Bahasa pertama yang Aksa bisa ucapkan adalah bahasa Inggris. Bukan mau sok bule atau nggak cinta sama budaya sendiri, tapi aku terpaksa menggunakan bahasa itu biar Aksa bisa komunikasi sama Angga. Dan lagi, ketika Angga nggak ada di apartemen, dia akan selalu video call dan mengajak Aksa ngobrol. Tentu aja pake bahasa Inggris.
Sekarang Aksa udah berusia sembilan bulan, dan dia udah bisa jalan. Aku sama Tika jelas kewalahan ketika menghadapi Aksa yang udah semakin pintar. Setiap hari, ada aja tingkah Aksa yang bikin kami gemes. Entah itu mengacak-acak alat make up-ku atau pun mengeluarkan semua isi lemari. Pernah juga Aksa hampir ilang karena kami nggak menutup pintu depan dengan benar.
"Aksa, don't do that. Mommy sad if you just leaving." aku berkaca-kaca ketika mengucapkannya.
Untung aja Aksa nggak ke tangga darurat. Ya ampun, aku nggak bisa bayangin bakal gimana jadinya kalo Aksa sampai ke tangga darurat. Dan juga gimana marahnya Angga kalo anak kesayangannya sampai lecet. Orang Aksa cuma kegores dikit aja, khawatirnya Angga udah berlebihan. Segala bawa ke dokter buat CT Scan. Kan nggak banget.
Meski begitu, Aksa tetap jadi penyemangat hidupku. Dia selalu saja membuatku merasa lebih baik dan juga selalu memberi semangat ketika aku merasa down.
Semakin besar Aksa, itu artinya aku juga harus segera balik ke kampus. Aku harus melanjutkan kuliah dan menyelesaikan. Jangan sampai pengorbananku sia-sia.
Aku nggak menemui kendala dengan Aksa ketika ditinggal kuliah, karena Aksa memang sekarang jarang minum asi langsung dariku. Dia lebih suka minum susu dari botol. Kalau kata orang sih dia bingung puting, jadi nggak mau nenen langsung dariku. Nggak masalah, selama Aksa nutrisinya terpenuhi.
Jadi aku juga bisa fokus kuliah nantinya.
Yang bikin aku merasa nggak nyaman adalah gimana nanti pandangan orang-orang ke aku. Meski sudah berusaha untuk cuek, nyatanya aku tetap nggak bisa abai gitu aja kan sama omongan orang-orang. Padahal dulu juga udah pernah rasain dicibir, kenapa sekarang malah jadi grogi ya?
"Calm down. Relax. They don't know the truth." begitulah ucapan Angga yang aku rasa sebagai pendukung.
Ya gimana sih ya? Namanya juga memulai hari baru, pasti deg-degan.
Dan hari pertama masuk kuliah dimulai. Aku jadi orang asing di kelas. Nggak masalah, karena aku juga nggak butuh temen yang bisanya cuma ngomongin aku dibelakang. Harapannya sih gitu, tapi nyatanya semua adik tingkat pada tahu tentang Kara, Kartika Rani yang kumpul kebo sama the one and only, Pangeran Kampus. Eh, mantan Pangeran Kampus, karena Angga kan udah lulus sekarang.
"Santuy, Kar, kalo lo stres, nanti asi nggak keluar. kasian Aksa mau minum apa?" gumamku menguatkan diri.
Well, sebenernya mereka nggak 100% salah. Apa yang mereka perbincangkan kan emang gitu adanya. Maksudnya, aku memang tinggal sama Angga tanpa status yang resmi. Ya bahasa kasarnya kumpul kebo itu. Tapi nggak gitu juga sih, soalnya Angga juga lebih banyak di Singapura ketimbang di apartemen bareng sama aku dan Aksara. Sekali lagi, mereka nggak tahu kenyataannya, tapi seenak jidat nge-judge aku.
Hal tercanggung yang terjadi adalah ketika aku ketemu lagi sama Selly dan Merry. Padahal setahun terakhir ini aku udah lupa sama mereka, tapi ketika ketemu lagi, banyak kilas balik kejadian yang berputar di kepalaku. Nggak bisa dipungkiri, aku kangen sama mereka.
Seperti biasa, Selly langsung jalan gitu aja, seolah aku nggak ada. Oke, nggak masalah. Lalu Merry yang ngikutin Selly dibelakang, menganggukkan kepala padaku. Apa itu artinya Merry mulai gencatan senjata? Entah, anggukan kepala itu bisa berarti apa aja.
