Terkadang aku berpikir, kenapa ayah dan ibuku memberiku nama yang tidak biasa. Nama yang lebih mirip dengan judul puisi. Nuansa Langit Senja. Aku tidak tahu bahwa ibuku yang super duper julid itu mampu berpikir puitis dengan memberi nama anaknya Nuansa Langit Senja.
Nama kakaku juga tak beda jauh dengan keindahan namaku. Rona Langit Mentari. Jika aku dipanggil Asa karena merasa memanggil dengan sebutan Nuansa terlalu sulit. Rona adalah panggilan untuk kakak perempuanku.
Kedua nama anak ayah dan ibuku selalu diberi Langit ditengahnya. Ntah apa alasannya. Intinya, namaku selalu menjadi pusat perhatian setiap kali guru mengabsen namaku untuk memeriksa kehadiranku. Terlebih saat Masa Orientasi Siswa atau Ospek. Ketika aku mengacungkan jari untuk menjawab panggilan, puluhan pasang mata akan menatapku karena penasaran.
Terkadang aku kesal. Kenapa tidak memberiku nama yang ada pada pasaran saja. Kenapa harus nama serupa judul puisi. Yang membuatku kesal bukan perihal nama. Melainkan menjadi pusat perhatian karena namaku yang tidak biasa itu.
Namun, aku tahu. Kenapa ayah dan ibuku memberiku nama Nuansa Langit Senja. Mereka berharap aku akan seindah langit senja. Dengan warna jingganya yang menjadi keindahan sendiri bagi pecintanya. Nuansanya begitu menenangkan. Membuat pecintanya terkadang berakhir menjadi kacanduan.
Setelah memahaminya, aku tak lagi kesal dengan nama yang tersemat dalam akta kelahiranku. Bahkan aku malah bahagia. Setiap berada di sekolah hingga universitas, nama Nuansa Langit Senja hanya aku seorang. Tak ada orang lain yang memiliki nama yang sama denganku.
Aku menikmati indahnya langit senja yang dapat dinikmati melalui balkon kamar hotel. Aku sendirian, karena Aska memilih tetap berada didalam. Mungkin karena seorang pilot, keindahan langit tak lagi membuatnya takjub karena hampir setiap hari memandangnya. Bahkan melalui jarak yang dekat.
Aska sejak tadi hanya diam. Ntah mengapa aku berpikiran jika ini ada hubungannya dengan pertemuannya dengan Helena tadi. Dia bahkan tampak sangat sibuk dengan ponselnya dan berbalas pesan ntah dengan siapa. Dia seolah tidak menganggap kehadiranku yang berada didalam ruangan yang sama dengannya.
Aku tak membahas apapun perihal pertemuannya dengan Helena. Aku memilih untuk pura-pura tidak tahu. Dan Aska juga tampaknya tak ingin berbicara apapun mengenai hal itu. Aku bersikap biasa saja. Lebih tepatnya berusaha biasa saja.
Aku meninggalkan pemandangan langit yang menjadi inspirasi dari namaku. Masuk ke dalam. Aku bisa menikmatinya lagi besok. Sudah cukup aku sibuk berpikir sembari menebak-nebak dengan kedok menikmati pemandangan langit senja diatas hamparan laut.
"Aska, mandi dulu sana." Ucapku pada Aska yang masih tampak sibuk dengan ponselnya. "Bentar lagi." Jawabnya singkat. Aku mengangguk. "Aku mandi dulu, ya. Habis itu kamu yang mandi." Dia mengangguk.
Aku berjalan menuju lemari. Mengambil baju yang akan aku kenakan sore hari ini. Memilih kaos santai dengan size yang sedikit kebesaran dengan celana diatas lutut. Membawanya menuju kamar mandi.
Karena belum terlalu dekat. Aku masih merasa canggung untuk membuka pakaian dan naked dihadapan Aska. Walaupun, bukan hal yang terlarang. Aku merasa, belum saatnya saja. Lagipula, dia juga belum pernah full naked dihadapanku. Dia hanya akan bertelanjang dada setelah mandi. Dengan bagian bawah yang masih tertutup handuk atau celana pendek.
•••
Aku tersenyum melihat Aska yang saat ini tengah sibuk menikmati langit malam. Dia hanya diam dengan pandangan yang terkunci pada satu tempat. Aku belum tahu apa yang menjadi pusat pandangannya.
Aska menggesekan kedua tangannya. Aku mengasumsikan bahwa saat ini dia tengah merasa kedinginan. Aku mengambil selimut yang ukurannya lebih kecil. Kemudian, berjalan mendekatinya. Meletakan selimut itu dibahu Aska.
