Chereads / Flat Face [END] / Chapter 34 - Flat Face 34

Chapter 34 - Flat Face 34

Seperti yang aku bilang, aku minta waktu untuk bisa memantapkan hatiku.

Ini udah setahun sejak aku akhirnya memutuskan untuk menerima Axel. Meski keluarganya masih belum menerima aku dan Aksa, tapi Axel nggak pernah lelah untuk membela kami.

"Gimana kalo kita liburan? Nyusul Angga kayaknya asik juga." ide itu tercetus gitu aja dari Axel.

"Nyusul Angga? Ke Jerman maksudnya?" Axel menganggukkan kepala mendengar jawabanku.

"Lagian Aksa udah hampir tiga bulan nggak ketemu secara langsung sama Angga."

Bener yang diucapkan Axel. Angga sekarang jarang ke Jakarta dan ketemu sama kami. Sebagai gantinya, Axel selalu ada buat kami.

Alasan kenapa Angga jarang kesini ya karena sekarang udah ada Axel. Dia bilang nggak mau ganggu hubunganku sama Axel. Juga kasih waktu buat Aksa untuk lebih deket sama Axel. Emang sih itu bener, karena memang Aksa butuh waktu untuk bisa bener-bener deket sama Axel. Dan nggak tahu kenapa, kerjaan Angga sekarang lebih banyak dan mengharuskan dia kemana-mana.

Itu bagus, karena itu artinya bisnis Angga berkembang dengan baik. Yang nggak bagus adalah kesehatan Angga. Dia jadi sering melewatkan waktu makan karena sibuk sama kerjaannya. Padahal Deano udah baik banget siapin makanan buat Angga. Nggak tahu juga sih sibuknya dia itu kayak gimana, sampai mau makan aja nggak ada Waktu.

Sekarang Angga lagi ada di Jerman karena ada acara tahunan keluarganya. Dimana setiap akhir Oktober sampai pertengahan November, semua personil Narendra akan berkumpul bersama. Mereka nggak lagi berlima kayak dulu setelah kedua orangtua mereka meninggal. Dua kakak Angga lainnya udah nikah dan masing-masing memiliki anak.

Aku belum pernah sih ngikut mereka kumpul secara resmi. Jadi aku cuma kenal sama ketiga kakak Angga dan kakak iparnya, Aini. Untuk dua kakak ipar Angga yang lain, aku belum pernah bertemu secara langsung.

"It will be surprise for Daddy." Aksa yang mendengar kabar kalo kami akan berkunjung ke Jerman, terdengar antusias banget.

Bahkan dia nggak mau ada yang bantuin packing. Dia siapin semua barang bawaannya dan juga semua keperluannya. Wajar sih Aksa semangat banget, karena dia udah tiga bulan nggak ketemu sama Angga.

"Of course." balas Axel tak kalah semangat.

Bahagia banget lihat Aksa dan Axel makin hari makin akrab. Melegakan juga Axel mau menerima Angga yang udah lebih dulu ada di hidup Aksa. Kalau Axel dan Angga ketemu pun mereka akan mengobrol biasa. Dan memang hubungan mereka baik-baik aja kok sejak awal.

Tika nggak ikut ke Jerman karena dia lagi hamil muda. Ya, Tika akhirnya menikah, tapi dia tetep jadi pengasuh Aksa. Baik Tika maupun Aksa rasanya belum bisa pisah sekarang. Mungkin nanti kalo Aksa udah agak gede, Tika akan pensiun. Gitu sih katanya.

Kami berangkat bertiga aja. Penerbangan 18 jam siap menanti. Aksa yang udah semangat banget, bahkan nggak masalah ketika kami harus transit lebih dari dua jam di pagi buta. Dia sangat kooperatif.

"Setelah beristirahat, kita akan mengunjungi Daddy di rumahnya." ucap Axel, berusaha membuat Aksa tetap pada semangatnya.

Begitu sampai, liat tempat tidur yang lembut tuh rasanya nyenengin. Aksa nggak bisa lagi nahan kantuknya dan langsung tidur gitu aja. Padahal dia belum sarapan, karena kami sampai jam 8 pagi. Axel melarangku untuk bangunin Aksa. Jadi, kami menikmati waktu berdua ini dengan sebaik-baiknya.

Nggak munafik kok kalo kami nggak ngapa-ngapain. Kami juga punya kebutuhan biologis yang harus dipenuhi juga, dan kami sama-sama menginginkannya. Kenapa nggak?

***

Aksa membangunkan kami dengan menggedor pintu kamar. Untungnya sempet ngunci pintu, kalau nggak kan bahaya.

"Ada apa?" tanyaku, ketika sudah berpakaian lengkap dan menemui Aksa.

"I'm hungry." jawab Aksa polos.

Wajar sih, sekarang udah hampir jam 4 sore waktu setempat. Lagian tadi Aksa nggak sempet sarapan sebelum tidur. Jadi aku langsung ke dapur dan memeriksa, apa ada bahan makanan yang bisa diolah untuk ganjal perut Aksa sebelum jam makan malam.

Axel bangun ketika aku lagi nikmati makanan sama Aksa. Yeah, 'bergulat' sama Axel bikin laper juga.

"Aku juga mau." ucap Axel ketika sudah duduk di meja makan bareng sama kami. Aku cerdas karena udah menduga Axel akan kelaparan juga. Jadi, aku udah siapin jatah buat dia juga.

Kelar makan, kami bersiap untuk jalan-jalan. Pakaian tebal udah dipersiapkan karena sekarang udah mulai musim dingin.

