Kembali ke kehidupan semula, dimana seluruh waktuku di dedikasikan untuk anak semata wayangku, Nur Aksara Tedjo Dauqi.
Pagi hari, aku menyiapkan sarapan untuk kami bertiga. Tika akan sibuk mencuci pakaian atau bahkan menyetrika, padahal aku udah bilang untuk nggak lakukan hal itu. Siang juga gitu, siapin makan siang. Nanti makan malam biasanya aku siapin sorean, biar malam tinggal angetin.
"Tanganku gemes kudu nunggu orang yang biasanya cuci baju, padahal udah numpuk cuciannya." begitulah kata Tika ketika aku protes karena dia kerjain hal yang bukan bagian dari pekerjaannya.
Oke, itu artinya anggaran laundry kita limpahkan ke Tika. Awalnya Tika nolak, karena dia sendiri nggak ngapa-ngapain. Apalagi sekarang aku juga nggak kerja, jadi beberapa pekerjaan rumah aku yang handle. Sebagai gantinya, Tika sering beliin mainan atau makanan buat Aksa. Tentu aja Tika sekarang lebih selektif kalo beliin makanan buat Aksa. Kalo nggak beli, biasanya dia nonton sosial media dan nyari resep disana.
Hampir tiga bulan Axel menghilang. Aku iseng hubungin dia, tapi nomornya nggak aktif. Cuma sekali aja teleponnya, biar nggak dikira apa-apa. Kan kalo ditanya kenapa telepon, alasannya mau tanya kabar, soalnya ngilang gitu aja.
Pemikiran kalau Axel menikah sempet menghampiri. Jujur aja aku rada gimana gitu, tapi aku diem aja. Nggak mau bahas Axel lebih lanjut. Kalau memang dia nikah beneran, itu artinya kan emang dia nurut sama apa kataku.
Oke, berhubung sekarang nggak ngapa-ngapain, aku milih untuk liburan. Ya semacam short trip gitu bertiga sama Aksa dan Tika. Kebetulan Angga lagi nggak di Singapura juga. Dia terakhir kasih kabar kalo lagi ada di Seoul.
"Kita mau kemana, Mbak?" tanya Tika serius. Padahal aku ngajakin dia liburan lho, bukan mau ngajakin dia susah.
"Nggak tahu, nanti aja dipikir lagi. Yang penting aku udah dapet tiketnya." jawabku sambil lalu.
Ini sebenernya kejutan juga buat Tika. Sejak ikut pindah ke Jakarta sama aku 4 tahun yang lalu, Tika jarang pulang. Harusnya sih setahun sekali pas lebaran, tapi Tika yang udah sebatang kara merasa nggak ada gunanya balik. Toh tujuan utamanya udah nggak ada, orangtuanya.
Jadi, sekarang aku mau kasih kejutan ke Tika. Dia nggak boleh tahu kemana tujuan kita pergi sebelum masuk pesawat.
Aku udah minta ijin sama Angga, dan katanya dia bakal nyusul. Good idea, karena dia kayaknya kurang liburan lagi.
"Semoga pas balik liburan dapet semangat baru." kataku, ketika aku dan Angga sedang teleponan.
Sesuai dugaan, Tika kaget dan seneng pas tahu tujuan liburan kita ke Jogja. Waktu empat tahun tuh nggak singkat juga, tapi nggak lama. Aku juga udah kabarin Selly kalo balik ke Jogja. Nggak usah tanya gimana Merry, karena sekarang dia menetap di Jakarta bareng sama suaminya.
Yup, akhirnya Merry nikah sama Galih. Iya Merry yang itu. Iya, Galih yang itu. Merry sahabatku dan Galih temen Angga. Kok dunia rasanya sempit ya?
Nggak tahu juga gimana ceritanya, karena Merry dateng cuma ngabarin kalo dia mau nikah sama Galih. Itu juga posisinya Merry udah hamil gede banget pas datang. Muka dia udah yang kusut dan acakadut banget, kayak bukan Merry yang biasanya.
Sekarang, Merry udah bahagia sama pasangannya. Mereka udah nikah resmi dan punya dua anak, Star dan Lintang. Itu mereka nggak kreatif banget kasih nama, soalnya artinya sama.
Lain Merry, lain pula Selly. Setelah putus dari Alif, Selly lebih seneng sendiri. Dalam arti yang positif ya, karena dalam kesendiriannya, Selly udah jadi wanita karir yang sukses. Dia jadi asisten manager di hotel yang terbilang mewah di Jogja. Hati Selly udah tertambat di Jogja, jadi dia enggak ada niatan buat balik ke kota asalnya, Solo.
"Ya ampun, udah lama banget nggak ketemu. Aksa udah makin tinggi ya. Tika apa kabar?" sambutan hangat dari seorang Sellina alias Selly.
