Liburan bareng sahabat emang nggak ada tandingannya. Kami nganter Tika pulang ke rumahnya, kami juga nginep disana semalam sebelum akhirnya balik ke apartemen. Angga jadi supir kami, karena memang mengemudi itu sebenarnya melelahkan.
"Itu laki konsisten banget mukanya datar." ejekan Selly sebenernya cukup lantang. Dia nggak khawatir Angga bakal denger atau nggak. Karena emang Angga nggak pernah mau mikirin omongan orang tentang dirinya.
"Justru itu daya tariknya." balasku sembari menepuk paha Selly pelan.
"Alah, bilang aja lo belum bisa move on."
Belum bisa move on? Sebenernya nggak juga. Aku udah iklas kalo pada akhirnya Angga punya pacar. Bahkan aku sangat mendukung Angga yang kayaknya lagi ngejar Kaluna. Siapapun nanti cewe yang bakal jadi istri Angga, aku setuju. Asal dia bisa membahagiakan Angga sepenuhnya.
"Gue udah move on, cuma belum nemu penggantinya aja." sahutku.
"Apa masih kebayang goyangan si abang?" nih orang bisaan aja kalo godain orang.
Aku otomatis langsung membekap mulut Selly. Jelas dong ucapan Selly nggak bener, mana ada Aksa lagi. Nanti kalo Aksa tanya gimana? Orang liat aku sama Angga ciuman aja udah bingung gimana jelasinnya. Ini malah bahas hal yang makin menjurus.
"Mulut dijaga, Sis, ada anak kecil disini." omelku ke Selly.
"Anak lo juga nggak paham sama apa yang kita bahas."
"I know what you are talking about." Aksa tiba-tiba aja nyaut dari depan.
"Yeah, Baby Bunny, you're too smart for a kid." Selly nggak mau kalah.
Perjalanan balik ke kota jadi rame karena baik Selly maupun Aksa nggak ada yang mau ngalah. Mereka ngotot dengan pendapat mereka masing-masing. Cukup nyambung kok mereka adu pendapatnya, meski Aksa tetep pake bahasa Ingggrisnya, dan Selly nggak mau ladenin Aksa pake bahasa Inggris. Si supir? Dia khidmad aja gitu nyetirnya. Seolah-olah nggak ada apapun yang terjadi disekitarnya.
Kami memutuskan seminggu berada di Jogja. Angga jelas nggak bisa lama stay disini, karena pekerjaan jelas menanti. Cuma tiga hari doang dia bertahan di Jogja dan main. Intinya selama ada di Jogja, Aksa lebih banyak main sama Angga. Well, biasanya juga gitu sih.
Kesempatan ini aku gunain buat kemana aja sesuka hati. Berkeliling kota sampe bensin habis, atau jalan kaki kemana aja sampe kesasar. Untungnya ada GPS yang bisa diandalkan. Nggak usah takut kenapa-kenapa, karena ada pengawal bayangan yang selalu ngikutin aku kemana aja. Ya, fasilitas itu masih aku dapatkan dari Angga. Padahal aku udah protes dan bilang kalo nggak butuh.
Untungnya Angga ngeyel tetep kasih pengawal buat aku, jadi kalo keadaannya kayak gini tuh membantu banget.
Puas jalan-jalan, aku memutuskan balik. Nggak beli apa-apa juga. Tujuannya juga cuma buat bikin badan capek aja sih. Segala oleh-oleh udah beli, karena cuma dikit aja yang mau dibagi. Paling cuma tetangga kiri kanan aja. Itu juga kalo ketemu sih. Maklum, tinggal di apartemen, jadi jarang ketemu sama tetangga.
***
Selesai liburan, saatnya kembali ke aktifitas seperti biasanya.
Aksa mulai homeschooling lagi. Ya kayak biasanya aja sih. Nothing spesial.
Yang masih sama tuh Axel. Dia masih sama nggak berniat hubungin aku buat kasih kabar atau apapun. Bahkan dia juga nggak chat aku atau tanya kenapa aku telepon dia. Yah, jadi sedih lagi deh aku.
Hari ini, guru Aksa ngajakin belajar di taman bawah. Mumpung matahari lagi hangat karena semalam abis turun hujan. Guru Aksa tuh orang Indonesia, tapi dia penyuka matahari. Jadi ketika orang-orang sibuk berlindung dari matahari, dia malah akan show off. Nggak takut item deh pokoknya.
Buat Aksa juga itu nggak masalah. Karena Aksa juga kulitnya nggak seitem aku. Padahal bapak biang dia juga kulitnya biasa aja, tapi kok di Aksa malah beda ya? Curiga aja kalo ada keluarga Alif yang punya keturunan bule.
Hampir jam 12 siang, tapi belum ada tanda-tanda Aksa bakal balik sama gurunya. Biasanya sih gurunya nganter Aksa balik ke apartemen kalo ngajakin kemana aja. Padahal seharusnya Aksa udah kelar belajarnya dari tadi jam 11 siang lho.
"Kok tumben Aksa belum balik, Mbak? Bukannya biasa udah disini ya jam segini?" pertanyaan Tika membuatku semakin penasaran.
