Aku betah kerja di tempat ini, meski awalnya aku mendapat perlakuan yang nggak mengenakkan, tapi akhir yang bahagia aku rasakan. Sejak ada junior baru, tepatnya sejak dua tahun aku bekerja, sasaran mereka pindah.
Tenang, aku nggak ikutan ngerjain mereka kok. Karena aku tahu rasanya gimana dikerjain kayak gitu. Kadang aku bantu para junior kalau memang lagi senggang. Kadang juga aku cuma kasih semangat aja sama mereka. Dan tanpa sadar, aku lebih banyak temenan sama para junior daripada sama para senior.
Tahun ini pula Aksa mulai sekolah formal. Dia udah berusia 6 tahun sekarang, udah waktunya masuk sekolah dasar. Niatnya sih tahun depan pas dia umur 7 tahun, tapi Aksa udah nggak sabaran, dan Angga selalu dukung Aksa. Kami juga konsultasi dengan ahlinya tentang perkembangan Aksa, dan hasilnya bisa dimasukkan ke sekolah dasar.
Sekolah pilihan Angga nggak main-main. Biaya sekolahnya aja mahal banget, tapi setara sama fasilitas yang dikasih di sekolah ini. Untuk kualitas, sekolah Aksa ini adalah sekolah terbaik yang ada di kota ini. Nggak usah tanya berapa biayanya, karena gaji tahunanku aja harus dikali tiga biar cukup buat biaya sekolah Aksa.
Tentu aja semua biaya itu Angga yang tanggung, karena memang tuh bapak satu pengen bangen Aksa dapat pendidikan yang terbaik.
Sebenernya Angga mantap buat kasih Aksa homeschooling aja, kayak dia dulu katanya. Tapi nggak tahu kenapa aku menentang. Karena selama ini Aksa juga di rumah aja, nggak ada temen deket atau temen main. Aku takutnya dia nggak bisa sosialisasi macam Angga yang kaku kayak kanebo kering. Dan keputusanku di dukung, dengan catatan dia yang nyari sekolah. Padahal kalo pilihanku jelas sekolah yang biasa aja, yang biaya tahunannya masuk akal.
"How if no one wants to be friends with me?" pertanyaan Aksa bikin aku dan Angga saling pandang.
"Mereka juga nggak kenal sama siapa-siapa, jadi nggak usah takut. Kamu akan menemukan teman baru." jawabanku terdengar menenangkan nggak?
"You will." hanya itu jawaban Angga.
Di hari pertama Aksa sekolah, kami sepakat untuk cuti. Paling nggak selama tiga hari ini kami akan antar jemput Aksa. Biar tahu juga gimana suasana sekolah Aksa. Padahal Angga lagi banyak kerjaan banget kata Deano, tapi dia tetep meluangkan waktu buat Aksa. Ya ampun, aku meleleh.
Sembari nunggu Aksa kelar kelasnya, kami putuskan untuk berkeliling sekolah. Melihat fasilitas apa aja yang ada di sekolah ini, meski kami udah lihat di brosur pas pendaftaran kemarin, juga pas kami visit. Ekspektasi sesuai dengan realita. Kolam renang, lapangan bola, lapangan indoor dan masih banyak lagi. Kantin juga bersih dan nyaman. Kami juga udah kasih tahu ke pihak sekolah kalau Aksa punya alergi sama kacang.
"Perfect?" tanyaku ke Angga. Tapi sayangnya dia nggak menganggukkan kepala.
"Prefer to homeschooling." yeah, si bapak satu ini kayaknya terobsesi banget buat sekolahin Aksa di rumah aja.
"Emang sih, pilihan kamu lebih bagus dari sekolah ini, tapi Aksa juga butuh berinteraksi sama orang lain selain keluarganya." terangku berulang kali.
Angga sebenernya juga setuju sama hal ini. Berkaca sama diri sendiri dan keluarganya yang bersekolah di rumah, pada akhirnya kesulitan untuk bersosialisasi. Memang nggak semuanya, tapi Angga dan kakak tertuanya, Ara, adalah contoh nyata.
Karena baru hari pertama masuk sekolah, kelas udah kelar sebelum tengah hari. Melihat Aksa yang lari ke arah kami dengan sumringah tuh rasanya bikin bahagia banget. Nggak sia-sia aku ambil cuti tiga hari buat nemenin Aksa diawal sekolahnya.
"Look so happy." ucap Angga kalem.
"Yup. So happy. Never been this happy." Aksa nyengir lebar.
"Hungry?"
"Very hungry. Lost a lot of energy." Aksa keliatan bersemangat banget.
Ketika berpapasan sama anak-anak yang kenal dengan Aksa, dia menyapanya dan melambaikan tangan. Dulu jaman dia TK, aku nggak tahu gimana sekolah Aksa, karena udah mulai sibuk kerja. Kebanyakan dia sama Tika. Ah, jadi mikir kalo aku udah keterlaluan banget karena sibuk kerja dan mengabaikan Aksa.
Ya nggak mengabaikan sepenuhnya, cuma kadang sedih aja karena banyak hal yang terpaksa Aksa lalui tanpa kehadiran orangtuanya.
Sekolah menjadi tempat favorit Aksa setelah lapangan basket. Setiap hari dia bersemangat untuk ke sekolah. Katanya sih dia dapat hal baru di sekolah. Entah itu teman, guru ataupun pelajaran lain yang menurutnya sangat cool.
Tapi, setelah semester pertama berlangsung, Aksa jadi sedikit berubah. Dia nggak se-excited diawal sekolah dulu. Kalo ditanya, dia cuma diem aja. Plek sama kayak Angga.
