Aku dan Aska sudah menyelesaikan liburan kami. Aku akan menyebutnya sebagai liburan dan bukan bulan madu. Tak ada kegiatan menggairahkan yang kami lakukan. Hanya berjalan-jalan dari pantai satu ke pantai lain. Kemudian, kembali ke hotel, makan, membersihkan diri, dan tidur. Selalu seperti itu.
Hingga seminggu berlalu. Terjadi sedikit perubahan diantara kami. Aku semakin berani menunjukan rasa perduliku. Dan Aska yang mulai banyak bicara denganku. Aku bahkan yang membereskan koper Aska sebelum kami pulang. Membangunkannya dengan cara mengusap kepalanya. Ntah mengapa satu hal itu menjadi kegiatan kesukaanku dipagi hari. Pikirku, bisa menyentuh rambutnya saja sudah lebih dari cukup. Mau meminta morning kiss? Aku masih punya harga diri.
Hingga sepulang kami dari honeymoon, Aska tetap tak mau mengatakan kebenaran dirinya yang tak kembali ke kamar hotel dimana aku tidur. Dia tak pernah mengatakan dimana dia berada. Tidur dimana dia saat itu. Dia benar-benar bungkam. Aku mencoba tetap bersabar.
"Ada lagi yang mau dibawa?" Tanyaku pada Aska sembari mempersiapkan kopernya. Waktu liburnya sudah habis. Itu berarti, dia harus kembali bekerja. Aku akan berada di rumah sendirian.
Jujur saja, aku sedih. Aku tidak pernah memiliki waktu untuk bersamanya. Tak ada waktu untuk mengenalnya lebih dalam. Aku pikir kita membutuhkan waktu untuk saling mengenal. Kami mengobrol layaknya teman. Tapi, pekerjaan Aska menjadi salah satu penghalang.
"Udah. Vitamin udah?" Tanyanya mengingatkanku. Aku mengangguk. "Ini di bagian depan, ya. Jangan lupa diminum." Aku berdiri. Merapikan seragam Aska lalu tersenyum. "Hati-hati. Jangan lupa makan, kamu nggak bisa telat makan. Jangan kebanyakan makan mie cup. Satu lagi, jangan terlalu lama main game." Aku mengusap pipinya.
Aska mengangguk. Mengecup keningku cukup lama. Aku tak bisa menahan diriku untuk tidak tersenyum. Ini pertama kali bibirnya menyentuh kulit wajahku. Bolehkah aku melarangnya pergi bekerja dan menahannya agar tetap di rumah?
"Aska, boleh peluk nggak sih?" Aska terkekeh. Lelaki itu memelukku. Aku membenamkan wajahku didada bidangnya. Menghirup aroma woody musk bercampur feromon yang ntah sejak kapan menjadi kesukaanku. Rasanya nyaman dan aku enggan melepasnya.
Aska mengusap rambutku lembut. Aku mengusap punggungnya. "Jaga diri baik-baik, ya. Bulan depan aku pulang." Ucapnya kepadaku. Aku mengangguk.
Lama sekali, kan? Memang lama. Aska harus terbang selama sebulan. Mengingat kali ini adalah penerbangan internasional. Jujur saja, aku sedih. Aku pasti merindukannya. Itu pasti.
"Jangan lupa kabarin aku, ya. Kalo aku kirim pesan dibales. Bisa, kan?" Aska bergumam. Aku melepaskan pelukanku. "Serius sebulan itu lama, lho." Aska terkekeh. "Kalo uangnya habis langsung kabarin aku, ya." Aku mendengus. "Aku lebih butuh kamu, sih." Aska lagi-lagi terkekeh. "Kalo cuma butuh aku. Terus aku jadi pengangguran. Kamu gak bisa beli parfum seharga dua juta. Mau?"
Oh ya! Semenjak menikah dengan Aska dan diberikan fasilitas mewah serta uang melimpah. Aku sedang berusaha naik tahta, lho. Dimulai dari parfum. Aku yang tadinya hanya mampu membeli parfum seharga tiga ratus ribu, kini naik tahta menjadi pemilik parfum seharga dua juta.
Padahal dulu, parfum seharga tiga ratus ribu aku gunakan seirit mungkin. Merasa sayang jika aku buang sia-sia. Berbeda dengan sekarang. Apa ini yang namanya dinaikan derajatnya?
"Aku nggak masalah pakai parfum murah." Ucapku menjawab godaan Aska. Dia tersenyum. "Aku kerja juga uangnya ngalir ke rekeningmu, kan?" Aku mengangguk. Sudah tak ada lagi rasa canggung antara aku dan Aska. Hanya saja, kami tak benar-benar menunjukan rasa cinta kami. Aku bahkan tidak tahu Aska mencintaiku atau tidak.
"Cepet pulang, ya." Dia mengangguk. "Kamu kalo mau pergi, pergi aja. Izin aku pasti aku kasih izin. Mau nginep di rumah ibu atau mama kalo kesepian juga boleh." Aku tersenyum.
