"It's Kaluna." Angga mengenalkan perempuan itu.
Orangnya cantik, namanya juga cantik.
"Hai, I'm Kaluna. You can call me just Na." bahkan suaranya juga lembut banget.
"You really Daddy's girlfriend?" Aksa kembali ke pertanyaan awalnya. Yeah, Aksa memang nggak mudah dialihkan perhatiannya.
Kaluna terlihat malu dan pipinya bersemu merah. Kalo aku jadi cowo, jelas banget aku bakal gemes banget sama dia. Untungnya sih aku cewe ya.
"Aksa." suara Angga bahkan terdengar nggak yakin sewaktu manggil Aksa. Aku tahu maksudnya Angga manggil biar nggak melanjutkan perihal pertanyaan itu.
"Your Daddy hasn't confessed his feelings yet. So I don't know what can be called a girlfriend." jawab Kaluna.
Kayaknya dia tipe cewe yang blak-blakkan juga ya. Mengimbangi Angga yang pendiam sepertinya.
"Dad, you happy?"
Kami bertiga sontak mengarahkan pandangan ke Aksa. Ya mikir aja, anak umur 7 tahun tapi nanya kayak gitu. Kayak bukan anak-anak lho nanyanya.
"I am." jawab Angga mantap. Tatapan mereka ketemu. Maksudnya Kaluna sama Angga.
Cocok aja gitu mereka. Yang satu cantik, yang satu ganteng. Mereka juga sama-sama dari level sosial yang sama, menurutku.
Perasaan tercubit itu datang lagi. Kayak yang takut Angga nggak bakal perhatian lagi sama Aksa. Padahal bukan tanggung jawab Angga juga sih ya soal itu. Toh Aksa bukan anak Angga juga kan.
Ya gimana ya? Sejak jaman Aksa belum lahir, Angga selalu ada. Apa-apa Angga kalo aku lagi ngidam atau ke dokter. Sekarang, dia udah nemu perempuan yang ngisi hatinya. Nanti kalo dia punya anak sendiri, gimana nasib Aksa?
"Why are you silent?" tanya Angga tiba-tiba. Bikin aku kaget.
"Nothing." jawabku cepat.
Suasana kembali hidup, tapi cuma mereka bertiga aja. Aku kayak yang hilang minat gitu buat ngobrol. Aksa yang menyadarinya, langsung menggenggam tanganku di bawah meja. Dia juga memberikan senyum terbaiknya untuk menenangkanku.
Lagi, aku dibuat takjub sama tingkah anak kecil ini. Rasanya sedikit nggak rela Aksa tumbuh besar. Pengennya dia kecil terus, biar apa-apa ke aku
Aku udah bilang kan kalau di belakang restoran ini ada taman? Itu belum semua ternyata. Ada satu taman lagi yang ada di dalam ruangan. Nggak tahu sebutannya apa, tapi taman indoor ini indah banget.
Atapnya dari kaca, jadi cahaya matahari tetep bisa masuk ke dalam. Dindingnya juga dari kaca, rapi nggak full. Jadi orang-orang yang ada di luar tetap bisa lihat taman ini.
Kami berempat memutuskan untuk berkeliling sebentar. Apalagi tadi kami makan berat.
Aksa udah lupa daratan. Dia sibuk bercerita banyak hal ke Kaluna. Kayak mereka udah kenal lama aja. Sedangkan aku, ngikutin di belakang. Agak jauh karena aku jalannya pelan, tapi tetap masih bisa memantau.
"What are you thinking?" tanya Angga, yang sepertinya sengaja menyamai langkahku.
"Aku bahagia dengan apa yang terjadi sekarang, tapi aku juga takut tentang apa yang akan terjadi di kemudian hari." jawabku.
Angga menghentikan langkahnya, membuatku melakukan hal yang sama.
"No need to worry. Just enjoy your time with your loved ones." ucap Angga kalem.
Dari dulu bapak satu ini emang selalu kalem. Maksudnya nggak banyak ekspresi, tapi kalo ngomong ngena banget. Apa yang dia maksud tuh tersampaikan.
Aku menganggukkan kepala. Dalam hati aku bertekad untuk melakukan apa yang Angga katakan. Karena aku tahu, apa yang Angga ucapkan itu ada benernya juga.
Pemikiran negatif cuma bikin hidup kita jadi negatif. Emang sih, nggak semua pemikiran positif itu berakhir baik, tapi paling nggak energi kira nggak habis cuma buat mikir hal buruk yang belum tentu kejadian.
"You look so happy."
Tatapan tajam Angga tertuju ke aku. Tapi aku tahu kalo itu bukan tatapan yang berarti negatif. Dia hanya menatapku dengan tajam untuk memastikan sesuatu. Lalu Angga tersenyum setengah. Senyum manis yang nggak semua orang bisa menikmatinya.
Nggak bisa dipungkiri, kedekatan Angga sama Kaluna membawa dampak yang baik juga. Angga yang dulu jarang menampakkan ekspresi, sekarang mudah tersenyum. Padahal cuma liatin itu perempuan lagi main sama Aksa.
