Tahun yang sibuk, karena pernikahan akan digelar. Yup, pernikahanku sama Axel.
Meski belum sepenuhnya yakin, aku akhirnya memutuskan untuk menerima lamaran Axel. Waktu setahun emang dirasa belum cukup, tapi kedekatan Axel sama Aksa nggak bisa diabaikan gitu aja.
Axel jelas nggak mau bikin aku repot. Semua segala hal udah diserahkan ke wedding organizer yang udah dipilih. Itu WO rekomendasi kakak Axel, karena dia pake jasa WO itu pas nikah dulu.
Nggak tahu kenapa, meski udah pake WO, aku tetep aja ribut. Ya cewe mah kalo nggak ribut nggak afdol kayaknya ya.
Terlebih untuk urusan gaun dan ketering. Nggak tahu kenapa rasanya nggak puas kalo nggak ikut campur. Padahal semua udah ada yang handle. Dan bisa dipastikan semuanya aman terkendali.
"Jangan capek. Nanti kulitnya keriput." begitu ucapan Axel. Aku tahu sih, itu cuma buat bikin aku tenang aja.
"Nggak tahu aja, rasanya nggak sreg aja kalo nggak nimbrung." balasku.
"Kan kamu jadi capek sendiri kalo kayak gini. Apa gunanya aku pake jasa WO coba?"
Ya bener juga sih.
Oh, untuk masalah keluarga Axel yang belum menerimaku sepenuhnya, itu bener. Dari tiga saudara Axel, baru kakak perempuannya aja yang nerima aku. Itu anak tertua ya, Cadenza yang biasa dipanggil Kak Denza.
Apapun itu, aku tetep berterima kasih ke kakak Axel yang mau menerima keberadaanku sebagai calon istri Axel. Kak Denza orangnya ramah banget meski awalnya jutek abis ke aku diawal ketemu kita. Nggak tahu apa yang bikin Kak Denza jadi baik gitu. Tapi aku berterima kasih banget.
Kak Denza juga yang bantu aku untuk urus keperluan pernikahan, padahal dia nggak di Indonesia. Berterima kasih sama kecanggihan teknologi yang semakin mendekatkan kami yang tinggal berjauhan.
"Aku udah booking salon, kalian harus kesana dua hari sebelum hari H." ucap Kak Denza melalui telepon. Padahal pernikahan kami masih ada sekitar dua minggu lagi.
Kami memutuskan menikah tepat di hari ulang tahun Aksa. Tentu aja bukan permintaan Aksa, tapi kami ingin memberikan kado ulangtahun yang sedikit berbeda.
"Makasih, Kak. Kalo nggak ada kakak, aku nggak tahu gimana jadinya." balasku tulus.
"Practice make it perfect." ucap Kak Denza kalem. "Dulu aku juga kayak gitu, apa-apa mau di handle sendiri padahal udah ada WO. Banyak yang nggak sempurna menurutku, tapi ya jadiin pengalaman aja. Pas nikahan Alex sama Cindy baru deh jor-joran."
Axel udah cerita soal Kak Denza yang all out ngurusin nikahan Alex dan Cindy dulu. Itu semua karena dia nggak puas sama acara nikahan dia dulu. Makanya sekarang Kak Denza juga pengen nikahan Axel sempurna.
"Makasih, Kak." balasku. Cuma itu yang bisa aku ucapkan.
Telepon itu disudahi karena Axel udah ngomel minta makan. Padahal tinggal ambil sendiri, tapi masih aja minta diladeni.
Kami ada di apartemen yang aku tinggali. Axel kadang nginep, tapi kadang juga nggak. Biasanya sih kalo nggak nginep, nanti jam 10 malam dia pulang. Tentu aja setelah memastikan Aksa tidur.
Paginya, Axel datang. Biasanya jam 7 pagi udah ada disini buat sarapan bareng. Agak ribet emang, tapi ya gimana. Biar nggak di grebek juga kan.
Kami menikmati makan malam yang telat ini berdua. Soalnya Axel pulang telat, kejar target biar bisa ditinggal cuti dengan tenang. Aksa udah masuk kamar, karena katanya tugas dia banyak. Alasan aja sih, biar dia bisa main.
Kelar makan, kami ngobrol bentar. Sebentar doang, karena Axel langsung menuju kamar Aksa dan ngobrol sebentar sebelum tidur. Biasanya juga Axel memastikan pekerjaan rumah Aksa kelar dan siapin keperluan buat besok.
"Aksa udah tidur?" tanyaku, ketika Axel udah duduk disampingku. Kami ada di ruang tengah, nonton televisi yang nggak jelas.
"Iya." cuma itu jawaban Axel, abis itu dia liatin aku kayak yang gimana gitu.
"Ada apa sih?" tanyaku lembut.
"Dua minggu lagi. Aku nggak sabar." ada binar bahagia yang Axel tampakkan.
