Back to normal life. Aku sibuk sama kuliah, Angga juga. Eh nggak sibuk juga sih dia, soalnya kuliahnya udah selesai, tinggal nunggu kapan jadwal wisuda nya aja. Sayangnya ada berita buruk yang di sampai in waktu kita makan siang bareng.
"I will go to Paris for six month."
Ucapan itu bikin aku kaget. Seketika aku letakkan alat makan dan kehilangan selera makan. 6 bulan bro, lama banget. Selama ini kita tuh nggak pernah jauhan ataupun pisah lebih dari 2 minggu. Itupun pas kita lagi marahan. Nah sekarang kita harus pisah 6 bulan?
Masih mending kalau misalkan pisahnya tuh dekat-dekat aja, kayak dia di Jakarta, aku di sini. Nah ini Paris. Paris cuy. Buat ke sana aja butuh waktu berjam-jam, belum lagi tiketnya yang mahal.
"Harus ya kamu ke Paris selama 6 bulan?" tanya Aku berusaha sabar. Biar air mata tuh nggak jatuh.
"Internship."jawab Angga singkat.
"Kenapa harus ke Paris? Emangnya di sekitar sini nggak ada? Intensip doang kan? " pertanyaanku udah kaya gerbong kereta, panjang.
Dan jawaban Angga cuma gelengan kepala.
Pembahasan itu nggak kelar hari itu. Kami masih membahas perihal internship Angga yang menurutku nggak masuk akal banget. Seperti biasa, pembahasan itu berakhir ngambang. Maksudnya nggak nemu jalan keluar.
"Lo napa? Kok keliatan bete banget." tanya Selly.
"Angga mau internship ke Paris selama enam bulan. Masuk akal nggak sih?"
"Masuk akal kok. Kakak gue dulu di New York, juga enam bulan." jawaban Merry bikin aku melongo.
"Harus ke luar negeri?" aku masih berusaha mencari celah.
"Tergantung tujuannya. Kalo lo lamar di Jakarta, ya nggak harus ke luar negeri kan." jawaban Merry bikin aku makin nelangsa.
Hilang sudah harapanku. Membayangkan nggak ketemu Angga selama itu bikin pusing. Udah bayangin aku bakal jadi jablay selama enam bulan. Duh otak, mikir yang lurus napa sih?
"Lo nggak iklas? Ada banyak manfaat lho bisa internship ke luar negeri gitu. Gue aja pengen." tambah Merry, berusaha bikin aku berpikir positif.
"Nggak tau. Rasanya nggak rela gitu." jawabku lemah.
Kalo dipikir-pikir, kayaknya aku yang berlebihan deh. Kan nggak ada masalah Angga mau internship dimana aja. Aku juga nggak ada hak buat larang Angga mau lakuin apa aja. Kali ini, aku merasa berat.
Oke, kita bahas sekali lagi sama Angga. Kali ini harus sampai tuntas.
Malamnya, aku nungguin Angga balik. Sengaja ajak Angga ke apartemen biar bisa ngobrol. Sialnya, Angga sibuk hari ini. Dia baru balik pas udah tengah malam. Jelas bukan waktu yang tepat buat ngobrol.
"Capek banget ya?" tanyaku, begitu liat Angga masuk. Dia anggukan kepala sebagai jawaban.
Setelah membantu Angga beres-beres, aku siapin makanan buat Angga. Dia kayak yang kelaparan banget, makan aja sampai nggak bersisa. Padahal biasanya dia itu pilih-pilih makanan.
Selesai makan, Angga milih buat sibuk sama laptopnya. Padahal seharian ini dia udah sibuk sama laptop, malamnya juga sama laptop. Terus sama akunya kapan?
"Ang, harus ya ke Paris?" suaraku memulai diskusi alot kami.
Angga mengalihkan fokusnya dari laptop ke aku. Tanda kalau dia siap untuk diajak berdiskusi. Aku berjalan mendekati Angga dan duduk disampingnya. Berusaha setenang mungkin dan nggak emosi.
"Kenapa nggak di Indonesia aja internship-nya?"
"Ilham choose it for me." jawaban yang sangat brilian. Dia tahu aku nggak akan komplain kalau nyebutin nama kakaknya. Kakak yang mana aja. "Just six months."
Aku masih nggak ikhlas. Tapi aku nggak tahu kudu kasih alasan apalagi biar Angga nggak pergi. Dan kayaknya Angga nggak berminat buat membatalkan magangnya itu.
Merasa udah kalah, aku akhirnya mutusin buat ke kamar aja. Mending tidur biar kulit glowing daripada mikirin yang nggak-nggak.
Ternyata Angga nyusulin aku. Dia langsung meluk Aku dari belakang dan membaui rambutku. Karena lagi marah aku berusaha menepisnya, tapi Angga lebih kuat dari aku. Jadi aku cuma bisa diem aja pasrah.
"Wait for me, it's just six months."
Angga bilang dia paham apa yang aku rasain. Ini juga pertama kalinya kami berpisah jauh. Entah nanti aku bisa beradaptasi atau enggak karena selama ini ini aku banyak menghabiskan waktu sama dia. Terutama di malam hari.