Lambat laun aku terbiasa sama keadaan ini. Dulu kan juga pernah diasingkan kayak gini, jadi ngalamin sekali lagi nggak masalah buatku. Toh aku nggak ngerugiin kampus, karena aku bayar biaya kuliah tepat waktu. Mereka yang mengataiku dibelakang hanya akan terus berlaku begitu, tapi mereka nggak tahu, kalo aku sebenernya udah bisa move on dan hidupku makin nyaman dengan fasilitas yang Angga kasih. Jadi, siapa yang rugi disini?
****
Selain sibuk kuliah dan ngurus Aksa, aku nggak ada kegiatan lain. Jadi kalo emang lagi nggak ada kerjaan, aku cuma bakal main sama Aksa. Sisanya? Ya gegoleran aja.
Memang menyenangkan, tapi rasanya tetep hampa karena manusia kan makhluk sosial yang butuh ketemu sama orang kan. Tapi siapa yang mau ketemuan sama aku? Bahkan sama tetangga unit aja aku nggak kenal.
Masalah ini nggak aku sampaikan ke Angga, karena kayaknya dia punya masalah sendiri. Itu terlihat pas dia balik ke Jogja, wajah dia tuh keliatan beda banget. Aku nggak berani tanya, soalnya Angga tipe orang yang bakal diem aja meski udah dipancing.
Tapi aku nggak bisa diem gitu aja. Rasanya nggak adil aja kalo aku nggak bantuin Angga padahal dia udah banyak berjasa buat aku sama Aksa.
Karena aku cuma punya tubuh, jadi ya pake tubuh aja buat bikin Angga rilex. Dan emang berhasil, karena Angga bisa tidur walo cuma sebentar. Mendingan lah, ketimbang nggak bisa tidur sama sekali.
Fyi, Angga tuh udah level kronis kalo untuk urusan insomnia. Katanya sih ini udah turun temurun, karena keluarga mereka semua ngalamin insomnia. Sekarang udah mendingan karena dia bisa tidur walo cuma 3-4 jam. Dulu? Kata Deano bahkan Angga bisa nggak tidur beberapa hari. Sekalinya tidur cuma beberapa jam dan itupun nggak nyenyak.
Jangan tanya obat apa aja yang udah dikonsumsi Angga buat atasin insomnianya ini. Dulu, pas awal kenal, aku sering liat ada botol obat di tas Angga. Juga di kantong dompetnya. Di laci nakas juga ada. Dimana lagi ya biasanya Angga simpen obatnya? Oh, di laci tempet kerja juga ada.
Bahkan Deano sampe selalu bawa obat itu kemana-mana di kantong setelannya. Sama kaya Deano yang bawa epipen kemana aja, kali-kali ada keadaan darudat.
"Aku ganggu tidur kamu?" tiba-tiba aja Angga bangun, padahal aku baru mau tidur.
"No. Thought something." jawabnya kalem.
Wajahnya sih kalem, tapi tangannya nggak bisa kalem. Dia udah mulai beraksi lagi. Keadaan kami yang sama-sama masih telanjang memudahkan dia melancarkan aksinya.
Seperti biasa, kami memang saling mengimbangi kalo urusan ranjang. Angga memang agak menuntut, tapi aku nggak masalah sama hal itu. Kami juga sering mencapai klimaks bersama. Kalo nggak bareng, biasanya dia bikin aku puas berkali-kali dulu, baru puasin dirinya sendiri.
"Na, oh, almost..." Angga kayaknya nggak sadar. "Kaluna."
Aku jadi nggak fokus lagi sama apa yang Angga lakuin. Ini pertama kalinya Angga sebut nama lain ketika kami melakukannya.
Kaluna? Kayaknya aku pernah denger nama itu. Tapi dimana?
Hatiku rasanya sakit ketika Angga menyebut nama cewe lain. Aku memang masih belum kasih jawaban ke Angga untuk lamarannya dulu, tapi aku juga udah terlalu nyaman sama apa yang ada saat ini.
Pemikiran kalo Angga suka sama cewe lain jelas langsung menyergap. Nggak terima, juga ngerasa nggak percaya sama apa yang baru aja terjadi.
Pandangin wajah Angga yang kembali terlelap setelah sesi kesekian ini, bikin aku jengkel. Pengen nampol aja bawaannya, tapi aku juga nggak tega.
Apa jangan-jangan yang bikin Angga kusut itu si Kaluna ini? Ada masalah apa mereka?