Benar, dua minggu lagi adalah hari H pernikahan kami. Dua minggu lagi juga ulangtahun Aksa.
"What's special?"
"Spesial dong. Kita bertiga tinggal bareng, as a family."
Kalo kata orang, dalam pernikahan tuh pikiran cowo kebanyakan tentang sex. Aku jadi bertanya-tanya tentang hal itu.
Oke, Axel memang memikirkan sex, tapi nggak melulu tentang itu. Nyatanya dia tetep mengutamakan Aksa ketimbang aku. Kalo pulang kerja juga dia langsung bersih-bersih terus nemuin Aksa.
"What else?" tanyaku menggoda.
Tentu aja akan ada perbincangan yang panjang setelah ini. Apalagi pertanyaanku langsung memancing Axel untuk menjelaskan secara real apa yang menurut dia spesial dari pernikahan ini.
***
Dwiki datang tiga hari sebelum hari H. Dia yang udah mulai kerja, sedikit kesulitan mendapatkan cuti yang agak lama. Wajar, soalnya dia karyawan baru.
Angga juga datang mendekati hari H. Dia datang sama Kaluna. Jadi Angga nggak nginep di apartemen. Ya nggak masalah sih, soalnya udah nggak ada tempat juga disini. Kamar kosong udah dipake sama Dwiki.
"Kenapa kamu nggak mau? Kan kamu pengganti Bapak."
"Aku nggak pantas aja." jawab Dwiki.
Kami lagi bahas siapa yang bakal gandeng aku menuju ke altar besok pas nikah. Aku dengan mantap bilang kalo Dwiki yang bakal gandeng aku, eh ternyata dia malah nolak.
"Terus siapa? Masa Aksa yang gandeng aku ke altar?" tanyaku putus asa.
"Bisa, kan." eh jawaban Dwiki malah gitu. Kalo nggak lagi panik, udah aku jitak aja kepala dia. "Angga kayaknya lebih cocok."
Angga ya? Kenapa nggak kepikiran dari tadi? Itu ide yang bagus juga sih. Dan lagi, ada arti tersendiri kalo Angga yang lakuin.
Seolah lupain Dwiki, aku langsung hubungin Angga dan menyampaikan ide itu. Sama seperti Dwiki, Angga menolak dengan alasan bukan orang yang tepat. Tapi aku nggak kehabisan ide dong. Jurus rengekan maut memang selalu berhasil.
Nggak lupa, aku kasih tahu Axel juga tentang hal ini. Walo sebenernya dia nggak keberatan sama keputusan yang aku ambil.
[Kita bahas nanti pas aku kesana.]
Begitu jawaban Axel.
Eh padahal harusnya dia nggak boleh nemuin calon istrinya dulu kan? Udah mau nikah ini. Tapi nggak ada adat pingitan dalam prinsip Axel. Ketemu mah ketemu aja. Malah, Axel berpikir untuk menetap di apartemen sampai hari H pernikahan. Gila aja!
"Kenapa Dwiki nolak?" tanya Axel tanpa basa-basi.
Seperti biasa, Axel datang udah agak larut. Sekitar jam sembilan malam dia baru sampai apartemen. Dan langsung minta makan.
"Dia bilang dia nggak pantas. Gantiin posisi Bapak itu berat." jawabku, menirukan ucapan Dwiki tadi.
"Angga setuju?" aku menganggukkan kepala sebagai jawaban.
"Tapi dia tetep minta persetujuan kamu." tambahku.
Axel menyelesaikan makan malamnya yang terlambat itu. Lalu membawa piring kotor ke dapur dan membereskan semua makanan yang ada di meja. Kembali dengan segelas air dingin di tangan.
"Aku nggak masalah, toh siapapun orangnya, itu nggak masalah. Bahkan kalo orang itu Aksara sekalipun." Axel menandaskan gelas. "Selama kamu nyaman sama hal itu."
"Aku pengen mengakhiri semuanya. Hubunganku sama Angga." aku mengamati ekspresi Axel, takut aja aku bahas hal yang nggak dia mau.
"Maksudnya?" pertanyaan itu seolah jadi ijin bagiku untuk melanjutkan pembahasan.
"Harusnya ayah yang nganter anak gadisnya ke altar, itu juga menandai berakhirnya kewajiban ayah ke anak. Aku pengen momen itu jadi berakhirnya kewajiban Angga ke aku."
Nggak mudah jadi aku. Dibiayai hidup sama orang asing, tapi nggak mengharapkan timbal baliknya. Hutang budi itu nggak enak, tapi Angga udah banyak berjasa buat aku sama Aksa sampai detik ini. Kalau mau dinominalkan , jelas kerja seumur hidup pun aku nggak akan bisa bayar hutang itu.
Axel meluk aku dengan erat. Berulang kali dia cium kepalaku dengan sayang. "Iya, kewajiban 'ayah' Angga udah selesai besok di hari pernikahan kita."