Chereads / Epiphany (My Handsome Pilot) / Chapter 7 - Asa - Enam

Chapter 7 - Asa - Enam

"Cepet, Ar. Gue bisa telat." Ucap Aska yang tampak sedikit kesal. Aku masuk ke dalam mobil SUV yang aku ketahui milik Arka. Aku dan Aska duduk dibelakang. Nessa duduk dikursi penumpang dan Arka dikursi kemudi.

Kami segera meninggalkan area perumahan menuju bandara. "Kak, berapa lama di Lombok?" Tanya Nessa. "Kurang lebih seminggu, Nes." Jawabku. Wanita itu mengangguk. "Wah seru, dong. Pulang harus banget bawa keponakan lho, ya." Ucap Nessa dan diakhiri dengan tawa.

"Jaga kesehatan ya, Nes." Itu bukan aku. Melainkan Aska. Aku cukup terkejut ketika Aska memberikan pesan kepada Nessa agar menjaga kesehatannya. Mungkin karena Aska menganggap Nessa sebagai adiknya juga.

"Nessa aja? Yang adik lo gue apa Nessa. Gue gak digituin perasaan." Ucap Arka tak terima. "Halah, berisik. Nyetir yang bener." Ucap Aska menjawab Arka. Nessa tertawa. "Mereka berdua emang sering gitu, Kak. Jadi, jangan kaget, ya?" Aku mengangguk. "Iya, Nes aku udah mulai terbiasa."

Tak terasa mobil SUV yang dikendarai Arka mulai masuk ke dalam kawasan bandara. Arka menekan tombil tiket. Setelah kertas tiket keluar dan palang terbuka. Arka memasukan mobilnya ke arah bandara.

"Gue gak perlu turun kan, ya? Gue drop aja ya, kak?" Aku hanya dapat mendengar gumaman dari Aska.

Aku dan Aska turun dari mobil. Setelah melambai tangan manja dengan Nessa dan Arka, mereka segera meninggalkan kami. Aska berjalan lebih dulu dan aku mengekor dibelakangnya. Menuju pintu keberangkatan.

•••

Pesawat yang aku tumpangi merupakan maskapai penerbangan dimana Aska menjadi salah satu pilot disana. Benar saja, saat Aska menginjakan kakinya diatas pesawat, beberapa pramugari dan pramugara menghampirinya.

Dia berusaha ramah dengan menampilkan senyum formal. Dia tak mengenakan seragamnya. Tapi, menurutku dia tetap terlihat keren. Aku belum pernah melihatnya mengenakan seragam kebanggaannya secara langsung. Hanya melalui foto saja.

"Udah lama gak ketemu. Mau honeymoon ya, Capt?" Sebentar. Apa Capt? Captain?

Aska mengangguk. "Kenalkan ini Asa, istri saya." Ucap Aska mengenalkan aku kepada beberapa pramugari dan pramugara yang datang menyapa Aska.

"Asa," ucapku kemudian menjabat tangan mereka satu persatu. "Akhirnya ya, capt. Nikah juga." Ucap salah seorang pramugari dengan name tag Annisa. "Bu Asa, Capt Aska ini sering dideketin cewek, lho. Dari yang sesama pilot, pramugari, sampai yang kerja di kedubes. Tapi, gak ada yang nyantol." Ucap Pramugara dengan name tag Aldi.

Aku tersenyum geli. "Saya beruntung berarti, ya?" Mereka tertawa. "Saya aja kaget lho, bu. Gak ada angin gak ada hujan dapet undangan. Kemarin saya dateng juga ke nikahan Capt dan Bu Asa. Pasti gak inget." Ucap pramugari lainnya. Aku tersenyum tak enak. "Tamunya banyak. Jadi gak ngeh." Ucapku padanya. Pramugari yang aku ketahui bernama Lena itu tertawa.

"Udah sana kerja. Nanti kalian kena marah sama Ezra." Ucap Aska berniat membubarkan massa. Setelahnya mereka mulai bubar. Kembali bekerja. Aku dan Aska berjalan menuju kursi kami.

Kami tak banyak bicara disepanjang penerbangan. Aku lebih banyak melihat jendela dan Aska sibuk dengan bukunya. Sesekali membalas sapaan pramugari atau pramugara yang melewatinya. Aku mendadak iri dengan mereka yang berhasil mendapatkan senyuman dari Aska.

