Dua tahun kemudian.
Rumah udah berantakan nggak jelas, suara ribut nggak cuma di ruang tengah aja.
Tahun lalu, aku melahirkan seorang bayi cantik. Adik Aksara yang sekarang udah hampir berumur satu tahun, Khaireen Moi. Dia lagi aktif-aktifnya, karena udah bisa merangkak. Bahkan kalau ada mainan yang agak tinggi, dia bakal dorong mainan itu. Bener-bener udah harus ekstra ngawasinnya.
Axel lagi sibuk ngurusin Khai, panggilan untuk Khaireen. Mereka lagi sarapan bertiga, tentu aja bareng sama Aksa. Aku, lagi sibuk masak karena makanan mereka ternyata kurang banyak. Ya ampun, aku kayak kasih makan buat banyak orang, padahal cuma tiga orang doang.
Aksa yang sekarang udah berumur 10 tahun, udah jadi kakak yang baik buat Khai. Yah, walaupun kadang adiknya malah diusilin sih. Tapi Aksa tetap kakak yang penyayang ke adiknya. Itu karena dia juga mendapat kasih sayang yang sama besarnya dari kami.
Sesuai janjinya dulu, Axel nggak akan pernah berubah dalam hal menyayangi Aksa. Terbukti sekarang, meski udah ada anak kandungnya, Axel tetap memperlakukan Aksa seperti biasanya. Nggak ada perbedaan antara anak kandung dan juga anak sambung.
Semua tampak bahagia kan? Jelas dong.
Terlepas dari masih renggangnya hubunganku sama kedua saudara Axel yang lainnya, semuanya memang baik-baik aja. Alex dan Cindy emang nggak bisa berubah 100% untuk langsung suka ke aku. Beda dengan Kak Denza yang sekarang udah pindah ke Indonesia dan menetap di Jakarta. Membuat kami semakin akrab.
Kami menjadi semakin dekat dengan kehadiran anak. Jarak Khai dan Aira nggak begitu jauh. Yup, Kak Denza punya anak lagi, padahal usianya udah nggak muda lagi. Beruntungnya, anak ketiga ini perempuan, karena sebelumnya dua anak Kak Denza itu cowo. Jadi, kami makin klop.
"Mommy, hurry, I'll late." teriakan Aksa udah nggak bisa ditolerir lagi.
"Okay, Mommy ready." jawabku sembari meletakkan piring makanan terakhir yang aku buat.
"Yakin mau anter Aksa?" tanya Axel meremehkan.
Aksa juga kayaknya sepemikiran sama bapaknya itu. Dia liatin aku dari atas ke bawah, lalu naik lagi ke atas.
"Take a bath first." ucap Aksa.
"Oke, kamu berangkat sama Papa aja. Biar Mommy sama Khai aja." akhirnya itu keputusanku.
Dari pada nanti Aksa telat nungguin aku mandi dan siap-siap, mending dia berangkat sama Axel aja.
"Itu lebih bagus." ucap Axel.
Setelah menciumku dan juga Khai, Axel langsung lari ke mobilnya. Tahu banget kalo Aksa udah sewot karena nanti bakal telat. Padahal kalo mau dipikir lagi, Aksa nggak akan telat karena jarak ke sekolah cuma deket banget. Cuma 15 menit pake mobil. Kalo jalan kaki atau pake sepeda, jelas nggak sampai 15 menit kan?
Kelar sama urusan pagi, waktunya leha-leha. Emang mau ngapain lagi?
Ribetnya aku tuh cuma pas masak aja. Soalnya udah kebiasaan dari dulu kalo masak tuh harus sendiri. Bukan nggak percaya sih, tapi paling nggak aku ada kerjaan rumah gitu. Karena untuk beberes rumah macam nyapu, ngepel sama laundry itu udah ada yang handle.
Oh, sama satu lagi. Ngurusin Axel di ranjang. Hehehe.
