Chereads / Flat Face [END] / Chapter 30 - Flat Face 30

Chapter 30 - Flat Face 30

Karena fokusku cuma ke Aksa, aku nggak sadar kalo ada orang lain yang bareng sama Aksa. Dia dari tadi juga diem aja, jadi aku nggak memperhatikan sama sekali.

"Kamu." aku kaget ketika tahu siapa yang berdiri sama Aksa. "Ngapain disini?"

Tanganku otomatis ngusap air mata yang udah bikin aku tampak kacau. Sumpah, aku nggak berharap terlihat cantik. Karena sejujurnya aku nggak dandan, juga nggak kepikiran buat dandan. Emak-emak yang cuma stay di rumah pasti tahu lah.

"Antar Aksa pulang." dia, dengan senyumnya yang manis seperti biasa, menjawab. "Maaf, tadi aku mau kabarin kamu, tapi waktunya mepet. Malah kelupaan juga karena asyik main."

Axel Moi, pria yang beberapa bulan ini menghilang, sekarang ada di hadapanku lagi. Saking fokusnya natap wajah Axel, aku sampai nggak ngeh kalo Aksa sama Tika udah masuk apartemen.

"Kamu nggak ngajak aku masuk? Ada banyak hal yang ingin aku obrolin sama kamu."

Duh, malu banget lah ini. Keliatan banget kalo aku terpesona banget sama Axel, sampai-sampai nggak ngajakin dia masuk. Dengan canggung aku ajak Axel masuk. Tika udah siap sama minuman buat Axel. Dia juga udah amanin Aksa biar nggak ganggu aku ngobrol sama Axel.

"Apa kabar?" tanya Axel kalem.

"Baik." jawabku singkat.

Wajar nggak sih kalo aku jengkel sama Axel? Dia udah lama ngilang dan nggak ada kabar, dan sekarang dia didepanku cuma nanya kabar doang? Kalo nggak di dalam rumah, pasti aku udah gampar dia. Atau minimal siramin dia pake minuman kami, entah apapun yang kami minum.

"Syukur kalo kamu baik-baik aja. Berarti aku kepedean waktu mikir kamu bakal menderita karena aku pergi." Axel memperlihatkan senyumnya. Tapi bukan jenis senyum manis.

"Aku pikir juga gitu. Tapi nyatanya aku baik-baik aja." sahutku tegas.

"Apa karena Angga selalu ada disamping kamu?"

"Ya. Dari dulu sampai sekarang. Ada masalah?" kok aku ngegas banget ya suaraku.

Axel menganggukkan kepala. Entah apa yang dia pahami dengan ucapanku. "Aku minta maaf, karena tiba-tiba menghilang. Aku pengen hubungi kamu, tapi takut ganggu. Kamu kayaknya juga baik-baik aja selama aku nggak ada."

"What's the point?"

Bukan bermaksud lancang ya, tapi aku rasa kami udah bukan anak kecil lagi. Jadi rasanya nggak efektif aja kalo masih ngobrol ngalor-ngidul nggak jelas gini. Lebih baik langsung ke intinya biar kita sama-sama tahu masalahnya. Syukur bisa nyari solusinya bareng. Gitu kan lebih enak.

"Aku nggak tahu hubungan macam apa yang kalian jalani, tapi aku rasa aku nggak bisa menyela Angga barang sedetikpun. Jadi, aku memutuskan untuk mundur karena jelas nggak ada celah buatku. Semoga kamu bahagia sama Angga dan Aksa."ucap Axel lancar.

Ini serius? Axel barusan ngomong kayak gitu? Padahal kemarin-kemarin dia bilang mau ngajakin aku nikah kan?

Oke kalo emang ini mau dia. Lagian aku juga nggak mau buang waktu untuk berurusan sama orang yang mudah menyerah.

"Aku pamit." Axel langsung bangkit dan jalan ninggalin aku.

Ada rasa nggak rela liat Axel pergi gitu aja. Tapi kalo dipikir lagi, apa alasan aku bikin Axel tetep disini? Sedangkan kami nggak ada hubungan apapun.

"Uncle wanna go home?" suara Aksa menghentikan langkah Axel.

Perlahan Axel berbalik dan tersenyum. "Iya, Uncle udah selesai ngobrol sama Mommy kamu. Uncle pamit ya."

Aksa berlari ke arah Axel dan memeluk pinggang Axel. "Remember your promise?"

"Sure. Between men." Axel memeluk Aksa dan lalu mengacak rambutnya. Abis itu dia beneran pergi.

Kalau nggak ada Aksa disini, jelas aku udah nangis lebay. Malu aja gitu nangis dihadapan Aksa. Dan lagi, aku nggak mau Aksa mikir yang aneh-aneh tentang Axel. Ya siapa tahu aja kan Aksa nanti mikir kalo aku dijahatin atau gimana gitu. Bisa bikin Aksa mikir jelek.

"Mommy okay?" pertanyaan Aksa bikin aku sadar.

"Ya, I'm okay. Why?" tanyaku balik.

"Why you crying? Did Uncle hurt you?" nah kan, baru aja mikir gitu, udah kejadian.

Aku mengusap wajahku dan sadar kalo ada air mata. Sejak kapan aku nangis? "No. Uncel baik. We just talked about adult things."