"Aksa, I don't know whats your problems is if you don't tell me." kataku sedikit frustasi.
Sikap aneh Aksa udah berlangsung selama dua minggu. Dan aku belum tahu apa yang terjadi sama dia. Kalau kata Tika sih dia biasa aja di rumah. Bahkan jadi Aksa yang biasanya. Perubahan terjadi ketika dia mau berangkat sekolah. Ketika aku mengantarnya ke sekolah juga rasanya berat buat keluar dari mobil. Nggak tahu.
Akhirnya aku putuskan untuk menemui sang guru.
"Aksa memang jadi lebih pendiam. Kami juga beberapa kali bertanya apa dia sedang tidak sehat, tapi jawabannya hanya gelengan kepala." jelas Miss Vania, wali kelas Aksa.
"Not being bullied?" tanyaku lagi.
Ya siapa tahu kan. Bullying kan sekarang sudah menjangkau berbagai kalangan dan usia.
Miss Vania menggelengkan kepala. "Aksa anak yang berani, dia tidak akan segan membela diri."
Aku menceritakan pertemuanku dengan wali kelas Aksa kepada Angga. Dia belum bisa balik ke Indonesia karena masih ada pekerjaan. Jadi selama ini dia cuma tahu dari aku.
[Wait till I'm home] itu jawaban Angga ketika aku mengiriminya pesan.
Bingung juga sih kudu gimana ngadepin Aksa yang ngambek gini. Segala cara udah aku lakuin, tapi nggak ada hasilnya. Bahkan Aksa sempet cuti sekolah selama seminggu. Datang ke psikolog juga udah. Kudu gimana lagi?
***
"Why Daddy don't stay with us?" pertanyaan Aksa membuatku menghentikan kegiatanku.
"Because Daddy have to work." jawabku sesederhana mungkin.
"He's not my Daddy, is he?" kaget dong denger pertanyaan Aksa yang satu ini. Apa coba motifnya tanya hal itu?
"Why? Something happens?"
Aksa menggelengkan kepala. Lalu dia pergi gitu aja, ninggalin aku di dapur yang lagi hias kue kering favoritnya.
Pertanyaan Aksa ganggu banget. Dia baru enam tahun, tapi kenapa udah dapat pertanyaan kayak gitu? Dari mana coba? Atau, siapa yang ngasih tahu dia tentang hal itu?
Oke, sampai detik ini Aksa emang belum tahu kalau Angga bukan bapak kandungnya. Aku pikir dia masih terlalu kecil buat tahu hal itu. Toh selama ini Aksa juga nggak pernah tanya ataupun menyinggung masalah ini. Kenapa tiba-tiba tanya kayak gitu?
Sang penyelamat datang. Angga balik ke Jakarta ketika hampir dua bulan nggak bisa berkunjung. Kejutan sih sebenernya, tapi Aksa kayaknya nggak tertarik sama Angga saat ini.
Aku coba bujuk Angga buat tanya sama Aksa tentang perubahan perilakunya ini, tapi kayaknya Angga nggak setuju. Dia bilang, kita harus kasih waktu ke Aksa biar tenang dulu dan percaya sama kita orangtuanya. Jangan diburu kayak gitu, kesannya malah nggak percaya.
Hampir seminggu Angga pulang, dan belum ada niatan untuk mencecar Aksa sama pertanyaan kenapa dia bertingkah aneh. Aku jadi greget sendiri tau. Mana Angga setuju aja sewaktu Aksa bilang nggak mau sekolah.
"Enjoy your time." Angga pamit mau kencan sama Aksa. Ninggalin aku di rumah berdua aja sama Tika.
Gara-gara kepikiran mereka berdua, aku jadi nggak fokus mau ngapain aja. Padahal rencananya aku mau ke salon dan hunting novel terbaru, nyatanya gagal total. Tika aja sampai uring-uringan karena nggak ada list yang terpenuhi.
Hampir jam 8 malam, keduanya baru balik. Aksa yang udah capek banget cuma langsung ke kamarnya buat beberes dan bebersih badan, lalu tidur. Aku ngasih waktu buat Aksa sendirian, biar nggak mengacaukan apa yang udah dirancang sama Angga. Sebagai gantinya, aku ngintilin Angga yang malah fokus sama laptopnya.
"Gimana?" tanyaku, jelas menganggu waktu Angga.
Ini agak menyedihkan sih ya. Nggak tahu sih ini termasuk masalah berat atau nggak, karena aku nggak tahu gimana rasana. Tapi ini adalah hal yang aku takutkan juga.
Angga bilang, "Aksa sedih, karena teman-temannya bilang dia anak haram. Di akta kelahirannya nggak ada nama ayah, sedangkan teman-teman yang lainnya ada. Aksa membela diri dengan bilang kalau dia punya ayah, namanya Angga Narendra. Tapi malah dibalas ke Aksa, kenapa nama Aksa bukan Narendra? Kenapa malah Dauqi?"
Sedih banget rasanya denger itu. Alasan kenapa Aksa nggak mau cerita ke aku juga karena dia nggak mau repotin aku sama masalah ini. Katanya as a man, dia harus bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Nanti, ketika dia udah mentok, baru bakal minta bantuan sama aku.
Aku pikir Aksa cuma anak-anak biasa yang taunya main, ternyata nggak segampang itu. Aku memang jarang ngobrol dari hati ke hati sama Aksa, kami lebih sering cerita hal-hal sepele aja. Tapi bagiku itu udah yang mewah banget. Aku merasa gagal jadi ibu.