Chereads / Flat Face [END] / Chapter 37 - Flat Face 37

Chapter 37 - Flat Face 37

Aksa udah dandan ganteng. Bahkan Aksa udah bangun sejak subuh, karena kamarku udah rame sama penata rias. Dia sama Dwiki nungguin aku kelar dandan.

Angga masuk ke kamar pas aku udah kelar dirias. Dia keliatan bahagia banget. Tentu aja Angga datang sama Kaluna. Yang hari ini cantik banget dengan gaun brokat marun yang cantik. Gaunnya simpel banget, tapi Kaluna tetep keliatan cantik.

"Ready?" tanya Angga ketika dia mendekat.

"Daddy, I'm handsome today." sela Aksa cepat.

"The most handsome man I've ever seen." ucap Angga, sembari menggendong Aksa.

Tak berselang lama, para pria diusir dari kamar karena aku mau pake gaun. Gaun yang aku pake sama kayak gaun pernikahan Kate Middleton, tapi ada sedikit perbedaan.

Pas nyoba sih biasa aja, tapi sekarang pas dipake berasa berat banget. Nggak paham lagi deh kenapa gaunnya jadi berat gini.

"Mrs. Axel Moi soon to be." Kak Denza menyambutku yang udah pake pakaian lengkap. Make up juga udah komplit.

"Sister in law." balasku penuh senyum bahagia.

Jam udah mendekati waktu yang ditentukan untuk mengucap ikrar pernikahan. Rasanya deg-degan banget. Apa semua orang merasakan hal yang sama pas mau nikah?

Angga jemput aku di kamar dan menggandeng tanganku menuju tempat pernikahan.

"Happy?"

"Very happy." jawabku.

Ekspresi Angga berubah. Awalnya dia keliatan bahagia gitu, tapi terus ganti jadi sedih. Apa dia nggak terima aku nikah sama orang lain? Kayaknya sih nggak, soalnya kan dia sendiri udah punya Kaluna.

"Aku merasa seperti seorang ayah. Aku bahagia untuk kebahagiaanmu, tetapi aku juga sedih karena mulai sekarang kamu bukan milikku lagi."

Kaget aja denger Angga bisa ngomong kayak gitu. Aku jadi bertanya-tanya, apa selama ini dia anggap aku nggak lebih dari anggota keluarganya?

"Selalu ada yang datang dan pergi." aku menggenggam tangan Angga dengan erat. "Aku pergi ke Axel, sedangkan Kaluna datang ke kehidupan kamu."

Senyum yang sangat tulus terukir di wajah Angga. Dia jadi sedikit lebih lega setelah mendengar apa yang aku katakan.

"Terima kasih, menjadi orang yang mau menyelamatkanku meski kita tidak saling mengenal. Terima kasih sudah mengajarkanku untuk berbagi. Terima kasih untuk kesempatan menjadi ayah bagi Aksara. Terima kasih untuk pengalaman hidup ini."

Jadi melow sumpah. Air mataku langsung mengalir mendengar pernyataan Angga. Angga yang selama ini dikenal sebagai cowok yang dingin dan datar, nyatanya bisa juga ngomong semanis itu.

"Terima kasih karena sudah hadir di hidupku dan hidup Aksara." hanya itu yang bisa aku ucapkan. Aku kayaknya terlalu menghayati ucapan Angga, sampai nangis.

"Don't cry, the makeup will be damaged."

Omaigat, kenapa aku bisa lupa sama hal penting ini?

Aku menghentikan langkah. Untung aja penata rias ngikutin kami. Dengan cekatan mereka memperbaiki riasanku sebelum aku sampai di jalan menuju altar.

"Ready?" tanya Angga.

"Ready." jawabku mantap.

Musik mengalun begitu kami mulai melangkah menuju altar. Selangkah demi selangkah terus dilalui dan mendekat ke tujuan. Aksa dan Dwiki mengiringi langkah kami.

Disana, Axel udah nungguin kami bareng sama pendeta. Dia keliatan ganteng banget pake setelan yang matching sama warna gaunku. Ya ampun, akhirnya aku akan menikah. Mengabdikan hidupku untuk pria di hadapanku.

"Take care of her." ucap Angga, ketika menyerahkan tanganku untuk diraih Axel.

"Will always."

Meski Bapak udah nggak ada, tapi rasanya aku bisa merasakan kehadirannya disini. Angga persis kayak bapak yang mau nikahin anaknya banget. Berulang kali dia liat ke arah kami pas jalan menuju kursi. Kayak yang nggak rela gitu.

Prosesi ini berjalan dengan lancar. Kami memang sengaja nggak ngundang banyak orang, cuma orang terdekat kami dan juga saudara. Ngundang orang segitu aja udah bikin puyeng persiapannya, apalagi kalo nyebar undangan sampe yang ribuan gitu coba.

