Aksa baik-baik aja. Dia berhasil selamat meski efek buruknya terjadi. Setiap kali terpapar alergen, tubuh Aksa akan kehilangan kendali. Dia nggak bisa gerakin badannya untuk sesaat. Memang hanya untuk sesaat, tapi tetap harus ada tindakan biar gerak Aksa nggak memburuk.
Hampir tengah malam Aksa baru dipindahin ke ruang rawat.
Tika udah disuruh pulang sama Angga, tentu aja diantar sama Deano. Setelahnya Deano nggak kembali ke rumah sakit. Sekarang tinggal aku sama Angga, tentu aja masih ada Axel.
Angga nggak ngijinin aku masuk ke ruang rawat sampai aku menjelaskan semuanya ke Axel. Karena kayaknya Angga nggak suka banget sama Axel. Aku mau jelasin, tapi bingung kudu jelasin dari mana. Dan apakah Axel akan menerima penjelasanku dengan pikiran yang terang?
"Aku minta maaf karena udah bikin kamu repot. Makasih karena kamu udah mau bantu aku." aku memulai pembicaraan.
"Siapa yang sakit? Kok kamu kayak gitu banget sedihnya?"
Aku berusaha menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan Axel. "Aksa, dia anakku. Dan laki-laki di dalam itu Daddy-nya Aksa."
Kelihatan banget Axel terkejut. Mungkin sekarang dia mikir ngajakin pacaran sama perempuan yang udah berkeluarga. Atau bisa juga dia mikir kalo aku udah bohongin dia karena nggak jujur sama statusku yang udah berkeluarga.
"Aku belum nikah. Aksa memang anakku, Angga memang Daddy-nya Aksa, tapi dia bukan suamiku. Kami berdua barengan membesarkan Aksa."
Ada ketakutan tersendiri ketika mengakuinya. Aku nggak malu mengakui masa laluku ataupun Aksara. Aku cuma takut Axel menjauh dariku, karena dia adalah pria pertama yang membuatku merasa nyaman setelah selama ini hanya berkutat sama Aksa dan kerjaan.
"Kenapa kalian nggak nikah?"
"Aku nggak mau hancurin masa depan orang. Angga berhak mendapatkan perempuan yang lebih baik dari aku. Yang nggak malu-maluin dia karena punya anak di luar nikah.'
"Tapi dia hancurin hidup kamu. Kamu terima aja gitu?"
"No, Angga bukan ayahnya Aksa. Dia malah selama ini yang bantuin aku buat ngurus Aksa. Angga bukan ayah biologis Aksa." ini pertama kalinya orang luar tahu fakta tentang ayah kandung Aksa. Nggak tahu kenapa juga aku bisa cerita ke Axel. Padahal aku aja nggak bisa cerita hal ini ke Dwiki.
"Axel, maaf karena membuat kamu merasa dibohongi, tapi aku benar-benar berterima kasih karena kamu punya perasaan spesial buatku. Maaf, kamu mending cari perempuan lain yang lebih baik." tambahku, sebelum Axel mengucapkan apapun yang bikin aku makin sakit hati.
Aku masih nangis sekarang. Rasanya sakit banget hatiku.
Tiba-tiba aja Axel peluk aku. Aku nggak tahu sih maksud dia lakuin ini semua apa. Tapi yang jelas, aku merasa tenang dan nyaman berada dipelukan Axel. Lebih tenang dan nyaman daripada pelukan Angga.
You can call me bitch!
"Makasih kamu udah mau cerita hal ini. Tapi aku nggak akan berubah pikiran." ucapan Axel jelas bikin aku makin nangis.
Jujur, aku nggak tahu apa niatan Axel yang sebenarnya. Kalo memang cuma pengen nyakitin aku, dia udah lakuin hal itu. Dan sakitnya tuh berasa banget. Tapi kalo Axel memang serius, aku nggak tahu harus gimana menanggapinya.
***
Marahnya Angga tuh cuma diem aja. Dia nggak ngomong ataupun bentak aku. Dia cuma diem aja, dan menurutku itu lebih serem ketimbang dia ngamuk-ngamuk gitu.
"Keluar dari pekerjaanmu, sekarang!" hanya itu yang dia ucapkan.
Nggak ada yang bisa aku lakukan saat ini kecuali nurutin apa maunya Angga. Aku juga harus fokus sama penyembuhan Aksa, karena pasti nggak akan mudah kalo aku cuma serahin Aksa ke perawat atau Tika.
Untuk Axel, kami masih saling komunikasi. Dia juga beberapa kali menjenguk Aksa di rumah sakit. Yang tentu aja langsung dapat tatapan penuh selidik dari Aksa. Axel bersikap biasa aja, tapi aku justru jadi khawatir.
"Angga minta aku resign." kataku, ketika kami sedang menikmati kopi di kantin rumah sakit.
"Kenapa?"
"Aku diminta fokus ke Aksa dulu. Karena penyembuhan Aksa juga nggak sebentar." jawabku.
"Kalo gitu, nikah sama aku. Biar aku yang urus semuanya." kaget dong denger ucapan Axel.
