Angga suka tindakan yang nyata. Itu sebabnya dia langsung nyari tahu siapa yang pertama kali nyebarin info tentang Aksa. Padahal kan itu termasuk informasi pribadi, tapi kenapa bisa sampai kesebar gitu?
Tindakan nyata Angga lainnya adalah pindahin Aksa dari sekolah itu. Rada nggak rela juga, karena semua uang sekolah yang udah dibayarkan nggak bisa ditarik lagi. Mana jumlahnya nggak sedikit lagi.
Tapi mau gimana lagi, orang itu kehendak Yang Mulia Angga Narendra kan. Toh itu uang Angga juga. Yah walopun sebenernya sayang banget mengiklaskan puluhan juta melayang gitu aja.
Nggak mau kejadian untuk kedua kalinya informasi pribadi tersebar, Angga memutuskan untuk homeschooling ke Aksa. Nggak tanggung-tanggung, yang dipilih Angga adalah yang terbaik lagi buat Aksa. Kata Angga, dia juga dulu belajar disana.
Sebenernya ini tuh sekolah formal pada umumnya, tapi juga menyediakan layanan homeschooling juga kalo berhalangan belajar langsung.
Menurut informasi yang aku dapat, sekolah ini tuh sekolah internasional yang ada di berbagai negara. Mungkin kalimat yang tepat tuh kalo sekolah ini adalah cabangnya yang ada di Indonesia kali ya. Apapun itu, pilihan Angga emang nggak bisa diremehkan begitu aja.
Untuk mengantisipasi Aksa yang bakal bosen belajar di rumah terus, kami sepakat untuk belajar di luar. Dimana aja sesuai mood Aksa. Kadang di rumah, di taman deket rumah, di mall atau dimana aja. Yang penting Aksa mood belajar.
Ada efek buruk ketika homeschooling? Ya semua itu selalu ada dua sisi yang mengikuti. Baik dan buruk selalu ada.
Aksa lebih fokus belajar dan nggak mikirin apapun selain pelajaran. Kadang dia bisa berinteraksi dengan sekitarnya ketika belajar di luar rumah. Jadi Aksa tetap bisa bersosialisasi dengan lingkungan.
Memang nggak bisa dipungkiri, Aksa kesepian karena nggak punya temen. Itu bagian tersulit dalam hidup Aksa kayaknya. Mau gimana lagi, orang dari dulu juga nggak pernah ngobrol sama tetangga juga.
"I'm happy." ucap Aksa, ketika aku tanya gimana perasaan dia homeschooling.
Lihat Aksa yang terlihat bersemangat tuh bikin kita semangat juga. Tapi jelas Aksa nggak sepenuhnya bahagia, karena sejatinya dia pengen punya temen kayak orang normal lainnya.
***
Sebagai orang Indonesia pada umumnya, pertanyaan kapan nikah tuh udah mulai terdengar sekarang. Aku memang baik-baik aja sama pertanyaan itu, tapi lama-lama bosen juga. Apalagi sekarang usiaku udah 27 tahun. Usia yang sudah bisa dikatakan dewasa dan tepat untuk menikah.
Kalau boleh jujur, aku juga pengen nikah lho. Tapi balik lagi, apa ada pria yang mau nikah sama aku tanpa pandang status? Kalaupun ada, aku pikir dia duda.
Jangan dikira aku nggak berusaha untuk cari pacar, karena aku beberapa kali pacaran. Tapi memang prioritas kami berbeda, jadi kami putus ditengah jalan gitu aja.
Angga tahu aku berkencan, tapi dia nggak komen apa-apa. Kami menghargai privasi masing-masing dengan nggak ikut campur. Baik aku sama Angga juga tahu batasannya.
Untuk masalah lamaran yang dulu Angga pernah ajukan, bahkan sampe suruh chef Dika buat nikahin kami, aku bilang sama Angga kalo aku menolaknya. Kali ini beneran aku tegas menolak.
Sempet takut juga kalo nantinya aku bakalan menyesal, tapi aku juga nggak mau gantungin Angga gitu aja. Kalo orang normal sih pasti bakal nyari yang lain, secara itu udah tujuh tahun sejak Angga lamarnya.
Sekarang, aku sedang pendekatan sama satu pria yang menurutku mungkin bisa jadi pilihan lainnya untuk menjadi bapak sambung Aksa. Jauh dalam lubuk hatiku, aku juga pengen kasih sosok ayah buat Aksa.
Angga emang udah lebih dari cukup jadi sosok ayah buat Aksa, tapi Angga bukan suamiku. Nggak bisa dipungkiri kalau aku juga butuh sosok suami yang bisa membuatku merasa aman dan nyaman. Juga berbagi beban hidup.
Dia bernama Axel Moi, seorang manajer di sebuah perusahaan telekomunikasi. Kami ketemu ketika ada acara yang diselenggarakan di sebuah hotel. Padahal acaranya beda lokasi, tapi dalam satu hotel.
Aku nggak ingat gimana ceritanya bisa kenal dan deket sama dia, tapi sekarang aku sering komunikasi sama dia. Baik lewat chat ataupun telepon. Tapi aku belum kenalin Axel ke Aksa. Bahkan Axel juga belum tahu kalau aku udah punya anak.