"Aska," lagi-lagi dia hanya bergumam. "Kamu kenal sama semua yang ada dipesawat ini?" Aska mengerutkan dahinya. "Ehm, maksudku pilot, pramugarinya." Aska mengangguk. "Kamu lihat tadi mereka menyapaku, kan?" Aku bungkam. Sepertinya aku salah mengajaknya mengobrol.

"Kita beneran gak mau ngobrol? Aku bosen diem terus daritadi." Aku kesal daritadi hanya diam saja. Asa bukan tipe wanita pendiam. Aku iri melihat sekitarku yang mengobrol dengan penumpang disebelahnya. Bahkan, aku dapat melihat beberapa dari mereka tampak seru mengobrol dengan penumpang disampingnya yang bahkan baru hari ini mereka temui.

Sedangkan aku, disampingku ada suamiku. Aldebaran Askara yang mengucap janji suci dihadapan Tuhan, orang tua, kerabat, dan saksi beberapa waktu lalu tampak enggan berbicara denganku. Apa aku memiliki salah dengannya? Apa kehadiranku merusak kehidupannya?

"Kamu tahu aku lagi sibuk, Sa." Aku menghela nafas. "Maaf, aku kebawa emosi." Ucapku dengan nada pelan yang nyaris seperti gumaman. Dia tak menjawab. Seperti biasa hanya diam dan mengacuhkanku.

Aku mengingat beberapa pesan yang Mama Anne sampaikan kepadaku sebelum aku mendengar Aska mengucapkan janji suci. Aska ini sangat mudah merasa kedinginan. Jadi, selalu ingatkan dia untuk mengenakan pakaian hangat ketika berada dicuaca yang kurang baik. Aska juga tidak bisa makan terlambat karena penyakit magnya akan kambuh. Dan satu lagi, Aska tidak makan seafood karena dia membenci seafood.

Aku melirik Aska yang saat ini mulai menarik lengan pakaian yang dikenakannya. Demi menghalau rasa dingin. Padahal, aku tidak merasakan dingin yang berlebih. Aku merasa dingin pada umumnya. Tapi, berbeda dengan Aska.

"Aska, dingin?" Tanyaku kepadanya dengan nada hati-hati. Dia mengangguk. "Boleh aku pegang tangannya?" Dia menatapku datar. "Jaket kamu ada didalem koper, kan?" Dia mengangguk lagi. Mulutmu ini bisa digunakan untuk bicara, Aska. Kenapa hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaanku.

"Maaf, kalau aku lancang. Aku cum--" belum selesai menjelaskan kedua telapak tangannya diulurkan kepadaku. Aku mengambil tangannya dengan segera. Benar saja, sangat dingin. Aku berusaha menggenggam tangannya untuk menyalurkan suhu hangat tubuhku. Sesekali menggesekan tangannya agar dia merasa hangat.

Dia hanya diam menatapku. Aku enggan menatapnya karena malu. Maka, aku fokus menatap tangannya yang kini ada digenggamanku. Sesekali mengusapnya dengan ibu jariku.

"Kenapa tadi jaketnya gak dipake?" Tanyaku masih terus sibuk menghangatkannya. "Aku pikir gak akan sedingin ini." Aku tersenyum. "Udah hangat?" Tanyaku sambil menatapnya. Dia mengangguk. Gemasnya. Membuatku ingin mencubit pipinya. Tapi, aku masih waras dengan tidak berbuat gila.

"Aku gak masalah kamu gak mau ngomong banyak sama aku. Tapi, izinin aku buat ngerawat kamu layaknya istri. Boleh?" Tanyaku kepada Aska. Dia hanya menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan. Menurutku, tatapan milik Aska selalu tajam. Sehingga aku kesulitan menilainya.

"Aku gak akan nuntut apapun dari kamu. Aku cuma mau izinin aku rawat kamu aja. Boleh?" Aska diam beberapa saat. Tangannya masih ada digenggamanku. Aku enggan melepaskannya. Diam-diam aku mulai merasa nyaman dengan kehadirannya.

Dia mengangguk. Matanya masih menatapku datar. "Kita gak punya banyak waktu bareng setelah nanti kamu kembali kerja. Jadi, untuk seminggu ini, izinin aku buat ngurus kamu, ya?" Dia mengangguk lagi untuk kedua kalinya.

"Makasih." Ucapnya dengan nada rendah. Sungguh, Askara mengucapkan terimakasih kepadaku. Makasih untuk apa? Dia terlalu singkat setiap kali berbicara. Membuatku bahagia sekaligus bertanya-tanya. Artinya, dia mengizinkan aku merawatnya, kan?

•••