***

Setelah menikah, langsung pindah ke rumah Axel. Aku pernah berkunjung ke rumah itu beberapa waktu lalu. Sebelumnya? Kalo nggak di apartemen yang aku tempati ya di apartemen dia. Inget ya, apartemen, bukan rumah.

Aku jadi mikir, kenapa cowo suka nyembunyiin tempat pribadi dia? Kenapa nggak langsung bawa pacarnya ke rumah dia?

Jujur aja sih, ini kali kedua aku diperlakukan kayak gini. Maksudnya nggak dibawa ke rumah pribadi dia. Cuma ke apartemen atau semacam tempat singgah lainnya.

Pertama Angga. Dia juga nggak pernah ajak aku ke rumah dia. Dan bahkan sampai detik ini, aku nggak tahu dimana rumah dia tepatnya. Seperti apa rumah dia atau apapun itu. Malah, Aksa yang udah pernah diajak ke rumah Angga. Rumah yang jadi tempat dia pulang kalo udah seharian bekerja. Bukan apartemen atau apapun itu.

Sekarang, Axel juga memperlakukanku kayak gitu, karena ini pertama kalinya aku injakin kaki ke rumah dia.

"Siapa aja yang pernah masuk ke rumah ini?" tanyaku penasaran. Murni penasaran lho, nggak ada maksud lain.

"Banyak. Kenapa?" tanya Axel balik.

"Seingatku, kamu nggak pernah ngajakin aku kesini."

Tiba-tiba aja Axel menghentikan kegiatannya. Dia lagi mindahin beberapa bajuku dari koper ke lemari pakaian.

"Kenapa?" suara Axel kayak penuh pertanyaan. Ya iya lah, orang dia nanya.

"Penasaran aja." jawabku singkat.

"Kamu marah?"

Lah, apa coba maksudnya? Wah, kayaknya aku udah salah bikin topik pembicaraan.

"Nggak, cuma penasaran aja." jawabku, berusaha mencari kata-kata lain yang aman. "Angga nggak pernah ngajakin aku ke rumah dia. Rumah yang dia jadikan tujuan untuk pulang. Dan sekarang, kamu juga kayak gitu. Penasaran aja, kenapa kalian kayak gitu. Apa status pacar atau calon istri nggak bikin kalian tergerak untuk ngajakin ke rumah?"

Akhirnya aku ungkapin apa yang ada di pikiranku. Lebih baik jujur kan, ketimbang nantinya jadi salah paham. Lagian, pernikahanku sama Axel baru beberapa jam.

"Bagiku, rumah itu privasi. Aku nggak akan biarin orang asing masuk ke ruang pribadiku." jawab Axel.

"Kalo ada tamu, kamu bawa kemana?"

"Ke apartemen." Axel kayaknya udah relax lagi, karena dia udah lanjutin kegiatannya. "Surat menyurat juga apartemen. Jadi, tahunya orang, aku tinggal di apartemen."

"Kalo ada surat penting atau lainnya?" kekepoanku nggak berhenti disitu ternyata.

"Setiap malam aku ke apartemen buat cek ada surat atau apapun itu. Abis itu ya pulang kesini." Axel menghampiriku dan mencium leherku.

"Oke, jawaban bisa diterima." balasku enteng. Lalu menarik selimut dan bersiap untuk tidur.

"Kamu mau tidur sekarang?"

"Iya, aku capek. Kenapa?"

"Ini malam pertama kita, masa kamu langsung tidur gitu aja?" protes Axel.

Malam pertama? Yang bener aja deh. Ngapa coba nih orang sok mesra gini?

"Serius malam pertama?" aku malah terdengar mengejek ya?

"Iya, malam pertama kita tinggal serumah." tangan Axel udah makin aktif aja gerayangin.

"Malam pertama tinggal serumah, terus apa spesialnya?" tanyaku, sembari menghentikan aksi tangan Axel.

"You know what I mean." senyum Axel benar-benar berbahaya.

"I know, but I don't want to know."

Langsung aja aku narik selimut dan nutupin tubuhku. Aku juga memunggungi Axel.

"Ayolah, Kar, masa malam pertama dapet punggung doang?" protesan Axel bikin aku geli sendiri.

"Kamu dapet bagian belakang aja." jawabku mantap.

Oke, kayaknya aku nggak boleh terlalu percaya diri. Karena nyatanya Axel benar-benar bisa memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.

Hanya dalam sekejap, dia udah melancarkan aksinya dan bikin aku menjerit tertahan. Setelahnya, bisa dibayangkan apa yang terjadi malam ini. Malam pertama kami sebagai sepasang suami istri.

Semoga aja Aksa nggak keganggu sama kegiatan kami. Walaupun udah berusaha nggak mengeluarkan suara, nyatanya aku nggak bisa diam. Ini terlalu sulit untuk diabaikan begitu saja.