Kalo udah ditinggal berdua sama Khai, aku paling cuma bakal main sama Khai seharian. Itu kalo lagi nggak ada acara. Beda cerita kalo tiba-tiba Kak Denza main ke rumah atau ngajakin keluar.
Tika udah nggak kerja lagi sama aku. Alasan utamanya karena suami dia nggak ngijinin Tika kerja lagi setelah lahiran. Padahal nggak masalah juga sih kalo Tika mau tetep kerja sambil jagain anaknya. Toh kerjaan disini juga nggak banyak. Lagian, Aksa juga udah gede.
Mungkin kalo sekarang Tika masih kerja sama aku, paling kerjaannya ngurusin Khai kalo aku lagi sibuk aja. Tapi ya gimana, itu udah keputusan mereka kan. Lagian sekarang aku juga nggak ngapa-ngapain. Jadi ya waktuku cuma buat ngurusin Khai aja.
Hubungan aku sama Angga masih baik dan akan selalu baik. Dia kadang main ke sini kalo pas lagi di Indonesia. Sekarang sih baliknya udah nggak sesering dulu yang dua minggu sekali. Kadang sebulan sekali, kadang juga seminggu udah balik. Tergantung mood dia aja katanya. Toh sekarang dia balik jadi free man kan.
Kalo ditanya gimana hubungan Angga sama Kaluna, aku kurang paham. Baik Angga maupun Kaluna tuh nggak punya sosial media, jadi nggak bisa kepoin mereka lewat sosial media. Kok bisa ya, orang-orang pada betah gitu nggak pake sosial media? Apa golongan old money tuh gitu?
Cuma ada kabar bahagia yang aku terima pas lagi buka pesan dari Angga. Dia ngirimin softfile undangan pernikahan. Nama yang tertera disana adalah "Nur Angga Tedjo Narendra und Kaluna Loralei Springfield"
***
Tiga bulan sejak aku menerima undangan pernikahan itu, sekarang aku ada disini. Tempat yang sangat cantik untuk dijadikan venue wedding.
Kami berempat sampai di Bali sehari sebelum hari H. Sangat mepet karena Axel ada pekerjaan dadakan, juga Aksa yang harus menyelesaikan ujian akhirnya. Untungnya kami sampai tepat waktu.
Kedatangan kami disambut oleh calon mempelai. Keduanya menyambut kami dan langsung mengantar kami ke kamar kami. Pelayanan yang memuaskan kan?
Setelahnya, kami langsung berbaur dengan tamu undangan lain yang sudah datang terlebih dahulu. Nggak banyak, karena memang dua orang itu nggak berniat mengadakan pesta pernikahan yang ramai.
Mereka adalah keluarga Kaluna dan Angga. Aku tahu keluarga Angga, yang terdiri dari tiga orang kakak laki-laki. Yang sekarang kesemuanya sudah berkeluarga dan menenteng keluarga kecil mereka. Keluarga yang dulu cuma beberapa orang, sekarang sudah membludak. Mungkin harus nyewa bus kalo mau bepergian bareng.
Eh, mereka kan orang kaya, jadi ya harus nyewa pesawat pribadi dong ya.
"Happy?" pertanyaan itu selalu Angga tanyakan ketika ketemu aku.
"Ang, c'mon." ucapku jengah. Capek juga lama-lama ditanya itu mulu. "Aku bahagia dengan keluargaku sekarang. And now, your turn to get your happiness."
Angga cuma tersenyum aja denger ucapanku. Hal yang jarang Angga lakukan.
"Thank you."
"I should be the one thanking you."
Kalau orang yang nggak kenal kami, mungkin mereka akan menganggap aku adalah pasangan Angga. Ketika mata kami bertemu, tatapan yang sudah sering diberikan satu sama lain nggak pernah berubah. Angga selalu menatapku dengan dalam dan intense, begitu juga denganku.
