Chereads / Epiphany (My Handsome Pilot) / Chapter 5 - Asa - Empat

Chapter 5 - Asa - Empat

Melirik Aska yang saat ini tengah menyantap sarapannya dengan lahap. Senang karena dia tampak menyukai sarapan buatanku. Begitu juga dengan kopi yang aku buat. Sebelum melahap sarapannya, dia lebih dulu menandaskan segelas kopinya. Setelahnya baru menyantap nasi goreng.

Aku berdiri dan memberikan Aska segelas air putih. Beruntung karena Aska menerimanya. Meminumnya hingga tersisa setengah. Aku kembali melanjutkan sarapan yang memang belum habis. Masih ada sisa setengah yang masih ingin kusantap.

"Gue mau ngomong. Nanti habis lo selesai sarapan, ke kamar gue, ya." Aku mengangguk. Dalam hati aku penasaran setengah mati. Ini pasti pembahasan yang cukup serius. Perlahan jantungku berdegup sedikit lebih cepat.

Aska lebih dulu berdiri. Meninggalkan ruang makan beserta piringnya yang sudah selesai digunakan dan masih ada diatas meja. Langkahnya segera menjauh dan hilang bersamaan dengan dia yang menaiki lantai atas. Kembali ke kamarnya dan enggan menantiku menyelesaikan sarapan.

Pikiranku bertanya-tanya. Kira-kira apa yang akan dibicarakannya. Apakah kita akan memakai sistem kontrak dengan batas waktu yang sudah ditentukan. Atau pernikahan dengan segala peraturan yang harus ditepati olehku dan Aska. Aku tidak bisa menebak apa yang akan dibicarakan Aska.

Aku mempercepat sarapanku. Kemudian segera mencuci piring dan gelas yang telah digunakan. Setelahnya aku segera menyusul Aska ke lantai atas. Lebih tepatnya didalam kamarnya.

Aku mengetuk beberapa saat. "Masuk" aku mendengar suara Aska yang memintaku masuk. Dengan hati-hati aku masuk ke kamar. Mendapati dirinya yang tengah sibuk dengan PC miliknya. PC khusus untuk bermain game yang kalau tidak salah harganya mencapai puluhan juta.

"Mau ngomong apa?" Tanyaku langsung. Sudah tidak tahan menahan penasaran. Aska menghela nafasnya. Meletakan PC game nya diatas meja yang ada di kamarnya.

Aku ragu apakah aku harus duduk diranjangnya atau disofa. Tapi, bukankah kita bisa berbicara dibawah? Di ruang keluarga misalnya? Atau sekalian saja di ruang makan seperti tadi sembari makan. Kenapa malah memilih kamar?

Walaupun begitu, aku ini tetap perawan. Katanya perawan dilarang masuk ke kamar perjaka. Eh tunggu, tapi, Aska masih perjaka tidak ya. Ah sudahlah. Kenapa pikiranku jadi melantur gini. Lagipula Aska ini suamiku. Tuhan tidak akan melaknat kami berdua hanya karna berada di ruangan yang sama. Bahkan jika kita melakukan hal yang katanya enak itu diwaktu senggang, justru kami akan dapat pahala. Namanya juga sudah sah.

Tapi, ah mana bisa. Mengobrol saja tidak pernah. Mau melakukan hal "seru". Bagaimana bisa. Memang aku harus segera berganti nama panggilan menjadi Senja saja. Biar aku menjadi anak indie jaman sekarang.

"Duduk situ." Aska membuyarkan lamunanku. Menunjuk ranjangnya dengan dagu. Aku mengerjap kemudian mengikuti perintahnya dengan duduk diranjangnya.

Astaga, ranjangnya lebih terasa nyaman dari ranjang milikku. Aku jadi ingin tidur disini saja. Apalagi sambil berpelukan dengan Askara kesayanganku. Tapi, mana bisa? Dia saja berbicara denganku seperti terpaksa.

Aska duduk disofa yang berhadapan dengan ranjang. Aku dapat melihat Aska yang masih setia dengan wajah datarnya. Membuatku gemas dan ingin mengajarinya agar dapat berekspresi dengan baik. Semoga jika nantinya kami berdua khilaf dan melakukan yang iya-iya, lalu aku hamil anaknya. Aku hanya bisa berharap anakku tidak seperti dirinya yang lebih mirip dengan papan triplek.

"Sekarang lo adalah tanggung jawab gue." Kenapa tidak pakai aku-kamu saja, sih. Biar kata Nathan yang ada di novel Dear Nathan, kayak orang pacaran beneran. Kenapa lo-gue. Diam-diam aku menahan diri untuk tidak mencebikkan bibir.