***
Hari perpisahan tiba. Sumpah ya, aku kaya mau ditinggal perang aja sama Angga. Yang ketakutan kalo nanti Angga nggak bakal balik lagi ke aku. Nggak tahu sih, kayak ada firasat gitu. Maksudnya kalo ini adalah pertemuan terakhir kami sebagai kekasih.
"Wait for me." cuma itu yang Angga ucapkan ketika mau check in.
Ini berat banget buat kami, terutama aku. Aku aja kayaknya yang ngerasa berat, karena Angga biasa aja. Banyak banget pikiran yang jelek terus aja datang ke aku. Apalagi mendekati kepergian Angga. Apa aku sujud aja di kaki Angga biar dia nggak jadi berangkat ya?
"Cepet balik ya. Matanya dijaga, jangan keganjenan disana." aku udah yang berurai air mata aja.
Angga cuma senyum bentar terus ngusap mataku. "I know. I will."
Pelukan erat Angga bikin aku makin nggak rela buat lepasinnya. Sebelum Angga menghilang, dia liatin aku lagi sampai agak lama, baru dia jalan buat lanjutin.
"Cuma enam bulan, Kar, sabar." Merry berusaha nenangin aku.
Aku sengaja ajak Merry dan Selly, biar mereka bisa nahan aku biar nggak teriakin Angga buat nggak pergi. Terus juga jadi temen susah aja sih. Ya ampun jahatnya aku.
Kerjaanku cuma mantengin HP mulu sejak Angga berangkat ke Paris. Kali-kali Angga bales pesanku atau dia telepon aku. Ini terlalu berat untukku.
LDR itu memang menguji banget. Aku yakin Angga nggak akan macem-macem disana, aku juga bisa memastikan kalo aku nggak akan macem-macem disini. Yang menguji itu intensitas komunikasi kami. Biasanya kami memang jarang kirim pesan atau telepon, karena kami akan bertemu di malam hari. Ngobrol apa aja, meski kebanyakan aku yang ngoceh, tapi itu masih mending.
Nah sekarang?
Perbedaan waktu enam jam lebih cepet bikin aku kadang suka harus nunggu Angga bales pesan. Karena ketika disini jam 12 siang, disana baru jam 6 pagi. Nggak masalah sih sebenernya, cuma kadang nunggu balesan pesan Angga tuh luama pol.
Kayaknya disana juga dia sibuk banget, nggak cuma sekedar datang trus leha-leha. Karena Deano sendiri juga susah buat dihubunginnya. Kayak misal aku kirim pesan jam 6 pagi, dia bisa balesnya jam 6 sore waktu disini. Malah pernah, dibalesnya sehari kemudian.
"Sabar, ini udah hampir sebulan kok. Tinggal lima bulan lagi. Semangat Kara!" seperti biasa, dua teman banyol itu bertingkah.
Sekarang aja mereka dateng ke kampus sambil bawa balon yang bertuliskan 'Semangat Kara!' dan 'Counting Down, 5 months left' yang bikin aku jadi pusat perhatian.
Kalo siang, aku akan menghabiskan waktu bareng sama mereka. Kadang aku juga nginep di kos Selly atau rumah Merry. Kalo mereka sibuk sama urusan masing-masing, aku akan menderita sendirian di apartemen Angga. Tidur sambil pelukin baju Angga yang ada baunya Angga. Yang lebih gila, aku semprotin badanku pake parfum Angga biar mirip sama bau Angga.
[I miss you so much, Ang.]
Entah sudah berapa banyak pesan itu terkirim ke Angga. Tentu aja nggak dibalas, karena dibaca aja nggak.
Bertahan berbulan-bulan sendirian tuh emang nggak enak. Meski udah menderita banget, nyatanya aku bertahan sampai lima bulan. Semangat Kara, tinggal sebulan lagi dan Angga akan ada dipelukan kamu.
Hari ini aku putusin untuk main ke mall sendirian. Merry lagi sibuk sama Star, dia juga katanya mau me time juga. Jadi jelas nggak bisa diganggu. Selly lagi balik kampung karena bapaknya minta dia balik. Aku juga seharusnya balik, tapi rasanya males banget.
Malamnya, aku masih ingin mencari keramaian. Ya, klub malam memang pilihan yang tepat. Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki ke klub malam lagi sejak kenal sama Angga. Dia larang aku buat dateng ke tempat kayak gini, alasannya keamanan. Kalo lagi pengen minum, Angga bakal ajak ke hotel dan sewa bartender buat bikinin kita minuman. Abis itu lakuin hal lain.
"Kara. Tumben keliatan?" itu suara Alif, pacarnya Selly.
Aku masih sadar kok, meski udah banyak minum. "Hai, Lif. Sendiri aja?"
"Harusnya gue yang tanya, soalnya gue nggak pernah liat lo sendirian." Alif mulai duduk disampingku dan pesen minuman.
"Iya, gue lagi nunggu Angga." jawabku polos.
"Emang dia udah balik?"
Kami mulai terlibat pembicaraan. Aku tetap sadar dan menjawab semua pertanyaan yang Alif ajukan, sampai tiba masanya aku lupa apa aja yang kami bicarakan.