Meski begitu, nggak berarti kalo kami masih memiliki perasaan satu sama lain. Kami hanya saling menyayangi dalam artian yang sebenarnya. Sayang seorang sahabat, sayang dari keluarga. Mungkin akan disangkal kalau dalam persahabatan pria dan wanita selalu akan ada rasa cinta, tapi bagi kami, ini hanya murni persahabatan.
Kami tahu batasan kami masing-masing. Aku sadar diri kalo udah punya keluarga sendiri, dan Angga yang juga punya Kaluna sekarang. Apalagi mereka akan melangsungkan pernikahan hanya dalam beberapa jam kedepan.
"Kamu harusnya dipingit, nggak boleh keluar kamar sampai waktu pernikahan besok." godaku ke Angga.
"I know, but I miss you."
Senyum Angga sangat bahagia. Rasanya agak aneh aja lihat Angga yang penuh senyum kayak gini. But it's real. Angga tersenyum penuh bahagia. Mungkin karena dia bisa menikah dengan orang yang dicintainya. Ternyata, ini hikmah dibalik aku menolak lamarannya itu.
Tuhan udah siapin perempuan yang lebih baik dari aku untuk jodoh Angga. Ya, Kaluna memang jauh lebih baik dari aku dalam segala hal.
Siapa yang sangka, kalo dulu cowo yang lagi sedih dan pengen mati itu sekarang bisa tersenyum bahagia menyambut hari barunya. Cowo yang dulu selalu menampilkan wajah datarnya itu kini banyak tersenyum.
Hidup emang nggak ada yang tahu gimana kedepannya. Kadang, yang kita pikirkan adalah yang terbaik untuk kita, ternyata nggak. Tuhan yang menentukan apa yang baik buat kita dan nggak. Tuhan adalah pemilik hidup kita.
Untuk pertama kalinya, aku melihat Angga tersenyum lebar dan tertawa, dan itu adalah hari ketika dia resmi menjadi seorang suami dari Kaluna Loralei Springfield.
[Ang, terima kasih sudah menjaga dan melindungiku dan Aksara. Beribu ucapan terima kasih aja nggak akan pernah cukup untuk membalas apa yang udah kamu lakuin. Disaat semua orang menghakimi dan menjauhiku, kamu dengan tangan terbuka menolongku tanpa pernah bertanya. Selamat berbahagia, Ang, selamat menempuh hidup baru. Semoga bahagia sampai maut memisahkan.]
Pesan itu terkirim, sesaat setelah Angga sah menjadi suami Kaluna. Bukan bermaksud apa-apa, aku hanya ingin berterima kasih atas semua yang udah dia lakuin ke aku sama Aksa. Tentu aja aku nggak menyembunyikan hal itu dari Axel.
"Lega sekarang?" bisikan Axel terdengar. Dia tahu apa yang selama ini aku rasakan. Rasa yang aku tujukan ke Angga. Alasan juga kenapa dia nggak pernah protes kalau aku bahas Angga.
"Banget. Apalagi liat Angga yang beda jauh sama yang dulu." jawabku.
"Semoga dia bahagia sekarang. Dan kamu, juga kita, bahagia." kecupan Axel sebenernya mau saingan sama pengantin, tapi karena Khai rewel, ya batal.
[Kartika Rani, terima kasih karena sudah menyelamatkanku. Kalau kamu tidak mengajakku ke kos waktu itu, mungkin aku tinggal nama. Itu adalah saat yang berat dalam hidupku. Berjuta terima kasih tidak akan cukup untuk menebus pertolonganmu. Apa yang aku lakukan semata karena aku ingin membalas kebaikanmu kepadaku, meski tidak akan pernah cukup. Melihatmu bahagia juga menjadi pengingat bagiku, bahwa ada hal lain yang bisa dilakukan meski kita sedang dalam kesedihan. Terima kasih untuk pelajaran berharga ini. I love you, loves Aksara too. Terima kasih menjadi temanku selama ini. Angga Tedjo Narendra.]