Chereads / Epiphany (My Handsome Pilot) / Chapter 6 - Asa - Lima

Chapter 6 - Asa - Lima

"Kak, kamu besok honeymoon sama Asa ke Lombok, lho." Ucap Mama Anne pada Aska yang saat ini tengah sibuk dengan makan malamnya. Lelaki itu hanya mengangguk saja. Kebetulan Aska masih memiliki waktu libur dua minggu. Jadi, satu minggunya akan kami gunakan untuk bulan madu ke Lombok.

"Asa udah siapin apa aja buat ke Lombok?" Tanya Mama Anne padaku. "Ya, baju, Ma. Sama ada persiapan lain juga, sih." Mama Anne tersenyum kepadaku. Senyumnya tampak sedikit. Uhmm, okey. Sepertinya beliau salah mengartikan maksudku persiapan lain.

"Persiapan lain itu apa, Kak?" Tanya Arka yang kini mencoba menggodaku. Sial! Bagaimana bisa aku memiliki mertua dan adik ipar yang rupanya memiliki otak kotor. Sama sepertiku, sih. Tidak jauh. Atau karena kemiripan pikiran antara aku, mama mertuaku, dan adik iparku? Maka Tuhan menjadikanku bagian dari keluarga mereka.

"M-maksud Asa kayak makanan ringan, obat-obatan. Kayak gitu." Jelasku gelagapan. Astaga, menikah sudah hampir dua minggu aku dan Aska sama sekali tidak pernah melakukan apa-apa. Bahkan ciuman saja tidak pernah.

"Udah ada tanda-tanda belum?" Bisik Mama kepadaku. Aku tersenyum tipis. Menggaruk leher belakangku yang gatal. Tanda-tanda hamil ini pasti. Aku paham pertanyaan yang selalu terlontar.

Saat belum menikah kamu akan ditanya kapan menikah. Lalu, setelah menikah, kamu akan ditanya kapan punya anak? Selalu saja pertanyaan itu. Aku paham, aku paham.

Mama, jika menginginkan cucu. Tolong suruh anak sulung kesayanganmu yang kaya raya itu untuk menyentuhku. Mengajak bicara saja malas. Apalagi menyentuh.

"Ngapain buru-buru sih, Ma. Biar aja mereka seneng-seneng dulu. Lagi pingin berduaan kan, ya?" Astaga Papa Syarif. Terimakasih sudah menyelamatkanku. Aku jadi terharu.

"Iya. Lagian belum ada sebulan. Mereka besok baru mau bulan madu lho, Ma. Nagihnya nanti kalo udah pulang." Ucap Arka. Aska hanya menggeleng saja mendengar adik, mama, serta papanya.

"Iya. Maaf ya, Sayang. Habis mama gak sabar pingin cepet punya cucu." Ucapan Mama Anne mendadak membuat aku merasa bersalah. Bagaimana bisa aku dan Aska mewujudkan keinginannya?

"Gak papa, ma. Aku tahu kalo mama pingin punya cucu. Doain aja ya, ma." Ucapanku yang berhasil membuat Aska melirikku. Merasa tak enak. Aku membuang wajahku ke arah lain. Berusaha tak saling bersitatap.

Rencananya, aku dan Aska akan berangkat ke Bandara dari rumah keluarga Aska. Mengingat jaraknya yang lebih dekat. Untuk mempersingkat waktu. Karena jika berangkat dari rumah kami, akan memakan waktu sekitar dua jam.

"Gimana hubungan kalian? Udah semakin kenal, dong?" Tanya Mama Anne. Aku mengangguk saja. "Iya, Ma. Kami sering mengobrol." Astaga, Mama Anne ini kan juga orang tuaku. Aku baru saja berbohong. Berarti aku baru saja durhaka kepada oranh tua.

"Syukurlah. Sabar ya kalo Aska sikapnya dingin. Dia memang pendiam dari dulu." Bisik Mama Anne. Aku mengangguk. "Iya, Ma. Aku sabar terus." Jawabku seadanya.

•••

Karena saat ini kita menginap di rumah Mama. Jadi, mau tidak mau aku dan Aska tidur di kamar yang sama. Lebih tepatnya di kamar Aska. Aku baru pertama kali masuk ke kamar suamiku itu.

Tidak beda jauh dengan kamarnya yang ada di rumah kami. Rapi dan bersih. Hanya saja kamar ini terkesan lebih ramai dengan miniatur pesawat yang dihias didalam lemari kaca. Begitu juga dengan buku-buku yang tertata rapi di rak yang letaknya diujung ruangan. Tempat tidurnya berukuran queen size. Dindingnya berwarna abu-abu muda.

