Lahir dan besar di keluarga yang penuh kasih sayang bikin Axel jadi pria yang bapak-able. Dia penyayang, dia juga pengertian. Sabar juga.
Kalau mau dibandingin, sama kayak Angga. Bedanya, Axel bisa mengekspresikan dirinya tanpa perlu berpikir.
Axel punya dua orang kakak, perempuan dan laki-laki. Dia juga punya adik perempuan juga ternyata. Mereka semua udah berkeluarga, kecuali Axel. Nggak tahu juga kenapa Axel belum menikah, padahal adiknya udah.
Axel itu ternyata kaya. Dia punya perusahaan telekomunikasi dan juga ekspedisi. Masih nggak habis pikir sama orang yang malah sengaja sembunyiin status sosialnya padahal dia lebih dari cukup untuk pamer. Beda banget kan sama orang jaman now yang apa-apa kudu dipamerin.
Lagi, bagian ini mirip sama Angga. Ya nggak mirip banget sih, soalnya Angga jelas selalu show off kalo dia itu kaya. Nggak perlu ngomong kalo HP dia mahal, kita yang liat juga udah tahu kalo HP dia mahal. Dia juga nggak perlu pamer kalo mobil dia mahal, karena otomatis bakal langsung cari harga mobil yang dipake sama Angga. Mobil mahal emang beda bentukannya.
Kalo Axel?
Dia sederhana banget orangnya. Hp bukan seri terbaru, mobil juga bukan mobil mahal yang harganya milyaran gitu. Pakaian? Biasa banget. Intinya nggak akan ada yang tahu kalo dia itu 'crazy rich' banget.
Balik lagi ke keluarga Axel. Kedua kakaknya menetap di Australia, sedangkan adiknya ada di Bali ngikut sama suaminya.
Beberapa bulan yang lalu, Axel masih memiliki orang tua, tapi sekarang udah nggak punya. Yup, dia sama kayak aku yang udah yatim piatu. Ibu Axel udah meninggal sewaktu dia masih kuliah, itu bertahun-tahun yang lalu. Katanya karena sakit.
Yang belum lama ini adalah bapak Axel. Meninggal karena emang udah tua. Itu kata Axel ya, bukan kataku. Kepergian bapaknya juga yang jadi alasan dia nggak ada kabar selama beberapa waktu. Well, beberapa bulan sih, bukan cuma sehari dua hari doang.
Axel merasa kehilangan banget sewaktu bapaknya meninggal. Itu sebabnya dia butuh waktu lama untuk bisa pulih dari kesedihannya. Karena Axel emang deket sama bapaknya. Eh, Angga dulu juga gitu kan? Angga juga butuh waktu lama buat bisa mengatasi kesedihannya.
Tapi kok aku nggak ya? Seingatku, sewaktu Ibu meninggal dulu aku lebih tegar aja. Ibu emang udah lama sakit, jadi kayak udah ada persiapan kalo suatu saat nanti Ibu nggak ada. Beneran, cuma sebulan apa ya, abis itu aku udah biasa banget. Padahal kalo dibilang deket, aku juga cukup deket sama Ibu. Apa-apa aku cerita sama Ibu.
Pas Bapak meninggal itu emang berat, karena hubungan kami nggak baik. Ya apalagi masalahnya kalo bukan aku yang hamil Aksa. Tapi Aksa udah lahir sewaktu Bapak nggak ada. Masih bayi merah lah pas itu. Aku berusaha banget nggak stres karena Aksa masih bergantung sama aku buat makan. Mungkin aku terpaksa harus menyingkirkan rasa sedihku karena ada Aksa.
Balik lagi ke Axel.
Mungkin alasan dia mau lamar aku karena nggak ada orangtua yang bakal menentang keputusan dia buat nikahin cewe macam aku. Tapi masih ada kakak dan adik yang mungkin akan bertindak sama kayak orangtuanya. Duh, aku kok jadi minder ya. Nyesel aja aku udah lakuin hal bodoh dulu.
"Aku masih belum yakin, Ax." ucapku, setelah mendengar cerita Axel.
"Kenapa?" tanya Axel lembut. Sumpah ya, nih laki kayak yang nggak bisa marah gitu. Padahal aku udah kecewain dia berulang kali, tapi dia tetep aja lembut sama aku sikapnya.
"Aku takut keluarga kamu nolak aku. Aku takut nanti kamu berubah sikapnya ke Aksa. Ada banyak ketakutan yang aku pikirin." aku jujur.
"Kita nggak harus nikah sekarang. Aku bakal tunggu kamu sampai kamu siap."
Jujur aja aku bersyukur banget Tuhan kasih aku orang-orang yang baik untuk ada di sekelilingku, tapi aku merasa nggak pantes ada disekitar mereka. Dulu Angga yang bilang kalo dia bakal nunggu aku sampai aku siap. Sekarang Axel juga gitu. Gimana kalo akhirnya aku menolak setelah penantian yang lama? Sama seperti yang aku lakuin ke Angga?