"Coba aku telepon gurunya dulu." kataku, seraya memeriksa HP. Siapa tahu kan guru Aksa kasih kabar tapi aku nggak baca.
Nihil, nggak ada pesan ataupun telepon dari sang guru. Ditelepon juga nggak diangkat. Dikirim pesan juga nggak dibaca. Tumben aja telat tapi nggak ada kabar. Mana Aksa biasanya bawa HP juga ini nggak bawa. Duh, bikin khawatir aja.
HP bunyi, gurunya Aksa yang telepon. "Ada apa, Mama Aksa?"
"Kok belum balik ya, Miss? Bukannya harusnya udah kelar belajarnya?" tanyaku langsung.
"Iya, memang sudah selesai. Tadi nggak angkat telepon karena lagi di jalan." jawab Miss Amy, guru matematika Aksa.
"Aksara sama Miss sekarang?"
"Nggak, Mama Aksa, saya sudah sampai rumah."
Deg! Jantungku rasanya langsung copot dan jatuh ke lantai gitu aja. Kalau Aksa nggak sama Miss Amy, terus Aksa sama siapa?
"Aksa belum sampai rumah, Miss. Tadi Tika cari di taman juga nggak ada." balasku sedikit panik.
"Tadi Aksa ketemu sama Uncle-nya di lobby apartemen, Mama Aksa. Terus katanya mau pergi sama Uncle-nya. Belum ngabarin ya?" suara Miss Amy kedengeran khawatir juga.
"Uncle yang mana ya, Miss?" agak aneh aja aku malah tanya 'Uncle' ke Miss Amy. Bisa dipastikan guru Aksa ini nggak tahu lah.
"Yang tinggi, agak sipit. Tangannya ada tatonya."
Otakku langsung mikir cepet. Siapa orang terdekatku yang tangannya ada tatonya. Jelas bukan Dwiki, karena sama jarum aja dia takut, gimana mau punya tato coba? Juga bukan Angga, karena dia nggak ada tato di tangan.
"Oke, Miss, terima kasih." aku langsung menutup telepon.
Aku panik dan takut. Gimana kalo Aksa diculik?
Tika yang datang sendirian balik ke unit juga makin bikin aku panik. Harusnya kan Tika balik sama Aksa?
"Kita ke bagian keamanan aja, Mbak, minta liat rekaman cctv."
Untung ada Tika yang masih bisa mikir dengan baik. Ya, itu satu-satunya cara aku bisa nemuin Aksa pergi sama siapa. Kami berdua langsung turun ke bagian keamanan dan minta rekaman cctv sekitaran jam 11 siang.
Miss Amy nggak bohong. Dia memang mau mengantar Aksa naik ke unit, tapi dicegat sama seseorang. Wajahnya nggak keliatan karena dia pake topi. Tapi badan dia tuh nggak asing buatku. Kayak aku pernah ketemu aja sama dia. Tapi siapa itu orang?
Security masih sibuk buat bantuin kami menemukan Aksa. Dari rekaman, ternyata orang itu udah ada di gedung ini sejak pagi. Dia bahkan nungguin Aksa belajar, dan baru beraksi ketika Miss Amy mau nganterin Aksa pulang.
Melihat itu semua, air mataku udah ngalir tanpa terkendali. Jelas banget aku takut terjadi sesuatu sama Aksa. Ini bisa dibilang penculikan kan? Aku nggak peduli apa motifnya, tapi aku berharap Aksa nggak celaka. Semoga dia baik-baik aja, Tuhan. Tolong lindungi Aksa.
Hampir sore dan masih belum ada tanda-tanda kabar Aksa. Aku hampir telepon Angga, tapi masih nunggu, siapa tahu nanti orang itu balik buat pulangin Aksa. Kalau dilihat dari pakaiannya sih kayaknya dia bukan orang jahat.
"Bu, ada telepon dari resepsionis, katanya ditunggu putranya di depan unit." informasi ini bikin aku makin nggak karuan.
"Maksudnya?" tanyaku untuk meyakinkan diri bahwa ini berarti ada angin segar.
"Tadi barusan resepsionis ngabarin, kalau ada yang telepon dan bilang putranya di depan unit."
Begitu yakin dengan apa yang aku denger, aku langsung lari menuju lift. Tika mengikutiku tanpa basa basi. Lift rasanya bergerak lambat ketika membawa kami ke lantai 10.
Lift terbuka, dan aku melihat Aksa berdiri di depan unit kami. Dia masih pake tasnya yang tadi pagi. Bajunya juga masih sama seperti ketika dia ninggalin unit buat belajar sama Miss Amy. Aku langsung peluk Aksa begitu kami saling berhadapan. Rasanya kayak dapet hujan ditempat yang udah lama kemarau. Adem dan menenangkan aja gitu.
"Mommy khawatir kamu tiba-tiba pergi gitu aja. Kenapa nggak kasih Mommy kabar?"
"Mom, I just go for a moment." Aksa yang dewasa memang jadinya nyebelin kayak Angga.
"Don't do this again." balasku masih nangis.