Aku serahin semua ke Angga. Terserah dia mau pilihin aku baju yang kaya gimana. Yang penting aku nggak telanjang.
Dan, pilihan Angga nggak mengecewakan. Terusan pendek tanpa lengan berwarna putih yang dipadukan sama jaket kulit warna hitam. Sepatunya aku milih heels 5 cm yang nggak tinggi berwarna hitam. Tas juga warna hitam biar monokrom. Lagian Angga juga pake jas warna hitam kok.
Kami sampai di hotel tempat janjian tepat pada waktunya. Masih ada 10 menit sebelum acara dimulai sih. Pelayan menunjukkan jalan kami menuju area privat yang udah dipesen. Disini, aku merasa perbedaan status sosialku sama Angga tuh jauh banget. Angga mainnya ke restoran mahal dan privat, sedangkan aku cuma restoran kaki lima yang harganya aja nggak ada seper sepuluh harga makanan disini.
Pintu kayu yang mewah dibukakan sama pelayan restoran. Restorannya bener-bener nggak bisa dianggap remeh. Ruang luas ini hanya diisi sama nggak kurang dari 15 meja. Setiap meja terdiri dari 5-10 kursi. Letaknya juga berjauhan buat kasih privasi. Tapi cuma beberapa meja aja yang diisi sama pengunjung.
"Silahkan lewat sini." kata pelayan yang nganter kami ke meja.
Di meja paling ujung, yang letaknya dekat sama dinding kaca, tampak duduk beberapa orang. Um, tunggu, aku itung dulu. Ada tiga laki-laki dan seorang perempuan. Mereka ganteng-ganteng dan cantik. Apalagi si perempuan, dia keliatan mungil tapi juga sangat cantik. Strong tapi lemah lembut. Ditambah pakaiannya yang keliatan glamor, bikin aku minder yang dandan kaya anak SMA mau nge-mall.
"Hai, Ang." sapa si perempuan dengan ceria.
Dia berdiri dan menyambut kami. Pria yang ada di sampingnya juga ikut berdiri. Nggak cuma pria disampingnya, tapi juga dua pria lainnya. Mereka tinggi menjulang.
"Siapa ini?" tanya si perempuan lagi. Dia yang selalu bersuara.
"Kara." jawab Angga. "Kara, they my family. Ara, Aini, Bima and Ilham."
Angga kaya nggak iklas gitu kenalin keluarganya. Cepet banget nunjukin orangnya, jadi kan aku bingung. Yang paham cuma Aini doang, karena dia satu-satunya yang perempuan disini.
"Aini, Istrinya Arrael." beruntungnya, Aini berbaik hati mengulangi perkenalannya.
Arrael itu kakak Angga yang pertama. Satu-satunya anak yang udah nikah di keluarganya, dan sekarang katanya tinggal di Jerman. Lalu Arbima itu kakak kedua. Masih single dan tinggal di Inggris. Yang terakhir adalah Farilham yang tinggal di Paris.
Bisa ya, mereka keluarga tapi tinggalnya beda negara gitu. Ribet banget kan kalo mau ketemuan? Aku yang cuma beda provinsi aja udah ribet. Gimana mereka?
Keluarga Angga orangnya pada welcome banget. Mereka selalu libatin aku dalam pembicaraan mereka. Aku juga nimbrung kalo paham. Sayangnya banyak yang nggak paham karena masalah bahasa. Kalo biasanya Angga ngomong pake bahasa Inggris, kali ini nggak. Dia lebih banyak ngomong pake bahasa Korea. Plek kalo lagi ngomong sama Deano.
Sebenernya nggak cuma bahasa Korea aja. Mereka juga pake bahasa asing lainnya yang bikin aku pengen ngilang saat itu juga. Aku mana paham?!
"Mereka kalo udah kumpul, suka lupa daratan." Aini mendekatiku.
Kami sedang di balkon restoran. Semilir angin menerpa kami, membuat maxi dress Aini berkibar. Arrael yang tadinya asyik ngobrol sama adik-adiknya, langsung sigap menghampiri Aini dan melindungi istrinya. Memberikan jasnya untuk Aini dan merapikan roknya biar nggak keterlaluan berkibarnya.
Ya ampun, sweet banget nggak sih?
"Makasih, kamu udah nemenin Angga. Mau berada disisi Angga sampai dia bisa bangkit lagi." ucapan Aini membuatku bingung.
"Maksudnya gimana ya?"
"Sejak Ayah dan Bunda nggak ada, Angga kaya yang hilang arah gitu. Dia tuh kaya zombie yang kerjaannya cuma kuliah sama kerja, nggak ada yang lain. Tapi sejak ketemu sama kamu, dia mulai banyak perubahan. Memang nggak signifikan, tapi paling nggak dia 'hidup'." jelas Aini panjang lebar.
Aku nggak pernah tahu soal ini. Aku pikir Angga deket sama aku cuma buat mengisi waktu luang aja. Nggak pernah ada harapan kalo aku akan jadi seperti itu. Sepenting itu.
"Aku nggak tahu, kalo aku begitu penting buat Angga." rasanya hatiku bahagia banget.
Aini menyesap wine di gelasnya. "Dia emang nggak banyak omong. Bahkan sama kami aja dia nggak banyak ngomong. Dia cuma bakal terbuka sama Bunda dan Ayah."