Aku memainkan ponselku secara acak. Berbeda dengan Aska yang sudah sibuk dengan PC game nya. Tidak bisakah dia memperhatikanku sebentar saja? Kalau begini keadaannya, aku lebih memilih untuk tidur di sofa ruang tamu.

"Aska, aku boleh tanya?" Aku akan mengajaknya berbicara. Aku benci suasana canggung dan kaku. "Hm?" Jawabnya masih terus sibuk dengan game yang dimainkannya. "Kenapa kamu nerima perjodohan ini?" Aska mengalihkan pandangannya kepadaku. "Kenapa mau nikah sama aku?" Tanyaku pada Aska.

Dia hanya menatapku datar. Kembali fokus pada gamenya. "Aku sibuk dan gak punya waktu buat cari istri." Hha? Jawaban macam apa itu. Bukan itu yang aku harapkan. Bukan jawaban seperti itu. Jadi, dia menerima perjodohan ini karena enggan mencari istri. Jadi, menurut saja dengan mamanya. Kenapa sih pernikahanku harus seperti ini.

Aska menatapku. "Jangan banyak berharap sama aku." Ucapnya kepadaku. "K-kenapa?" Aska hanya mengendikan bahunya. "Tidur sana. Besok kita berangkat pagi." Ucapnya. Kenapa rasanya sakit, ya. Serius. Aku tidak tahu harus menjelaskan perasaanku seperti apa.

Aku tidur lebih dulu. Menyembunyikan diriku dibawah selimut. Membelakangi Aska yang kini masih sibuk dengan gamenya. Aku menahan tangisku. Diam-diam aku terluka dengan jawabannya.

"Aska, kamu juga tidur. Aku tahu kamu sering begadang buat main game. Gak bagus buat kesehatanmu." Ucapku tanpa membalikan tubuhku hanya untuk sekedar menatap atau melihat ekspresinya.

•••

"Kak, hati-hati, ya. Jangan lupa kabari aku kalau udah sampai sana. Jaga kesehatan, ya." Ucap Nessa kepadaku. Wanita cantik itu rela datang pagi-pagi hanya untuk mengucapkan selamat tinggal. Dia masih mengenakan piyama berwarna merah muda dengan rambut yang dicepol asal-asalan. Aku tersenyum. "Iya, Nessa. Terimakasih."

"Nes, kamu baru bangun, ya? Masih pake piyama gitu." Ucap Mama Anne. Nessa tertawa. "Iya, Tante. Habisnya kalau mandi dulu gak keburu. Nanti Kak Asa udah berangkat dulu." Aku tersenyum. Sebenarnya, yang sudah mandi dan rapi hanya aku dan Aska. Bahkan Arka yang bertugas mengantarkan kami ke Bandara juga hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Tanpa mandi. Khas baru bangun tidur.

"Nes, ikut aku ke Bandara. Temenin." Ucap Arka kepada Nessa. "Belum mandi gini. Harusnya bilang tadi malem, Ar. Aku bisa siap-siap." Ucapnya. "Halah ngapain. Kan cuma dimobil." Ucap Arka. Nessa tampak berpikir sejenak. Kemudian mengangguk. "Tapi, aku ambil dompet sama ponsel dulu. Tunggu bentar. Sekalian izin ke Mamaku." Arka mengangguk.

Nessa segera berlari kembali ke rumahnya yanga hanya membutuhkan sekitar sepuluh langkah dari rumah Arka untuk mencapai pagar rumahnya.

Nessa masih cantik walau hanya dengan menggunakan piyama. Dengan rambut yang diikat cepol sedikit tak beraturan. Wajahnya tidak diberi riasan apapun.

"Jaga kesehatan, ya. Jangan terlalu capek. Usaha terus jangan lupa." Mama mengedipkan matanya kepadaku dan Aska. Aku hanya tersenyum. Beda dengan Aska yang memilih untuk membuang wajahnya. "Ma, udah, sih. Digoda mulu menantunya." Ucap Papa pada istrinya. Mama hanya tertawa geli.

"Nessa mana sih lama banget." Ucap Arka kesal. Tepat setelahnya Nessa sudah dapat kulihat. Masih dengan piyama merah mudanya. Hanya saja, kini dilengkapi dengan cardigan berwarna navy. Dengan dompet dan ponsel yang ada digenggamannya. Dia tampak sangat menggemaskan.

"Ayo, kamu pasti baru aja ngomel kan, Ar. Omelan kamu kedengeran sampai rumahku." Ucap Nessa. "Mana ada." Jawab Arka.