"Gimana kalo setelah bertahun-tahun kita tetep nggak nemu jalan tengah? Aku ngerasa bersalah kalo aku nolak kamu pada akhirnya. Sama kayak yang aku lakuin ke Angga." sekarang, aku malah nangis.
Kenapa sih cewe nggak bisa lepas dari air mata? Padahal kan bisa diomongin baik-baik tanpa perlu mengeluarkan air mata. Jadi gedeg sendiri sama diri sendiri.
Genggaman tangan Axel bikin aku merasa tenang. Tatapan matanya yang lembut juga nggak menghakimi aku. Pokoknya Axel ter-dabest lah.
"Kita coba dulu. Kalau memang nanti akhirnya nggak sejalan, kita bisa mengakhiri semua dengan baik kan? Kamu nggak berniat benci aku kan?" aku menggelengkan kepala denger pertanyaan Axel. "Thank you."
Dia enak, cuma dia sendiri. Nah aku, ada Aksa yang terpaksa harus terkena imbasnya dengan keputusan yang aku ambil. Emang gampang sih aslinya, aku tinggal terima Axel dan kita nikah. Jadi pasangan suami istri yang bahagia. Tapi apa cuma aku doang yang bakal bahagia? Gimana Aksa?
***
"Aksa, what do you think about Papa Axel?" tanyaku ke Aksa.
Aksa yang lagi ngerjain tugas sekolahnya, menghentikan kegiatannya dan langsung menatapku. Kalo ini, plek sama Angga setiap kali diajak ngobrol.
"Example?"
"Apa dia baik sama kamu? Kamu bahagia sama Papa? Something like that." eh, kok malah aku yang jawab pertanyaan Aksa sih? Kan seharusnya dia yang jawab pertanyaanku.
"I'm happy, i like him, good like Daddy. What else?"
Ada banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan ke Aksa, tapi mikir lagi, apa otak dia bisa memahami apa yang akan aku sampaikan? Secara sekarang Aksa baru 7 tahun, dan membicarakan masalah pernikahan sama dia rasanya sedikit berat.
Aku nggak ingin menutupi apapun ke Aksa, karena dia juga berhak tahu. Tapi aku juga nggak mau ganggu Aksa dengan pemikiran yang belum saatnya untuk dia pikirkan.
"You love him?" Aksa dengan mata teduhnya menatapku. Sumpah, kayak Angga banget. Bikin aku nggak bisa bohong. Jadi aku menganggukkan kepala. "Tell him and marry him."
"Not as simple as that, Baby."
"Then?"
"Sejak kamu lahir, prioritasku bukan cuma diriku sendiri, tapi juga kamu. Aku nggak mungkin bersenang-senang sendiri, sementara kamu merasa nggak nyaman. Aku takut kamu kesulitan dan tidak bahagia ketika aku memutuskan menikahi Papa Axel." duh, mataku udah berkaca-kaca aja.
As always, Aksa itu anak yang pengertian banget. Dia mengelus tanganku dan menghapus air mata yang jatuh ke pipi.
"As I said before, I'm happy with you by my side." Aksa tersenyum manis.
Ah, anak bayiku sekarang udah gede ternyata. Dia sekarang bahkan bisa hibur ibunya yang lagi galau.
Dengan erat aku peluk Aksa dan nangis. Rasanya lega aja dia mau mengerti tentang keadaanku. Aku juga pasti selalu mendahulukan dia dalam segala hal kok. I love you, my Aksara.
Perbincangan itu memang jadi pendukung keputusanku untuk melangkah bareng sama Axel. Tapi itu nggak berarti kalau kami akan langsung menikah. Aku tetap meminta waktu ke Axel agar aku bisa memastikan semuanya dengan baik. Kayak gimana reaksi keluarganya ketika tahu aku adalah pacar Axel dan udah punya anak di luar nikah.
Bener aja, mereka langsung memandangku dengan tatapan yang gimana gitu. Tatapan yang emang udah sering aku lihat sih sebenernya, tapi sekarang jadi menyakitkan karena mereka adalah keluarga Axel. Dan Axel tahu akan hal itu. Entah dia udah bucin banget atau bego, dia tetap membelaku dan Aksa.
Ini akan jadi hal yang berat, tapi Axel meyakinkanku kalau kami bisa melewati semua ini.
"Mereka nggak tahu apa yang sebenernya terjadi, dan mereka nggak ikut membiayai hidup kita. Jadi untuk apa kamu peduli sama pendapat mereka?"
"Tapi mereka keluargamu, Axel Moi. Aku nggak mau hubungan kalian jadi buruk karena aku. Emangnya siapa aku sampai bisa bikin hubungan kekeluargaan kalian hancur?" aku masih ngotot kalau ini nggak akan berjalan dengan baik.
"You trust me?" melihat wajah Axel yang serius dan nggak ada kebohongan disana, aku menganggukkan kepala. "It's enough for me." dia lalu memelukku dan mengecup kepalaku.