Chereads / Flat Face [END] / Chapter 31 - Flat Face 31

Chapter 31 - Flat Face 31

Ini kayak film slow motion gitu rasanya. Langkah Axel rasanya pelan banget buat sampai ke meja dimana aku berada. Padahal dia tinggi, kakinya panjang, otomatis kan beberapa langkah aja udah bisa sampai ke aku. Tapi kok rasanya lama banget ya?

Begitu dia sampai dihadapanku tepat, Axel yang malam ini berpakaian rapi banget hanya terdiam aja. Bikin bingung.

Axel merogoh saku jasnya dan mengeluarkan kotak yang bisa ditebak oleh siapapun isinya. Ya, Axel mengeluarkan kotak berisi cincin yang sangat cantik. Dia juga berlutut dihadapanku, menjadi perhatian banyak orang di restoran itu. Sial, kenapa juga restoran harus ramai sekarang ini?

"Kara, aku pernah bilang kalo aku akan mundur, tapi nyatanya itu nggak mudah. Pada akhirnya aku menemui Angga dan kami banyak berbincang. Dan sekarang adalah keputusanku yang udah bulat untuk melamar kamu menjadi istriku." perhatian yang tertuju ke kami dan Axel yang lagi ngomong membuatku nggak bisa fokus. "Aku nggak peduli dengan omongan orang, aku juga nggak peduli dengan status kamu. Yang aku pedulikan hanya kamu dan Aksa."

Situasi macam apa ini?

Oke, ini adalah lamaran yang aku impikan. Bahkan lamaran Angga aja nggak begitu berkesan. Mungkin karena aku nggak begitu menaruh hati sama Angga. Entah, yang jelas lamaran Axel adalah lamaran impianku.

Sayangnya bukan di kondisi seperti ini. Maksudnya, aku yang punya anak di luar nikah dan nggak ada pria yang bertanggung jawab untukku dan Aksa secara hukum.

"Berdiri." hanya itu yang bisa aku ucapkan.

Tangan Axel terulur ke wajahku. Aku pikir ada noda makanan atau apa gitu di wajahku. Ternyata itu air mata yang mengalir ke pipi. Ya ampun, kenapa sekarang aku sering nggak sadar kalo lagi nangis?

"Pikirkan baik-baik sebelum memutuskan. Tentang Aksa, aku nggak akan maksa dia panggil aku daddy atau sebutan lainnya. Yang penting dia terima aku di hidup dia dan hidupmu."

Kurang baik apa lagi coba Axel?

Kar, Tuhan udah baik banget kirim dua pria baik yang terima kamu apa adanya. Satu udah kamu tolak, apa yang ini juga mau kamu tolak? Pria macam apa yang kamu inginkan untuk jadi suami dan bapak dari anak-anakmu?

Dialog itu berputar di kepalaku. Tapi itu bener. Pria macam apa yang aku inginkan untuk jadi suamiku dan bapak dari anak-anakku? Angga yang sangat perhatian dan sayang ke Aksa aja udah aku tolak. Sekarang Axel juga mau aku tolak? Nggak takut kalo nanti Tuhan kecewa dan kasih pria yang nggak kamu inginkan?

"Kasih aku waktu. Aku ingin memikirkannya dan berdiskusi sama Aksa juga." apa aku terkesan kasih harapan ke Axel dengan ucapan seperti itu? Aku harap sih nggak.

"Thank you." hanya mendengar jawabanku tadi aja Axel udah sumringah banget.

Kayak aku udah angkat beban berat dipundaknya. Padahal aku nggak ngapa-ngapain.

***

Hal pertama yang aku lakukan ketika sampai apartemen adalah menemui Angga. Tentu aja aku mau minta penjelasan dari dia. Jelas dong Angga pasti tahu tentang apa yang terjadi hari ini. Kalo dia nggak tahu, pasti tadi dia juga nemuin Axel di meja.

"You home." sambutan yang sangat mengesankan bukan?

"Aku butuh penjelasan." todongku langsung.

"For?" sepertinya ada yang pura-pura polos.

Aku mendekat ke arah Angga duduk. Meski terlihat tenang, tapi sebenarnya Angga nggak setenang itu. Pengalaman mengajariku membaca Angga.

"About what happened at the restaurant." jawabku sejelas mungkin.

Angga menganggukkan kepala dan menatapku dengan wajah yang berbeda. Apa ya? Terlihat tenang tapi juga bersemangat gitu. Apalagi ada senyum yang bisa dikatakan licik tergambar jelas di wajahnya.

"Jangan macam-macam. Aku bisa berbuat hal yang diluar dugaan." ancamku penuh percaya diri.

"I know. Just wanna see you closer."

Untuk sesaat fokusku lebih ke Angga. Memperhatikan setiap inci wajahnya. Wajah yang dulu terlihat menyeramkan dan nyebelin. Sekarang juga masih sama sih, tapi jelas udah beda. Dia nggak semenyeramkan itu. Memang tampan, bahkan semakin tampan.

