. Aku butuh menghirup banyak udara untuk mengisi rongga dadaku yang terasa sesak.
"Pas gue lagi beliin dia minum. Cewek pramugari yang gue temuin waktu itu duduk disamping Aska. Tapi, mereka kayak lagi ngobrol serius. Dan wajahnya keliat emosi gitu. Sumpah, ini kejadian waktu sorenya sebelum Aska nggak balik ke kamar." Tangisanku pun pecah.
Beruntung tempat yang kupilih cukup jauh dari keramaian. Sehingga, tangisanku tidak perlu menjadi pusat perhatian.
"Fix, sih. Itu selingkuhannya." Ucap Jevan dengan nada menyebalkan. "Jangan-jangan dia juga tidur di kamar pramugari itu." Gue menutup wajahku dengan kedua tanganku. Rena meminta Jevan untuk tidak berbicara yang aneh-aneh.
"Lo, jangan ngaco, Jev." Ucap Rena. "Belum tentu, kan? Walaupun kalian udah nikah. Tapi, kalian ini masih butuh banyak waktu buat saling mengenal. Lo nggak tau Aska kayak gimana. Gue yakin Lo nggak ada tanya Aska soal ini, kan?" Aku mengangguk membenarkan.
"Karena belum kenal. Bisa aja tuduhan si Jevan kupret ini salah. Kita nggak bisa berspekulasi sendiri, Sa. Lo tanya nanti, ya. Suami lo dimana sekarang?" Aku menghapus air mataku. "Melbourne. Baru balik seminggu lagi."
"Tapi, ya, Sa. Perasaan gue mengatakan pramugari itu selingkuhannya, sih." Ucap Jevan hingga membuat Rena kesal. "Diem lo, Setan. Lo kebanyakan nonton drama. Kesel gue."
Dibanding ucapan Rena, aku lebih bisa mempercayai ucapan Jevan. Walaupun menyakitkan. Ntah mengapa semua tampak begitu pas. Ntahlah, aku tidak tahu harus bagaimana jika itu benar terjadi.
•••