"Kabar baik." aku peluk Selly dengan erat, begitu juga dia.
Berpindah ke Tika, Selly juga memeluk Tika dengan erat. Aksara, yang udah tahu namanya malu, enggan dipeluk Selly. Sebagai gantinya, Selly mengacak rambut Aksa yang udah mulai panjang dan mencubit pipinya dengan gemas.
"Kamu makin ganteng aja. Dulu Mommy kamu ngidam Daddy kamu ya?"
Aksa yang kebingungan cuma bisa liatin aku. Dia plek ketiplek Angga. Paham bahasa Indonesia tapi nggak semua kosa kata dia pahami. Dan Aksa juga kesulitan ngomong pake bahasa Indonesia, meski sekarang aku dan Tika lebih banyak ngomong pake bahasa Indonesia. Oke, baru mulai beberapa waktu ini sih, nanti juga dia bisa ngomong bahasa Indonesia. Masa orang Indonesia nggak bisa bahasa Indonesia?
Selly mengantar kami ke apartemen. Itu juga dengan berat hati, karena maunya Selly, kami nginep di hotel tempat dia bekerja. Mau sih, tapi tujuan kesini kan mau tidur di apartemen.
Tika bakal pulang besok, itu juga kita yang bakal anter besok. Sekali-kali main ke tempet Tika, biar tahu tempat lainnya juga. Kebetulan Angga juga udah di pesawat. Padahal katanya sibuk, tapi begitu denger kita mau liburan aja langsung sibuk nyari tiket pulang.
Malam ini, Aksa udah tidur, Tika juga udah masuk kamarnya. Jadi tinggal aku sama Selly yang sengaja nginep di apartemen.
Dua gelas tinggi mimosa tersaji. Lama kerja di hotel bikin Selly tahu beberapa jenis minuman yang ada di bar. Hotel tanpa bar adalah hampa. Gitu kata Selly sih. Belagu banget kan? Iya, emang belagu banget tuh orang sekarang.
"Jadi, kamu masih mau bertapa lagi sebelum akhirnya nikah?" tanyaku membuka pembicaraan.
Selly yang sedang menikmati mimosa terlihat melirik tajam kearahku. Aku tahu itu hanya gurauan, karena dia tahu maksud pertanyaanku.
"Aku masih mau sendiri, nggak mau rempong kayak emak galak kita, Merry." kami tertawa. Selly memang selalu menggoda Merry dengan sebutan emak galak nan rempong.
"Jadi, cowo Jakarta nggak ada yang menarik? Apa lo yang nggak bisa move on dari Angga?" jelas pertanyaan Selly cuma buat membalikkan keadaan.
"Ada banyak cowo di Jakarta. Tapi yang doyan sama apem nggak sebanyak itu." jawabanku terlihat bercanda apa serius?
Kami langsung diem aja setelah kelar ketawa. Juga menghabiskan mimosa kami di gelas pertama ini. Racikan Selly memang semakin baik, dan rasa mimosa ini enak.
"Gue kenal sama cowo. Dia ngajak gue nikah. Tapi abis itu ngilang gitu aja." akhirnya aku bercerita.
"Karena dia tahu lo punya anak tapi nggak ada suami?" aku menggelengkan kepala. "Apa karena lo kumpul kebo sama Angga?"
Satu timpukan bantal mengenai wajah Selly dengan tepat. Dia langsung marah-marah karena maskernya rusak kena bantal.
"Sekarang penampilan gue tuh penting, jangan sembarangan gini dong." protes Selly.
"Gue sadar diri kok, Sel, kalo gue bukan cewe baik. Gue juga bilang sama dia buat cari cewe lain yang lebih baik dari gue. Tapi rasanya kok sedih ya pas dia ngilang gitu aja tanpa kabar?" setitik air mata jatuh. Padahal aku nggak berencana nangis. "Gue nggak mau siapapun yang jadi suami gue nanti kecewa, tapi gue juga pengen kayak cewe lainnya yang kisah cintanya tuh lurus-lurus aja dan berakhir nikah. Gue juga pengen kayak gitu."
Pelukan sahabat rasanya emang beda. Senyaman apapun pelukan pacar atau pelukan Angga, rasanya tetep beda kalo sahabat yang meluk. Aku kangen pelukan Selly dan Merry. Pelukan yang selalu kami berikan satu sama lain, entah dalam kondisi apapun itu. Pelukan yang bisa bikin kita semangat lagi seterpuruk apapun kami dulu.
"Jangan minder gitu. Lo berhak dapat cowo yang baik, karena lo juga orang baik. One day, bakal ada cowo yang akan mengajak lo nikah tanpa memandang status lo ataupun mempermasalahkan kehadiran Aksa." ucap Selly sembari menepuk pelan punggungku.