Ini adalah hari pertama Aska meninggalkanku untuk bekerja dengan status baruku. Sebagai istri Aska. Sebelumnya kami hanya, hm, ntahlah. Kami bukan pacar sebelum menikah. Jadi, aku bingung menyebut apa hubungan kami.
Aku membereskan rumah tepat setelah tiba. Sebenarnya, rumah tidak terlalu kotor. Mengingat yang tinggal hanya aku dan Aska. Dan kami berdua lebih banyak menghabiskan waktu didalam kamar. Keluar untuk mengobrol saja sekalian saat sedang makan. Atau saat aku bosan di kamar begitu juga Aska. Kita akan menonton film sesekali mengobrol. Itu pun jarang sekali terjadi.
Rencananya aku akan pergi ke rumah ibuku. Setelah pulang liburan aku belum pernah datang berkunjung. Aku pikir, akan membosankan berada di rumah ini sendirian. Sepi, aku yakin itu.
Sebenarnya Aska ingin memelihara kucing. Aku baru tahu dia begitu menyukai kucing. Hanya saja aku menolak. Aku takut dengan hewan yang super menggemaskan itu. Akhirnya, Aska menurut saja. Lagipula, jika nekat memelihara, aku yang akan merawatnya. Karena Aska pasti akan sibuk bekerja.
Aku sudah siap. Hanya dengan kaos berlengan pendek dan celana jeans. Hanya dengan membawa dompet, ponsel, serta kunci mobil saja. Lagipula, aku tidak berniat pergi kemana-mana selain ke rumah ibuku.
Menyetir sendiri sudah menjadi kebiasanku. Walaupun aku ini anak bungsu, aku termasuk anak yang mandiri. Aku berusaha sebisa mungkin tidak merepotkan orang lain.
Setibanya di rumah ibuku, aku langsung disambut oleh keponakan kecilku. Namanya Alam. Umurnya dua tahun. "Onty, ulang." Ucapnya sambil memeluk kakiku.
Dengan segera aku mengangkatnya ke udara. "Bunda mana?" Tanyaku. Dia menunjuk ke arah dalam. Aku dapat melihat kakaku, Rona. Sedang bersantai didepan ruang TV sembari menikmati setoples kacang telur.
"Ngapain lo disini, kak?" Tanyaku dengan nada ketus yang sedikit kubuat-buat. Agar lebih dramatis. "Lah, terserah gue dong. Ini juga pernah jadi rumah gue, ya." Aku tersenyum geli. Mendengar kata-katanya membuatku sadar. Rumah ini tak lagi menjadi rumahku dan Kak Rona. Kami berdua selalu menyebutnya dengan rumah ibu. Padahal dulu, kami menyebutnya sebagai rumahku.
"Ini anak lo kenapa tambah gembrot aja sih, Kak?" Tanyaku sambil menciumi pipi Alam yang menurutku semakim gembil saja. "Heh sembarangan. Dia semok tahu, bukan gembrot." Aku memutar bola mataku.
"Ibu mana, Kak?" Aku memang belum mengabari akan kemari. Ibuku juga jarang pergi. Kupikir pasti ada di rumah. "Demo masak tempat Bu RT." Ucapnya sambil terus menikmati kacangnya. "Kurang kerjaan banget." Ucapku mencemooh.
"Eh, Ibumu itu bosen. Tau nggak, rumah jadi sepi banget habis kalian berdua nikah." Ucap Ayahku sambil membawa gelas berisi teh hangat. Aku segera mendekat dan mencium tangannya. "Lagian, kalian juga kesini nggak ngabari dulu. Mana ibumu tahu. Kalo tahu pasti juga nggak akan ikut demo masa di rumah Bu RT." Aku tersenyum. "Iya sih. Nggak janjian tapi, yah. Aku sama Kak Rona nggak janjian. Kebetulan aja barengan kesini." Kak Rona mengangguk untuk membenarkan.
"Aku malah nggak tau dia mau kesini." Ucap Kak Rona pada ayah. "Ibu udah lama, yah? Dari jam berapa?" Tanyaku. "Jam sembilan. Paling bentar lagi demo masaknya udah bubaran." Melirik jam yang tergantung pada dinding. Sudah hampir jam dua belas. Tidak mungkin demo masak sampai sore, kan?
Aku duduk sambil mendudukan Alam dipahaku. Sesekali mencubit pipinya hingga membuatnya kesal. Sungguh gemas sekali. Seperti mainan yang saat ini sudah tidak tenar beberapa waktu lalu, squishy.
"Suamimu udah mulai terbang lagi?" Tanya Ayah. Aku mengangguk. "Sebulan malahan ini." Ucapku. Kak Rona membulatkan matanya. "Sumpah sebulan? Lama banget anjir!" Seru Kak Rona heboh. Membuat ayah menatap putri sulungnya dengan tajam. "Jangan ngomong kasar. Ada anakmu disini." Kak Rona tampak menggaruk belakang lehernya yang tak terasa gatal.
"Tapi, serius itu lama banget." Sebulan menurutku sudah yang paling cepat untuk penerbangan internasional. Karena, Aska pernah bercerita jika terkadang dia bisa pergi sama tiga hingga empat bulan untuk bekerja.
"Kalau buat penerbangan internasional. Itu cepet, Kak. Aska bilang kadang nanti bisa juga tiga sampe empat bulan." Kak Rona kembali membulatkan mata. "Itu serius? Nggak pulang selama itu?" Aku mengangguk . "Kok Lo betah sih, Sa. Gue kalo jadi Lo bakalan ngerengek kangen, sih." Aku tersenyum kecut. Ya, itu kalau pernikahan normal. Tapi, pernikahanku kan tidak normal.
"Aska baik, kan? Dia nggak nyakitin kamu?" Tanya Ayah dengan nada sedikit khawatir. Bagaimanapun, aku dan Aska terlalu cepat untuk menikah. Wajar rasanya jika beliau merasa khawatir dengan putrinya.
"Aku bahagia nikah sama Aska." Ucapku sambil tersenyum.
"Heh, anak ibu dateng pada nggak bilang-bilang." Ibuku sudah datang dengan membawa dua papper bag yang ntah apa isinya. "Aku pikir ibu di rumah aja. Taunya main demo-demo'an ditempat Bu RT." Ibuku tertawa. "Bosen nggak tau mau ngapain. Kalau ikut demo masak pulangnya dapet bingkisan. Seminggu lalu ikut demo make up pulang bawa make up." Aku tertawa.
Ibuku meletakan bingkisannya diatas meja. Mendekat ke arahku. "Gimana rasanya jadi istri? Enak?" Aku tesenyum. "Enak. Aska baik." Ibuku tersenyum puas. "Ibu sudah ngira kalau Aska itu baik."
"Sa, cita-citamu tercapai, dong." Ucap Kakakku sembari menaik turunkan alisnya kepadaku. "Cita-cita yang mana ini?" Tanyaku pada Kak Rona. "Cita-cita jadi istri orang kaya." Aku membulatkan kedua mataku. Kemudian, tertawa dengan cukup kencang.
"Astaga! Aku berasa lagi jadi pemeran di FTV ikan terbang lho, Kak." Kak Rona tertawa. "Yaudah, sih. Yang penting nggak jadi pemeran di serial Suara Hati Istri, aja. Soalnya wajahmu nggak cocok hidup dengan penuh drama." Aku tersenyum kecut mendengarnya.
���••