Dua orang favorit Angga kayaknya mereka. Aku mah apa atuh, cuma mantan temen bobo doang.
"Time flies." cuma itu tanggapan dia, terus lanjut jalan lagi.
Hari ini, kami menghabiskan waktu bersama. Kaluna juga ngajakin kita berkunjung ke rumah dia. Ternyata Kaluna tinggal di Frankfurt dan kerja disini.
Axel bergabung sama kita pas jam makan malam. Urusannya agak banyak, jadi dia sedikit terlambat.
Kami menikmati waktu dengan berbincang. Membicarakan apa aja yang nggak begitu berat dan bersifat umum.
Setelah banyak berinteraksi, aku jadi tahu kalo Kaluna tuh sebenernya pemalu juga. Tapi dia jadi cerewet kalo orang-orang disekitar dia itu pendiam. Dalam kasus ini Angga.
Para cowo sedang berkumpul di ruang baca. Bahkan si anak kecil juga ngikut biangnya kesana. Nggak tahu juga apa yang dia lakuin.
Aku? Duduk di depan perapian yang hangat sambil baca buku tentang merajut. Ya ampun, kesambet setan apa coba aku baca buku kayak gini?
"Aku minta maaf, udah pernah mikir buruk ke kamu." ternyata Kaluna bisa bahasa Indonesia juga.
"Kamu bisa bahasa Indonesia?" malah itu yang aku ucapkan.
Kaluna menganggukkan kepala. "Papaku orang Indonesia, Mamaku orang Jerman."
Pantes aja dia cantik banget. Setengah impor ternyata dia. Sama kayak Angga ya jadinya? Terus kalo mereka nikah nanti, anaknya kayak apa ya bentukannya?
"Maksud kamu tadi apa ya? Tentang berpikir buruk ke aku?" akhirnya aku kembali ke topik utama.
"Dulu, aku pikir kamu cuma mau manfaatin Angga aja. Aku juga marah sewaktu tahu kalian tinggal bareng. Aku pikir Aksara anak Angga."
Sejauh mana Kaluna tahu tentang hubungan rumitku sama Angga?
"Kamu tahu banyak?" aku menyuarakan isi pikiranku.
Hening sejenak. Kayaknya Kaluna lagi mikirin jawaban yang tepat.
"Nggak banyak. Cuma tahu kalo Aksara bukan anak Angga." abis ngomong itu, Kaluna kayak yang malu gitu. Pipinya jadi bersemu.
"Emang kenapa kalo Aksa bukan anak Angga?" kan, aku makin kepo.
Mata Kaluna natap aku kayak yang nggak percaya aja denger pertanyaanku. Apa aku salah ngomong?
"Aku udah suka sama Angga lama. Sejak kami pertama ketemu, sekitar 14 tahun yang lalu. Aku pikir perasaanku nggak akan kesampaian karena dia nggak pernah mau ngomong. Terus aku kayak dapat kesempatan pas kuliah buat deketin dia. Ternyata ada anak umur 3 tahun yang manggil di dengan sebutan Daddy." pandangan Kaluna kayak menerawang gitu, mungkin inget masa itu. "Jadi aku mundur. Tapi belum lama ini kami berhubungan lagi, ngalir gitu aja. Terus aku tanya tentang anak kecil yang memanggilnya Daddy dan Angga jelasin semuanya."
Agak kaget juga sih. Cewe secantik Kaluna aja bisa nungguin Angga selama 14 tahun lho. Itu artinya kan Angga buang-buang waktu cuma buat nungguin aku.
Kalo dulu aku terima lamaran Angga, yakin deh dia buang berlian demi batu kali. Aku nggak rendah diri, tapi emang itu faktanya.
Kaluna jauh lebih cantik berkali lipat. Dia juga punya status sosial yang sama kayak Angga. Yang lebih bagusnya lagi, dia menjaga diri dari pergaulan. Dan nggak punya anak di luar nikah.
"Maaf." ucap Kaluna lagi.
"Bukan masalah sih. Yang penting kamu tahu yang sebenarnya, nggak ada salah paham." balasku.
"Kamu nggak marah?" tanya Kaluna takut.
"Kenapa harus marah?" tanyaku balik. Sumpah ya, ngobrol sama cewe tuh ribet. Nggak to the point banget.
"Karena aku berpikir buruk ke kamu, karena aku sama Angga sekarang."
Duh, kalo nggak lagi ngobrol serius, aku rasanya mau ketawa ngakak. Ngapain coba aku marah?
Gelengin kepala, aku lalu natap Kaluna. "Aku nggak marah. Pertama, aku udah biasa dianggap buruk, karena punya anak diluar nikah dan lainnya. Kedua, aku sama Angga nggak ada hubungan apa-apa, kecuali masalah Aksa."
Dia kayak yang lega banget denger jawabanku. Apa sebeban itukah aku?
"Thank you." Kaluna tersenyum manis. Aku jadi ketularan senyum.