Chereads / Flat Face [END] / Chapter 14 - Flat Face 14

Chapter 14 - Flat Face 14

Begitu pintu dibuka, aku melihat Bapak yang lagi duduk di ruang tamu. Bapak lagi baca koran sembari nikmatin kopi hitamnya. Perhatian Bapak langsung tertuju kearahku. Apalagi dibelakangku ada Angga sekarang.

Kami masuk dan aku langsung mempersilahkan Angga duduk. Masuk ke dalam untuk bikin minuman buat Angga. Ada Dwiki juga di rumah. Tahu aku balik, Dwiki langsung keluar kamarnya dan duduk disamping Bapak. Menghadapi Angga berdua.

Tatapan Bapak dan Dwiki tajam banget. Mungkin bisa kali ya lubangin kepala Angga.

"Siapa nama kamu?" suara Bapak terdengar galak banget.

"Angga." jawab Angga kalem.

Angga sedikit kebingungan dengan apa yang dia hadapain saat ini. Tapi aku nggak bisa kasih tahu dia sekarang.

Bapak berdiri dan langsung berdiri di hadapan Angga. Tanpa basa-basi, Bapak langsung hajar Angga tepat di wajahnya tanpa ampun. Aku langsung teriak dan berusaha menghentikan Bapak, tapi nggak bisa. Dwiki cuma jadi penonton dan menikmati pemandangan ini.

"Bapak!" akhirnya Bapak menghentikan pukulannya.

Wajah Angga udah babak belur. Ada darah yang keluar dari sudut bibirnya dan juga pelipisnya. Itu pasti sakit banget.

"Tanggung jawab dan nikahin anak saya. Kalo nggak, jangan harap hidup kamu akan mudah." Bapak langsung masuk ke dalam rumah.

Dwiki masih diem aja jadi penonton. Dia nggak ada simpatinya sama sekali. Daripada cuma diem gitu, kenapa nggak ambilin obat buat Angga atau apa kek.

"Ini belum apa-apa." eh, malah Dwiki nambahin omongan Bapak.

Yang kulakuin cuma nangis disamping Angga.

"What?"

Ya, cepat atau lambat, Angga akan tahu. Siap nggak siap, aku harus cerita ke Angga. Tapi aku nggak mau Bapak sama Dwiki denger ceritaku. Akhirnya aku kirim pesan aja. Meski kami cuma berdua aja dan duduk berdekatan.

[Aku hamil. Terakhir kali cek, dia udah 10 minggu. Dan dokter nggak mau gugurinnya.]

Tanganku bergetar pas ketik pesan itu, juga tangisku makin deras.

[Who?]

[Alif.]

Angga liatin aku dengan tatapan yang terluka. Aku tahu aku udah nyakitin orang-orang yang sayang sama aku. Aku nggak pantes dapat cinta mereka. Aku tahu itu. Dan aku siap untuk menerima semua akibatnya. Sendirian.

Aku pikir Angga akan ninggalin aku sendirian sekarang. Nyatanya nggak. Dia peluk aku dengan erat. Membuatku semakin merasa bersalah.

Puas menangis sampai bikin baju Angga basah, dia lalu berdiri dan minta ketemu sama Bapak. Bapak keluar, tapi nggak duduk. Jadi Bapak yang diekorin sama Dwiki, berdiri berhadapan sama Angga.

"I'll do. Marry you daughter." begitu ucap Angga.

Dwiki bisikin sesuatu ke Bapak, mungkin arti dari ucapan Angga. Karena Bapak emang nggak bisa bahasa Inggris.

"Saya tunggu kedatangan keluarga kamu." hanya itu balasan dari Bapak, lalu Bapak kembali masuk ke dalam rumah.

Malam ini berakhir dengan nggak baik. Semua ini karena aku.

Dalam perjalanan balik ke Jogja, kami diem aja. Bahkan Angga nolak waktu aku ajak mampir ke apotek buat beli obat dan ngobatin luka Angga. Dia terus aja nyetir dalam diam dan balik ke apartemen. Sampai di apartemen juga dia langsung ngurung diri di tempat kerjanya.

"Aku nggak mau nikah sama kamu. Aku bakal bilang sama Bapak. Kamu nggak harus tanggung jawab untuk hal yang nggak kamu lakuin." ucapku, sengaja nyusul Angga ke ruang kerjanya.

"How the baby?" ketika ngomong itu, Angga nggak natap aku. Rasanya sakit hati lho.

"Aku akan urus sendiri. Ini kesalahanku, aku akan menerima semua konsekuensinya."

"Insane?" sepertinya memang aku udah mulai gila. "Not easy being single parent."

Berjalan mendekati Angga yang duduk di meja kerjanya, lalu meletakkan kotak obat disana. Entah apa yang aku lakukan, tapi aku tersenyum untuk Angga. Dalam hati, aku merasa sangat bersyukur bisa mengenal pria yang sangat hebat dan sayang ke aku. Dia adalah Angga, Nur Angga Tedjo Narendra. Si Pangeran Kampus yang ketampanan dan kekayaannya melegenda.

"Belum dicoba kan? Lagian, aku nggak mau kamu ikut keseret dalam masalahku. Masa depan kamu terlalu berharga untuk berkubang di kesalahanku."