Ini pertama kalinya Aksa ke Jerman. Dia memang udah pernah berkunjung ke negara empat musim, tapi cuma sebatas di Asia aja, belum pernah ke Eropa ataupun ke Amerika. Jarak yang bikin Angga nggak mengijinkan aku mengajak Aksa liburan kesana. Ya wajar sih, lamanya penerbangan jelas bikin badan capek banget. Ini aja setelah tidur lama juga kami masih berasa capek.

Meski terbatas karena dingin, Aksa nggak henti-hentinya kagum sama tempat-tempat yang kami kunjungi. Apalagi Axel ngajakin kami menikmati wisata kuliner yang ada disini. Tahu aja dia kalau aku dan Aksa itu pecinta makanan.

Puas jalan-jalan, sebenernya Aksa masih nggak mau diajakin pulang, tapi Axel maksa. Apalagi jam udah hampir menunjukkan tengah malam.

"Kita besok mau ketemu sama Daddy. Papa nggak mau kamu kelelahan." jelas Axel, ketika melihat Aksa yang masih males diajak pulang.

Dengan berat hati akhirnya Aksa luluh. Ya gimana, tujuan kesini kan emang buat ketemu sama Angga kan.

Nggak lupa, aku ngabari Angga kalau besok kami akan bertemu dengannya. Hanya kami berdua, karena ternyata Axel ada urusan. Duh, agak deg-degan juga sih cuma berdua aja besok sama Aksa. Mana ini tempatnya asing lagi, takut nyasar aja sih.

Paginya, Aksa bangun pagi banget. Untuk ukuran Aksa yang lagi liburan, bangun jam 6 pagi tuh kepagian. Tapi dia udah berisik banget di depan pintu kamar. Teriak lapar biar kami bangun. Tuh anak nggak berasa dingin apa?

Akhirnya kami ngalah. Lagian Axel juga kudu berangkat jam 9 pagi. Perjalanan agak jauh katanya.

Setelah sarapan, kami mandi. Agak terpaksa juga sih mandinya, soalnya dingin banget. Naluri orang Timur yang mandi sehari dua kali emang nggak bisa ilang gitu aja. Ditambah kami belum mandi sejak berangkat dari Jakarta beberapa hari yang lalu. Nggak usah jijik, karena dingin itu mengalahkan segalanya.

"Supir pribadi keluarga Angga bakal jemput kalian sebelum makan siang." ucap Axel sebelum dia pergi.

"Hah?" aku perlu waktu untuk memproses apa yang baru aja diucapkan Axel.

"Aku bilang sama Angga kalo nggak bisa nemenin kalian hari ini. Jadi dia kasih jemput pake supir pribadi kakaknya. Aku juga takut kalian nyasar."

Axel tau banget kalo aku buta arah. Aku juga gampang panik kalo nggak bisa menentukan arah. Nggak usah bilang buat pake google maps, karena nyatanya aku sering banget nyasar kalo di tempat baru. Masuk mall aja kadang kesasar dan bingung nyari jalan keluarnya kok.

"Oke, makasih." balasku tulus. Aku pikir nggak ada pria sebaik Axel. Kecuali keluargaku dan Angga ya.

Angga bilang dia nunggu kami di restoran Italia. Supir udah dikasih tahu sih, jadi nggak perlu tanya tujuan kami. Kalo iya, pasti aku bakal panik, karena aku nggak bisa bahasa Jerman. Aksa juga belum bisa bahasa Jerman meski dia udah belajar.

Dari luar aja restorannya udah bagus banget. Ya gimana, pilihan Angga Narendra gitu.

Meja tujuan kami ada di belakang, deket sama taman. Dindingnya dari kaca, jadi kami bisa liat taman yang ada di luar.

"I miss you so much, Daddy." Anak Koala langsung nemplok ke biangnya. Aksa bahkan udah lupa kalo tadi dia ngeluh kedinginan selama di mobil.

Puas melepas kangen sama Aksa, Angga peluk aku dan cium pipiku. Kebiasaan lama yang kadang sulit untuk diubah.

Kami langsung ngobrol asik, sampai kami nggak sadar kalo ada orang lain yang mendekat ke meja kami. Bukan pelayan, tapi dia seorang perempuan yang cantik banget sih menurutku. Rambutnya hitam panjang, bibirnya penuh dengan mata yang cemerlang. Kulitnya juga putih mulus, kulit khas blasteran gitu. Badannya juga bagus, tinggi tapi juga ramping.

Jelas banget kalau kami jadi canggung dengan kedatangan perempuan itu. Nggak, aku nggak menyalahkan dia. Aku cuma mikir siapa perempuan ini, karena Angga nggak pernah kasih tahu ke kami kalo dia lagi deket sama seseorang.

"Is she Daddy's girlfriend?" Aksa yang pertama kali menyuarakan apa yang ada di kepalaku.

Senyum Angga terlihat beda. Bukan senyum yang biasanya dia kasih ke orang-orang yang tanya tentang masalah pribadinya. Apa ya? Senyum Angga lebih ke senyum bahagia yang memancarkan cahaya kebahagiaan. Apapun itu, Angga terlihat beda.

Lain Angga, lain pula si perempuan. Aku nggak tahu namanya, karena aku memang nggak pernah masuk ke circle pertemanan Angga yang sesungguhnya. Dia, si perempuan, tersenyum malu-malu gitu. Kayaknya sih beneran itu pacarnya Angga.

Itu baru tebakanku aja sih, tapi sukses bikin hatiku kayak dicubit. Bukan karena aku cemburu Angga punya pacar ya, karena memang aku udah biasa aja sama Angga. Terlebih sekarang ada Axel. Gimana ya? Rasanya kayak yang takut gitu. Takut kalo nanti Angga punya keluarga, terus dia bakal lupa sama Aksa.