Otomatis kepalaku melihat ke arah Angga. Disana, dia sedang berkumpul sama ketiga kakaknya. Suasana heboh karena mereka sepertinya sedang membahas sesuatu yang menarik. Dari keempat pria itu, cuma dua yang heboh, sedangkan dua lagi cuma jadi pendengar.
"Mereka membagi jadi dua kubu?" tanyaku penasaran.
Aini ikut memandangi keempat pria itu, lalu tersenyum. "Iya, dua kubu. Ara sama Angga itu copycat banget. Sama-sama pelit ngomong dan pelit senyum. Beda sama Bima dan Ilham yang ribut banget."
Pikiranku langsung melayang ke Aini. Membayangkan dia menengahi keempat pria dewasa yang punya sifat berbeda itu.
***
Hari Minggu, kami masih meluangkan waktu bersama. Bahkan para kakak akhirnya ikutan menginap di hotel yang sama dengan aku dan Angga.
Nggak kemana-mana juga sih, cuma berjemur aja di kolam renang. Itu aja mereka udah menarik perhatian banget. Secara ya, empat cowo tinggi menjulang dan ganteng berkumpul.
Aku sempet tanya sama Angga berapa tinggi mereka, ternyata rata-rata tingginya 180 cm keatas. Angga aja yang tingginya 182 berasa biasa aja kalo lagi kumpul.
"Enjoy the holiday, Kara." ucap Aini semangat.
"Gimana caranya kalian ketemu kalau berjauhan gitu?" ini pertanyaan yang aku simpan dari semalam. Apalagi setelah tahu kalau mereka ternyata tinggal beda negara.
"Setiap tahun, kami akan berkumpul bersama. Biasanya sekitar bulan Oktober atau November." jawab Aini santai.
"Ini kan belum Oktober atau November, kok bisa ngumpul?"
"Kebetulan aja. Kemarin Ara abis dari Jepang, terus Ilham lagi di Seoul. Bima di New Zeland. Ya udah, ngumpul aja."
Nggak kebayang mereka harus keluarin duit berapa puluh juta cuma buat ketemu sama keluarga aja. Kalau ada keadaan darurat kan susah ya. Misalnya aja pas orangtua mereka meninggal. Nggak bisa ngebayangin deh.
Selesai berjemur, mereka langsung ngajakin belanja beberapa hal yang nggak penting. Sebenernya cuma nemenin Aini belanja, karena dia satu-satunya orang yang menikmati waktu belanja ini. Sisanya? Keempat pria itu cuma jadi pengawal buat kami, dan aku adalah penasihat untuk Aini.
Aini tuh cantik, wajahnya Asia banget dan tubuhnya mungil. Dia sama kaya aku kalo lagi berdiri bersisian sama Angga. Jomplang banget. Tapi itu yang bikin Aini keliatan imut.
Kecantikan Aini nyatanya nggak bikin dia melek fashion. Malah bisa dibilang parah. Dia aja nggak tahu apa yang harus dia pakai buat bikin wajahnya tampak seger atau bibirnya keliatan merona. Untuk urusan baju juga dia parah.
"Lalu, siapa yang siapin semua baju kamu?" tanyaku penasaran. Padahal semalem Aini kelihatan stunning banget.
"Ada yang siapin. Semua baju dan perlengkapan ada yang ngurus. Itu kalo aku mau keluar aja. Kalo cuma di rumah, aku lebih seneng pake bajunya Ara." Oke, aku lupa kalo Aini nikah sama orang kaya.
"Kamu kerja disana?"
Aini menggelengkan kepalanya. "Ara nggak ngijinin aku kerja. Lagian dengan ijazah SMA mau kerja apa disana? Bisa ngomong bahasa Jerman aja belum lama."
Ini seriusan yang Aini bilang? Ijazah SMA? Masa seorang istri Arrael Narendra cuma lulusan SMA?
Bukan mau meremehkan. Soalnya ekpektasiku tentang istri seorang Narendra itu kudu punya kualifikasi tersendiri. Tapi fakta di lapangan kok beda ya?
"Kenapa nggak kuliah?" aku hati-hati banget tanyanya. Takut aja menyinggung perasaan orang lain.
"Aku nggak sekaya itu. Duku, bisa makan sehari-hari sama bayar kos aja udah syukur banget." Aini tersenyum ramah, tanda dia nggak tersinggung dengan pertanyaanku. "Aku jauh dari ekspektasi kamu?"
Skakmat!
"Jujur, iya. Aku pikir kamu high qualification gitu."
"Aku pikir jadi istri di keluarga Narendra tuh kayak gitu juga. Tapi Ara nggak mempermasalahkan itu. Dia mau terima aku apa adanya." keliatan banget kalo Aini cinta banget sama suami kakunya itu. Keliatan dari tatapan matanya.
Nggak ada komentar untuk ucapan Aini. Lagian bingung juga mau komentar apa.
"Mereka, meski kayak gitu, tipe cowo yang bucin. Kalo udah suka ya suka aja. Aku lihat Ayah juga gitu ke Bunda. Ara juga gitu ke aku. Sekarang aku lihat Angga juga kayak gitu ke kamu."
Pipiku langsung merona mendengar ucapan Aini yang terakhir. Apa iya Angga sebucin itu sama aku? Kayaknya sih nggak. Tapi aku juga nggak tahu, karena nggak bisa mastiin gimana hati Angga yang sebenarnya. Apalagi dengan sikap Angga yang secuek itu.