"Dingin?" Tanyaku sembari berdiri disamping Aska. Lelaki itu melirik selimut yang tersampir dipundaknya. Kemudian mengangguk. "Kenapa gak masuk?" Tanyaku. "Nanti. Aku suka lihat langit malam." Aku tersenyum. "Aku pikir pilot udah bosen liat langit." Dia tersenyum kecil.
Untuk pertama kalinya aku melihat dia tersenyum dengan ikhlas. Jantungku berdebar melihat senyumannya yang terlampaui manis. Ternyata benar apa kata orang. Jika seseorang itu jarang tersenyum, sekali memberikan senyuman, akan membuat jantungmu jumpalitan dibuatnya.
"Tapi, kamu kalo lagi terbang yang dilihat langit, kan?" Dia mengangguk lagi. "Aku suka langit malam dan bulan sabit. Cantik." Ucapnya. Aku tersenyum lagi. Mengusap bahunya lembut. Merapikan selimut agar tubuh Aska terasa lebih hangat.
"Aska, boleh tanya?" Dia memindahkan tatapannya ke arahku. Aku terpaku beberapa saat dengan mata rubah miliknya. "Kamu nyaman sama aku?" Bagaimanapun kenyamanan itu penting. Aku selalu berpikir apakah seseorang nyaman berada didekatku atau tidak. Jika merasa tak nyaman aku akan berusaha jaga jarak. Begitu juga pada Aska.
"Nyaman aja." Jawabnya singkat. Aku tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. "Serius?" Dia mengangguk untuk menjawab. "Aku takut kamu gak nyaman sama hal yang aku lakuin." Ucapku. Dia menggeleng. "Sejauh ini, aku ngerasa yang kamu lakuin udah bener." Aska menarik nafasnya. "Kamu melakukan tugasmu menjadi istri dengan baik." Aku tersenyum lagi.
"Can i hug you?" Tanyaku pada Aska. Lelaki itu mengangguk. Sedetik setelah mendapat jawaban aku segera memeluk tubuh Aska dari samping. Suhu tubuhnya memang dingin. Mungkin itu penyebabnya dia mudah sekali merasa kedinginan.
"Kamu mau kemana aja besok?" Aska bertanya kepadaku. Aku bergumam sebentar. "Terserah kamu." Jawabku. "Aku gak tau mau kemana." Jawabnya. Aku tersenyum. "Lihat aja besok." Dia mengangguk.
Ponselnya berdering. Dia memberikan tatapan seolah memintaku melepas pelukannya. Aku melepaskan pelukannya. Dia segera mengambil ponsel dan menggeser layarnya. Memasangkan ponselnya ditelinga.
"Hm? Oke. Gue kesana. Nomor berapa kamar lo? Ok." Itu adalah kalimat yang Aska ucapkan. Aku memilih untuk masuk. Aska mengambil hoodie berwarna navy dari dalam lemarinya. Dia mau pergi? Serius? Aku akan ditinggal?
"Mau kemana?" Tanyaku yang kini sudah ada dihadapannya. "Mau mabar PUBG sama Ezra. Kamu tidur dulu. Gak usah nunggu aku." Belum sempat aku menjawab, Aska sudah lebih dulu meninggalkan kamar.
Astaga, jadi game online lebih penting dariku? Kenapa sih keinginanku hanya akan berakhir dengan harapan. Padahal aku sudah siap jika Aska akan meminta haknya malam ini. Justru aku yang harus bersabar karena kehadiranku tak pernah penting dimata Aska.
Dia benar-benar pergi. Menyisakanku yang tengah menahan sakit hati. Ntah sejak kapan air mataku tumpah. Harus sampai kapan aku berusaha hingga rumah tangga yang aku impikan akan terwujud.
Tadinya kupikir setelah menikah semuanya akan terasa lebih bahagia. Mungkin, aku terlalu banyak melihat serial disney. Dimana menikah menjadi akhir dari kisah cinta. Dimana aku selalu menganggap jika menikah adalah happy ending dari setiap serial Princess Disney yang hampir semuanya kutonton.
Aku harusnya sadar, jika serial Disney adalah karangan fantasi yang dibuat untuk menghibur. Bukan untuk menjadi impian. Umurku sudah dua puluh enam tahun. Bagaimana bisa pemikiranku masih seperti anak umur sepuluh tahun?
Seharusnya aku tahu, setelah menikah masalah tak akan berhenti begitu saja. Banyak hal baru yang akan menemani sepanjang perjalannya. Ada kisah sedih dan kisah bahagia berdampingan. Aku tak tahu kisah bahagiaku seperti apa. Karena selama ini, dalam pernikahanku, hanya kisah sedih yang aku tahu. Kebahagiaanku hanya sebatas menikah dengan Aska yang merupakan lelaki sempurna dari segi fisik dan materi. Tidak dengan sikapnya yang kerap kali membuatku sakit hati karena terlalu dingin dan tidak perduli.