Perlahan, aku mengobati luka di wajah Angga. Bentar lagi dia bakal wisuda, nggak mungkin kan dia mengenakan toga dan di wisuda dalam keadaan wajah penuh lebam gini.

Selesai mengobati luka Angga, aku berniat untuk keluar dari ruang kerja dan balik ke kos. Tapi ketika aku akan berjalan, Angga menarikku dan memelukku dengan erat. Entahlah, rasanya dia juga merasakan sakit yang aku rasakan. Dan ada rasa nggak rela yang melingkupi kami.

"Stay with me. We'll raise together." mendengar itu, air mataku mengalir lagi.

***

Yang tahu kalo aku hamil selain keluarga dan Angga, ada Selly dan Merry, juga Alif. Tapi duo banyol itu nggak tahu kalau bapak dari anak yang aku kandung ini Alif. Bahkan aku nggak ngasih tahu Bapak dan Dwiki siapa bapak anak ini. Itu permintaan Angga. Yang secara nggak langsung bikin Angga jadi tersangka.

Aku juga udah bilang ke Bapak kalo aku nggak mau nikah sama Angga. Aku janji sama Bapak, kalo aku nggak akan pernah injakin kaki di rumah ini lagi. Aku sadar aku membawa aib yang sangat kotor untuk keluarga ini.

"Kar, jangan gitu dong. Biar gimana lo juga anak Bapak." Dwiki berusaha membujukku.

Udah dua bulan aku nggak balik ke rumah. Aku hanya berusaha menepati apa yang aku ucapin.

"Gue nggak mau bikin Bapak sama lo tambah malu."

"Lagian, kenapa juga lo nggak mau nikah kalo dia jelas-jelas mau tanggung jawab?" tuntut Dwiki.

"Gue nggak mau bikin dia menderita."

"Lo nggak mau dia menderita tapi malah lo sendiri yang menderita? Hebat banget ya lo!" sindiran itu terdengar menyakitkan.

"Udah, gue nggak mau bahas ini."

"Kenapa? Lo nggak mikirin gimana Bapak mikirin lo? Bapak sedih liat anak gadisnya jadi kek gini cuma gegara cowo bangsat itu."

"Dia bukan cowo bangsat, dan jangan pernah sebut dia bangsat!" aku nggak mau kalah dari Dwiki.

"Apa yang udah dia kasih ke lo sampai lo lindungin dia?"

Rasanya lelah banget bahas hal ini terus. "Dia udah ngasih banyak hal ke gue. Bahkan disaat gue terpuruk pun dia nggak nge-judge gue. Dia malaikat buat gue." tanpa terasa, air mataku mengalir lagi.

Itu tekanan baru dari Dwiki ya. Belum dari Merry dan Selly.

Mereka berdua juga terus aja ngejar jawaban kenapa aku nggak mau nikah sama Angga. Bisa nggak sih aku nggak ketemu sama semua orang yang selalu nanya kayak gitu? Cuma Angga doang yang memperlakukanku dengan cara yang berbeda.

Angga nggak pernah tanya atau apapun itu. Dia cuma selalu bikinin makanan yang sehat buatku dan juga selalu jaga moodku. Lebih sering ajakin aku jalan-jalan keluar dan juga menenin aku ke dokter.

Sampai tiba waktunya Angga harus pindah karena pekerjaan. Ya, diusia kandunganku yang menginjak empat bulan, Angga harus pindah ke Singapura karena dia diterima kerja disana. Deano juga akan ikut Angga pindah ke Singapura.

Another problem comes. Disaat aku mulai bangkit dan menerima kenyataan pait ini dengan pandangan yang berbeda, satu-satunya pendukungku pergi. Memang jarak Jogja ke Singapura itu cuma sekitar satu jam perjalanan, tapi tetep aja kami nggak bisa bersama. Padahal kehadiran Angga adalah yang aku butuhkan.

"I'll home once every 2 weeks." nyatanya kalimat itu nggak bikin aku tenang.

Kalau ada Angga, aku bisa menghadapi apapun masalah yang menghadangku. Tapi sekarang Angga nggak ada disini, aku sendirian. Bahkan sekarang Selly juga menghindariku karena aku bilang sama Selly buat putus aja dari Alif. Aku nggak mau Selly mengalami hal buruk karena masih deket sama Alif. Aku nggak salah kan?

Sekarang aku bener-bener sendiri. Kemana-mana juga sendiri. Bahkan ketika beredar berita bahwa aku hamil sama Angga tapi Angga nggak mau tanggung jawab, aku diem aja. Sosial mediaku diserbu sama komentar yang nggak baik. Mereka seolah senang dengan hal yang terjadi kepadaku.

Angga bilang buat tutup aja semua akun sosial mediaku, tapi aku nggak ngelakuinnya. Paling aku akan menutup kolom komentar dan mengabaikan komentar atau pesan yang masuk. Nggak melulu sosial media membawa dampak yang buruk kok.

"Hei, Baby, stay with Mommy, okay? I love you, and Daddy loves you too. Nggak perlu semua orang sayang ke kamu, yang penting kamu tahu kalo Mommy and Daddy love you." aku mengusap pelan perutku yang sudah agak membuncit.