Padahal kemarin aku baru aja nolak dia buat jadi pacarku, tapi hari berikutnya dia malah minta aku buat jadi istrinya. Ini serius?
"Kamu bercanda? Kalo iya, nggak lucu." balasku sedikit sinis.
Axel gelengin kepalanya. Matanya natap aku dengan penuh keseriusan. "Aku serius. Ayo nikah dan kita rawat Aksa bareng. Kita juga bisa kasih adik ke Aksa."
"Axel, aku udah bilang kalo itu mustahil. Aku nggak mau kamu kesulitan cuma gara-gara aku."
"Kesulitan gimana?" Axel malah balik bertanya. Harusnya kan dia tahu apa yang aku maksud, karena aku udah kasih contoh real, Angga.
"Yang kamu ajak nikah tuh cewe single yang udah punya anak tapi nggak ada suami atau status pernikahan sebelumnya. Apa kata orang kalo mereka tahu? Janda aja image-nya udah buruk banget, apalagi single tapi punya anak?" jawabanku harusnya bisa bikin Axel sadar dong ya.
"Aku nggak peduli. Aku justru kagum sama kamu karena kamu membesarkan Aksa sendiri. Yah, walo ada Angga sih."
"Kamu baik-baik aja, tapi nggak dengan keluargamu dan orang sekitarmu. Aku juga nggak mau Aksa harus terima omongan yang nggak baik tentangnya." aku masih ngotot nggak mau menerima Axel.
Bagiku, orang sebaik Angga dan Axel layak mendapatkan perempuan yang lebih baik dari aku. Meski aku nggak tahu ukuran baik itu seperti apa. Yang jelas perempuan itu harus bisa menjaga dirinya. Intinya, mereka nggak boleh seperti aku.
"Angga aja bisa sabar nunggu tujuh tahun, kenapa aku nggak?" Axel berucap dengan penuh keyakinan. "Aku akan nunggu kamu, sampai kamu mau menerima lamaranku."
Ada tekad yang kuat ketika Axel mengatakan hal itu. Sama seperti Angga bertahun-tahun yang lalu ketika dia melamarku untuk terakhir kalinya. Jujur, aku sangat bersyukur dikelilingi oleh pria yang sayang padaku dan Aksa. Aku berterima kasih kepada mereka karena mereka mau menerimaku tanpa mengungkit kesalahanku dimasa lalu. Tapi yang jelas, aku tetep nggak mau mereka menderita karena aku.
Setelah pembicaraan itu, Axel nggak nemuin aku. Itu jalan yang terbaik, mumpung Aksa juga belum kenal siapa Axel. Jadi cuma aku yang rasain sakit hati ditinggal. Tapi, jauh di lubuk hatiku, aku merasa kehilangan. Sosok Axel yang selalu ada disampingku hilang begitu aja, membuat hatiku rasanya hampa.
"Mommy, you okay? You look sad." pertanyaan Aksa membuatku sadar kalau sekarang aku lagi sama dia.
Aksa udah pulang ke rumah. Dia mulai terapi untuk bisa gerak lagi seperti sedia kala. Untungnya kali ini kelumpuhan Aksa nggak parah, jadi beberapa kali terapi aja udah bisa gerak seperti biasa.
"No, Mommy happy you home." jawabku.
"You look sad. Why? Did he hurt you?" tanya Aksa dengan wajah seriusnya.
"Who do you mean with him?" tanyaku penasaran.
"Axel Moi, of course." kaget dong ya denger jawaban Aksa.
Kenapa dia bisa menyebutkan nama Axel? Siapa yang mempengaruhi dia untuk menyebut nama Axel dan menjadi biang keladi dari campur aduknya perasaanku?
"Kenapa kamu menyebut nama Uncle Axel? Memangnya dia kenapa?"
"I don't know. I think Mommy likes Uncle Axel. Your eyes tell everything."
Aku jadi gelagapan denger ucapan Aksa. Anakku baru tujuh tahun kayaknya, tapi kok udah bisa ngomong kayak gitu? Siapa yang ngajarin? Ya ampun, banyak banget hal yang aku lewatkan tentang tumbuh kembang Aksara.
"If this feels so hard, Mommy can hug me and lean on my shoulder." aku terharu mendengar ucapan Aksa.
Anak kecil yang aku lahirkan ternyata udah bisa ngomong kayak gitu. Dan aku nggak tahu. Padahal dulu Aksa cuma onggokan daging yang nggak bisa apa-apa. Bahkan untuk makan aja dia cuma bisa asi dariku aja. Sekarang, dia udah segede ini.
Tanpa terasa air mataku ngalir. Terharu aja, menyadari bahwa Aksa udah bisa sedewasa itu. Padahal aku berharap Aksa selalu jadi anak kecil yang apa-apa kudu emaknya. Aksa yang nggak bisa ambil gelas di rak tinggi. Aksa yang kudu dibantu buat pencetin pasta gigi kalau mau sikat gigi. Atau Aksa yang kesulitan pasang tali sepatu terus akhirnya marah sendiri.
"Don't worry, I'm here." tepukan tangan kecil Aksa di pundakku bikin aku makin terharu.
"Mommy love you so much." ucapku mantap.