"Iya, terus?" Tanyaku yang ingin segera diberitahu. Aska ini lambat sekali. Apa susahnya langsung mengatakan semuanya dalam sekali tarikan nafas. Kalau begini, jantungku yang berdendam kan ingin disayang-sayang. Terlebih melihat wajah datarnya yang menatapku fokus. Aduh, pingin duduk disebelahnya terus bermesraan.

"Lo- ehm- kamu mau uang bulanan berapa?" Akhirnya, Aku-kamu juga. Aku harus pamer ke Salma. Bukan cuma Nathan yang ngajak ngomong dia pake aku-kamu. Aska juga bisa.

Bentar. Dia tanya aku mau uang bulanan berapa, kan? Ngapain tanya, sih. Aku mana pengalaman jadi istri. Kalau gini baiknya jawab gimana, sih. Nyebut nominal atau gimana? Serius belum pernah mengalami hal begini sebelumnya.

"Terserah. Berapa aja yang kamu kasih aku terima." Jawabku. Aska mengangguk. "Dua puluh lima juta satu bulan cukup?" Aku melongo. Dua puluh lima juta rupiah. Itu dua puluh lima terus angkanya nolnya ada enam, kan? Aska serius mau ngasih uang bulanan dengan jumlah tersebut.

Bukan kurang. Tapi, menurutku nominalnya besar. Oh ya! Walaupun Ibuku dan Mama Anne teman arisan, bukan berarti perekonomian kita sama. Ibuku dan Mama Anne berada diperkumpulan arisan pensiunan BUMN. Kebetulan ayahku adalah salah satu pegawai BUMN yang sudah pensiun. Begitu juga dengan Papa Syarif, mertuaku sekaligus orang tua Aska. Itu hanya semacam perkumpulan yang disebut sebagai arisan.

Lagipula, ayahku dan Papa Syarif berbeda jabatan. Jelas saja jabatan Papa Syarif saat itu lebih tinggi. Maka tak heran jika beliau mampu membayari anak-anaknya untuk sekolah mahal hingga menjadi seperti sekarang. Anak pertamanya menjadi pilot dan anak keduanya menjadi dokter.

Kedua pendidikan yang membutuhkan biaya dengan nominal tinggi. Kalau tidak kaya mana bisa? Bisa saja dengan beasiswa. Tapi, sepertinya Aska ataupun Arka bukan anak yang akan tekun belajar untuk meraih beasiswa.

"Dua puluh lima juta?" Tanyaku pada Aska. Lelaki itu hanya mengangguk. "Kurang? Oke. Tiga puluh juta sebulan? Cukup?" Aku kembali memasang wajah cengo. Bingung sekaligus terkejut dengan nominal yang ia sebutkan tadi. Sebenarnya dia ini kerja jadi pilot atau babi ngepet?

Uang yang disebutkan nominalnya udah mencapai puluhan juta. Aku yang jika menemukan uang disaku celana dua puluh ribu selalu menyebut dengan rejeki anak sholehah, harus mendapatkan uang puluhan juta setiap bulan? Mau menyebut diriku apa lagi setelah ini?

"B-bukan. Maksudnya dua puluh lima juta itu apa gak terlalu banyak?" Wajah Aska berubah jengkel. "Kebutuhan rumah juga banyak. Aku kasih tiga puluh juta sebulan." Aku masih diam karena bingung. Dia serius mau memberiku uang sebanyak itu?

"Oh ya. Tiga puluh juta itu cuma kebutuhan rumah. Kalau kamu pingin beli sesuatu pakai ini." Dia mengeluarkan platinum card dari dalam dompetnya. "Pakai ini. Nanti aku yang bayar tagihannya." Aku hanya bisa diam.

"Aska, aku mau tanya, deh." Dia menatapku untuk menunggu pertanyaanku. "Maaf kalo aku lancang. Tapi, serius banget aku kepo. Kamu ngomong puluhan juta uang bulanan gitu. Sebenernya gaji kamu sebulan berapa?" Aku mengerjap karena raut wajah Aska berubah. "Sebagai istri aku perlu tahu kan berapa gaji kamu?" Aduh, aku ini mengapa harus membawa-bawa status. Aku malu brengsek.

"Kurang lebih lima puluh." Jawabnya. Aku menatapnya terkejut. "Lima puluh ribu?" Tanyaku. Ya goblok juga, sih. Lima puluh ribu apanya. "Juta." Jawabnya singkat.

Astaga, aku mencoba mengingat apa pernah melakukan penyelamatan dunia dimasa lalu. Hingga mendapat suami yang menurutku cukup untuk dimasukan dalam kategori kaya raya. Walau tentu saja kekayaannya tidak dapat dibandingkan dengan raja minyak atau pengusaha batu bara.

•••