Usia kami terpaut empat tahun, yang artinya dia sekarang udah 31 tahun.
Selama mengenal Axel, aku merasa nyaman aja sih. Sama kayak kalo aku sama Angga. Tapi kami masih dalam tahap pendekatan kok. Nggak yang macam-macam atau gimana. Nggak kayak kalo aku sama Angga aja sih intinya.
"Aku pengen kita lebih deket dari sekedar temen. Boleh?" pertanyaan yang paling aku nanti. Yang membuatku pusing tujuh keliling mikirin jawabannya.
Axel yang duduk di hadapanku keliatan serius banget. Tandanya dia nggak main-main kan. Eh, Kar, semua cowo kayak gitu. Nanti kalo udah dapetin apa yang dimau, pasti jadi beda.
Pas mau jawab, tiba-tiba aja HP-ku bunyi. Dari Tika, tumben banget dia telepon. Soalnya aku udah bilang kalo bakal balik telat.
"Halo, Tik, gimana?"
"..."
Otakku langsung blank nggak bisa digunain. Apa yang baru aja disampaikan sama Tika lebih serem ketimbang aku dihujat. Nyawaku rasanya mau mau keluar aja dari tubuh.
"Kar, ada apa?" suara Axel sukses bikin aku sadar lagi. "Ada apa? Kok kamu jadi gemeteran gini?"
"Aksa. Aksa." aku sebisa mungkin melakukan apa yang harus dilakukan. Masukin semua barang sembarangan. Meski pada akhirnya malah jadi kacau, karena beberapa barangku malah berjatuhan dan bikin semuanya nggak terkontrol.
Aku tahu aku udah nggak bisa berpikir tenang, aku juga tahu kalau aku udah mengacaukan acara ini. Dipikiranku saat ini cuma Aksa.
Tadi Tika telepon dan ngabarin kalo Aksa nggak sengaja makan kacang. Sama seperti Angga, reaksi alergi Aksa parah banget, dan itu bisa mengancam nyawanya. Memang udah dapet pertolongan pertama, tapi tetep aja Aksa belum aman sepenuhnya.
Sialnya lagi, Tika yang panik langsung telepon Deano. Itu artinya Angga juga tahu kondisi Aksa. Double kill buatku!
"Kamu diem aja, biar aku yang beresin." Axel langsung merebut tasku dan melakukan semuanya. Dia bahkan narik tanganku dan langsung bawa aku ke dalam mobilnya. "Kemana tujuanmu?"
Air mataku udah nggak bisa berhenti mengalir. Rasanya takut banget kalau sampai ada apa-apa sama Aksa. Ya ampun, separuh nyawaku.
"NAR Hospital." jawabku akhirnya. Itupun dengan bibir yang gemeteran.
Kenapa Aksa bisa jadi kayak gini? Aku bener-bener nyalahin diri sendiri. Aku emang nggak becus jadi ibu. Aku bahkan bukan ibu yang baik buat Aksa. Dari dulu pemikiran ini udah ada, dan sekarang semakin kuat karena Aksa dalam bahaya. Aku nggak ngecek makanan Aksa, sampai kecolongan kayak gini.
Tika bilang dia ada di UGD. Dengan mudah kami menemukan keberadaan Tika. Dia duduk di kursi tunggu sambil nangis.
"Tik, gimana Aksa?" begitu suaraku terdengar sama Tika, dia langsung berdiri dan peluk aku.
"Maaf, aku nggak teliti. Maafin aku, Mbak." tangisan Tika bikin aku makin nangis.
Ini bukan adegan yang ada dipikiranku. Bahkan dalam bayanganku pun nggak pernah ada. Tapi disinilah kami, menangis berdua sambil berpelukan. Mengkhawatirkan Aksa yang lagi berjuang di dalam sendirian.
Langkah kaki lain terdengar. Rasanya itu seperti langkah kaki algojo yang akan menghabisi nyawa kami. Aku dan Tika otomatis mengeratkan genggaman tangan kami. Itu langkah kaki Angga dan Deano.
Hah, kok bisa mereka ada disini sekarang? Bukannya jarak Jakarta-Singapura paling nggak dua jam perjalanan ya?
Sumpah, aku rasanya takut banget. Apalagi lihat wajah Angga yang udah nggak ramah sama sekali. Jelas banget kalau Angga marah, dan dia butuh pelampiasan buat kemarahannya.
"Who is he?" pertanyaan Angga menyadarkanku akan sesuatu.
Ya, Axel. Aku lupa sejenak sama dia karena fokus ke Aksa. Duh, masalah lain datang. Aku harus jelasin apa ke Axel tentang situasi ini? Nggak mungkin kan aku jelasin kalo Aksa itu ponakanku? Reaksiku kayaknya berlebihan kalo hanya mengetahui keponakanku masuk rumah sakit.
Ya Tuhan, rasanya aku pengen hilang sebentar. Atau kalau bisa memutar waktu biar bisa mencegah ini semua nggak kejadian.