Lagi, Aksa menunjukkan sisi dewasanya. Dia nggak ngomong apa-apa, cuma elus punggungku sambil meluk aku. Bahu kecilnya kurang pas buat letakin kepalaku sewaktu meluk Aksa. Wajar sih, Aksa masih kecil. Beda cerita kalo Aksa udah gede.

"Mommy berharap kamu menjadi pria yang mencintai dan melindungi orang terkasihmu. Bertanggung jawab dan menyayangi mereka dengan sepenuh hati. Juga, semoga keberuntungan selalu menyertai hidupmu."

Tahu kok kalau aku banyak salah dan dosa. Tapi aku boleh kan berdoa dan berharap untuk Aksara? Toh yang salah aku, Aksa nggak bisa diikutsertakan dalam dosaku.

"Mom, in English, please."

Padahal ini lagi dalam suasana haru lho. Bisa-bisanya Aksa ngomong kayak gitu. Kan aku jadi ketawa.

"You have to learn to speak Indonesian." ucapku sembari menghapus air mata.

"I will, if Daddy teaches me."

Lagi, aku ketawa. Bukan mau meremehkan ucapan Aksa, tapi aku yakin dia paham maksud dari ketawaku. Apa Aksa tadi bilang? Bakal belajar bahasa Indonesia kalau Angga yang ngajarin? Angga aja nggak bisa ngomong bahasa Indonesia, kok ini malah Aksa pengen diajarin. Mustahil nggak sih?

"Ya, one day you can speak Indonesian." ucapku gemas.

***

Angga datang, padahal ini bukan jatahnya dia datang.

Masalah Aksa yang ngilang itu udah aku jelasin. Untungnya Deano telat ngasih tahu ke Angga, jadi Angga nggak buruan kesini. Jadi, apa tujuan Angga kesini?

"Love him?" Angga mulai pembicaraan.

Kami sedang makan malam bersama. Makan malam biasa sih, tapi tetep aja, Angga nggak bisa kalau makan malamnya biasa aja.

"Who?"

"Axel Moi."

Gerakanku terhenti begitu Angga menyebut nama Axel. Aku tahu Angga bisa mengetahui banyak hal, termasuk tentang Axel. Tapi aku nggak pernah nyangka kalo Angga akan membahas hal ini sama aku sekarang.

"Bisa kita makan malam dulu? Setelahnya, aku akan jawab apapun pertanyaanmu." tawarku.

Ini cara terbaik untuk mempersiapkan diri. Sadar kok kalau aku nggak bisa menghindar. Paling nggak, aku bisa menarik napas dulu sebelum dicecar sama pertanyaan Angga.

Angga keliatan kalo nggak sabar banget. Nggak tahu kenapa, tapi kayak ada yang ngejar dia. Apa Angga sebenernya sibuk? Tapi kenapa dia datang kesini sekarang kalo dia sendiri sibuk?

Setelah menyesap wine kami, Angga memperhatikanku dengan seksama. Bukan tipe memperhatikan kayak pasangan sih. Lebih ke meneliti tentang apa yang ada di wajahku. Mungkin dia sedang membaca gerak-gerikku.

"Ya, aku suka sama Axel. Ya, aku sedih karena dia memutuskan untuk mundur. Tapi apa yang bisa aku lakukan?" bahkan aku nggak perlu nunggu Angga untuk bertanya.

"Why?"

"You know. Pria mana yang mau menerima perempuan kayak aku? Mungkin dia mau, tapi apa keluarganya menerima begitu aja?"

Sekian lama memikirkan semua ini, nyatanya aku masih belum bisa menghilangkan rasa rendah diriku ini. Rasa nggak pantas untuk pria single itu menyiksa. Bertentangan banget sama apa yang aku rasakan. Balik lagi kepertanyaanku, aku bisa apa?

"You never actually talked to him." Angga mengamatiku lagi. "Meet him and discuss what is on your mind."

Ini perkataan Angga yang panjang. Bukan bermaksud memarahi atau men-judge, tapi Angga memberi solusi atas semua masalahku.

Bener kata Angga, kami nggak pernah berbicara dengan baik. Ketika Axel menyampaikan maksud hatinya, aku menolak. Dan Axel sendiri nggak pernah tahu apa isi hatiku yang sebenarnya. Karena memang aku nggak pernah menyampaikan ke dia.

"It's too late." balasku lirih.

"Never, if you try." senyum Angga yang langka itu terlihat.

Aku menangis, tapi aku juga tersenyum. Aku bahagia memiliki Angga disampingku, bersyukur dia nggak meninggalkanku ketika aku menggantung hubungan kami. Dia juga nggak pergi ketika aku menolaknya. Disisi lain, aku menangis karena takut memikirkan penolakan Axel.

"We've talked. Now it's your turn."

Angga bangkit dari duduknya dan meninggalkanku tanpa sepatah katapun. Aku pikir dia ke toilet, tapi rasanya nggak mungkin, karena ponsel dia aja nggak ada di meja. Itu artinya Angga ninggalin aku?

Baru aja aku mau nyusul Angga, langkahku terhenti karena ada yang menghalangi jalanku. Ya nggak menghalangi juga sih, karena masih ada jarak diantara kami. Tapi dia tepat ada di hadapanku, membuatku kehilangan daya untuk bergerak. Axel Moi.