"Ayo berangkat. Aku anter, ya?" Aku menawarkan Aska untuk mengantarnya sampai bandara. Beruntung dia menerima tawaranku. "Tapi, ini masih terlalu pagi nggak sih?" Aku menggeleng.
Jujur saja, ini masih sangat pagi. Aku yakin, keberangkatanku mengantarkan Aska bersamaan dengan para kelelawar yang pulang menuju tempat persembunyiannya. Tapi, aku sedang ingin mengantarkan Aska.
"Aku ganti baju dulu, ya. Kamu mau sarapan dulu?" Tanyaku. Aska menggeleng. "Nanti aja di bandara." Aku mengangguk. "Jangan sampai nggak sarapan, ya." Dia tersenyum.
Aku segera mengganti bajuku dengan pakaian yang lebih hangat. Memilih untuk mengenakan hoodie berwarna abu-abu yang bahannya cukup tebal. Cuaca pada dini hari selalu dingin. Berbeda dengan siang hari yang panasnya terasa seperti menyilet tubuh.
Ada dua mobil di car port rumah kami. Mobil pertama milik Aska, BMW seri X1 berwarna abu-abu. Maka, sebelahnya adalah Honda Jazz berwarna putih milikku. Sebenarnya, mobil ini adalah pemberian kedua orang tuaku sejak aku duduk dibangku kuliah. Tapi, setelah aku menikah, mereka minta agar dibawa saja. Lagipula, siapa yang akan menggunakan mobilnya jika di rumah.
"Mau naik yang mana?" Tanya Aska kepadaku. "Mobilku aja, ya? Biar aku yang nyetir. Kamu istirahat aja." Dia mengangguk. Aku mengambil kunci mobilku didalam kamarku. Walaupun sudah banyak mengobrol, aku dan Aska tetap tidur dikamar terpisah. Walaupun sejujurnya, semenjak kepulangan kami dari honeymoon, aku terbiasa dengan Aska yang tidur disampingku. Tapi, apa boleh buat?
"Ayo," ucapku kemudian lebih dulu masuk ke dalam mobil. Menyalakan mesin sembari mananti Aska memasukan kopernya. Aku membuka kaca jendela mobil. "Aska, udah gak ada yang ketinggalan, kan?" Aska mengangguk. Setelahnya lelaki itu duduk dikursi penumpang. Tepatnya, disampingku.
"Kunci rumah punyamu udah dibawa, kan?" Tanya Aska kepadaku. Aku mengecek bagian samping kursiku. "Udah, ini. Punyamu udah aku masukin di bagian depan, ya." Ucapku pada Aska mengingatkan.
Ngomong-ngomong pintu rumah aska yang sekarang menjadi rumahku juga, ternyata memiliki dua kunci. Satu kunci pintu rumah asli dan satunya lagi adalah duplikat. Kunci asli ada padaku dan duplikatnya dibawa Aska saat sedang terbang. Jam kepulangan Aska tidak tentu. Takutnya saat siang hari aku sedang pergi, dia terpaksa harus menunggu. Atau jika malam hari aku sudah tidur, Aska harus menggedor-gedor pintu dan membuat tetangga kami kesal karena terganggu. Maka, membagi dua kunci tak ada salahnya, kan.
Aku melirik Aska yang sedang berusaha menghangatkan tubuhnya. Dia pasti kedinginan. "Kamu nggak bawa jaket?" Tanyaku. Dia menggeleng. Aku menghela nafas. "Harusnya tadi aku ingetin, ya." Fokus menjadi terbagi. Antara jalanan dan Aska. Beruntung jalanan masih sepi.
"Nggak papa." Jawabnya singkat. Aku mendengus. "Tapi, dikoper kamu ada kok. Aku tadi masukin. Mau aku ambilin dulu nanti?" Dia menggeleng. "Nggak perlu. Ribet." Aku mengangguk saja.
Aku memarkirkan mobilku. Aska lebih dulu keluar untuk mengambil kopernya. Tubuhnya semakin menggigil karena udara yang teramat dingin. Lelaki itu berjalan mendahuluiku menuju pintu keberangkatan.
Aku menarik pergelangan tangan Aska yang bebas sehingga jalannya berhenti. Aku mengasumsikan jika aku tidak menariknya, dia akan langsung masuk ke dalam sana. Berangkat tanpa berpamitan denganku. Aska menatapku dengan penuh tanda tanya.
"Aku kesini anter kamu, lho. Nggak mau pamit?" Tanyaku. Aska tersenyum canggung. Mungkin dia merasa bersalah. "Maaf. Aku lupa." Aku mengangguk. Aku mengeluarkan hotpack dari dalam sakuku. Memberikan hotpack yang sudah hangat itu dalam genggamannya. "Pake ini dulu. Biar hangat." Ucapku. Aska menatap hotpack yang aku berikan. "Bawa aja." Dia mengangguk.
"Aku berangkat dulu, ya." Ucapnya. Aku mengangguk. "Hati-hati. Kabarin aku, ya." Ucapku kepadanya. Dia mengangguk. Setelahnya, dia berjalan terburu-buru tanpa menoleh ke arahku untuk sekedar melambaikan tangan. Aku menghela nafas.
•••