"He met me, then asked me to stay away from you. But I can't, because Aksa is among us."

"You don't lie?" tanyaku memastikan. Angga menggeleng.

Diam dan memikirkan apa yang Angga ucapkan itu nggak mudah. Otakku berusaha mempercayainya, tapi hati rasanya belum bisa percaya begitu aja. Kalau aku nggak percaya sama Angga, aku harus percaya sama siapa? Secara Angga itu segalanya bagiku.

"You love each other, what else?" tanya Angga balik.

Ini nggak semudah itu. Kami memang saling mencintai, mungkin. Tapi ada jurang tak kasat mata yang ada diantara kami. Seperti yang udah aku bilang ke Axel, dia mungkin nggak masalah sama statusku, tapi keluarganya jelas akan mempermasalahkannya. Kalo nggak sekarang ya nanti.

"Not that simple." ucapku sembari menghela napas.

"Ya, but worth to try."

Worth to try? Pertanyaan selanjutnya adalah, apa aku siap terluka?

Ah, elo, Kar, kebanyakan mikir!

"How about Aksa?"

Logis banget kalo aku harus menyertakan Aksa dalam setiap pilihan yang akan aku ambil. Semua pasti akan berdampak sama Aksa. Entah itu dampak positif maupun negatif.

"You can explain to Aksa. That new people will come into your life. It definitely takes time to prepare everything, right?"

Ya, pasti butuh banyak waktu untuk mempersiapkannya. Entah berapa lama waktu yang dibutuhkan, yang jelas aku harus membicarakan ini ke Aksa.

"Will you help me?" tanpa pikir panjang, Angga menganggukkan kepalanya.

***

Terlihat seperti sidang ya. Dimana Aksa adalah tersangkanya, aku adalah penuntut umum, dan angga sebagai hakim.

Aku menceritakan dan menjelaskan situasi yang sedang terjadi. Berharap Aksa yang udah berumur tujuh tahun bisa dengan mudah menerima informasi ini dan bisa berpikir rasional.

"Does that mean I'll never see Daddy again?" suara Aksa setelah diam cukup lama.

"No. Of course no. You can still meet Daddy. But Mommy wouldn't stay with if Daddy was around. because Mommy already have Uncle Axel." jelasku sejelas mungkin.

Aksa kayak yang mikir serius gitu. Nggak tahu juga apa yang dia pikirin. Setelahnya, dia menghela napas panjang dan lalu menganggukkan kepala.

"As long as you happy." hanya itu yang Aksa ucapkan.

Bingung dong ya aku harus gimana. Jelas dia nggak iklas gitu. Langsung aja aku lirik Angga, minta bantuan dia buat jelasin. Bukan kayak gitu yang aku mau. Kalo aku bahagia, dia juga harus bahagia.

Sayangnya si Bapak Muda yang mukanya datar itu cuma diem aja. Bahkan setelah aku kode pake kedipan mata juga dia masih diem aja.

"Leave us." akhirnya Angga ngomong. Tapi kok aku diusir?

"Tapi, Ang, aku ..."

"Leave us." Angga langsung motong ucapanku yang bahkan belum kelar.

Ya kalo udah sampe ngomong dua kali, itu artinya emang aku harus pergi. Meski nggak iklas, aku tetep keluar dari kamar Aksa.

Di luar, Tika yang lagi sibuk beberes dapur langsung menyadari kedatanganku. "Kok kusut gitu, Mbak?"

"Nggak tau ah, Tik, pusing. Pengen kayak orang normal aja deh aku rasanya."

"Emang orang normal gimana mbak?" bener juga sih pertanyaan Tika. Orang normal kayak apa?

"Ya intinya nggak ribet gini." jawabku.

Tika lanjutin kerjaannya yang sebenernya udah kelar. Tinggal rapihin sama masukin ke kabinet aja. Dari pada bengong, aku milih bantuin Tika. Yah itung-itung sambil gerakin badan.

"Semua orang punya masalah, Mbak, cuma kadarnya aja yang beda."

Tika umurnya setahun dibawahku, dia juga nggak punya pendidikan tinggi. Lulus SMP dia langsung kerja karena bantuin ibunya. Bapak dia kabur sama istri mudahnya, bikin Tika terpaksa nggak lanjut sekolah. Tapi Tika adalah orang yang berpikiran dewasa.

Meski kadang nggak nyangka aja Tika bisa sedewasa itu. Karena biasanya dia kayak anak kecil. Kebanyakan main sama Aksa kayaknya. Tapi Tika is Tika, Santika yang polos dan kucel karena nggak bisa rawat wajah itu sekarang menjelma jadi cewe cantik yang bisa bikin banyak cowo klepek-klepek.

"Tik, kapan mau nikah?" pertanyaanku melenceng jauh.

"Kenapa, Mbak?"

"Kalo udah nikah biasanya nggak mau kerja lagi, jadi aku kudu persiapan nyari orang buat jagain Aksa." jawabku.

"Sama adiknya Aksa?" jelas Tika godanya nggak kira-kira.