Chereads / Flat Face [END] / Chapter 24 - Flat Face 24

Chapter 24 - Flat Face 24

Pembicaraan kami waktu itu nggak selesai. Dan nggak akan pernah selesai. Satu hal yang pasti, aku tetep lamar pekerjaan dan memulai sesuatu yang baru.

Setelah melalui proses melamar dan wawancara, akhirnya aku diterima di sebuah perusahaan yang cukup oke kalo kata Merry.

Itu bukan sekali lamar ya. Totalnya ada sembilan perusahaan yang menolakku, sebelum akhirnya aku diterima. Angga juga nggak bantu aku untuk dapatkan pekerjaan ini. Jadi, ini semua murni usahaku sendiri.

Tentu aja aku bangga sama diriku sendiri. Dan bisa membuktikan kepada semua orang, kalo aku nggak cuma bisa bergantung sama Angga. Aku bisa berusaha sendiri dan berdiri di kakiku sendiri.

Kantornya berlokasi di Jakarta, aku harus memboyong Aksa kesana. Sempet khawatir Tika nggak bisa dan nggak mau ikut pindah, tapi akhirnya dia setuju untuk ikut. Dengan berbagai penyesuaian termasuk masalah gaji.

Seperti yang aku bilang, kalo gajiku aja mungkin nggak akan bisa buat gaji Tika, tapi nggak papa. Paling nggak aku berusaha mandiri.

Setiap hari aku berangkat jam 7 pagi, karena aku belum terbiasa menggunakan kendaraan pribadi. Angga lagi-lagi kasih kemudahan dengan memberiku supir pribadi. Tapi dengan tegas aku menolaknya. Ya kali pegawai remeh kek aku udah pake supir?

"Kamu akan diikuti pengawal pribadi untuk memastikan keselamatanmu." begitulah ucapan Angga kira-kira, ketika aku menolak supir pribadi itu.

Sumpah! Angga tuh kadang lebay-nya nggak kira-kira banget. Helo, aku cuma mau berangkat kerja, bukan mau berperang. Aku juga bukan orang terkenal atau penting. Nggak akan ada yang culik aku di jalan. Tapi seperti biasa, aku nggak bisa nolak.

Mau nolak juga gimana caranya? Orang sampai detik ini aku nggak tahu siapa dan seperti apa rupa pengawal pribadiku. Dia berkamuflase dengan sangat baik.

Untuk Aksa, dia akan seharian di rumah sama Tika. Biar Aksa nggak bosen di rumah, Angga memutuskan memasukkan Aksa ke playgroup. Tempat Aksa main juga nggak main-main. Biayanya bisa berkali lipat gajiku.

Oke, aku ngikut aja, toh dia yang keluar duit kan. Jadi nggak masalah, selama abang seneng.

Awalnya sih oke, tapi lama-lama nggak oke. Berangkat pagi pulang malam nyatanya nggak gampang. Aksa selalu rewel ketika aku balik, padahal kata Tika dia being nice selama sama Tika seharian.

Badan capek tapi anak malah rewel jelas nggak bagus. Aksa sering kena marah padahal dia cuma minta hal yang sepele. Aku tahu aku salah, tapi kadang suka nggak kekontrol gitu marahnya.

Seperti biasa, tuh anak lapor sama biangnya. Aku kena damprat karena bertingkah macam ibu tiri. Ya gimana? Nggak mungkin juga kan aku keluar kerja padahal baru sebulan.

Akhirnya aku diskusi sama Aksa. Apa mau dia dan gimana harus bersikap. Aku juga kasih pengertian ke dia tentang kondisiku. Sumpah, ini berat banget untuk bisa mencapai kata sepakat sama Aksa. Dia baru tiga tahun kuy, belum begitu ngerti dengan apa yang terjadi sama emaknya.

Proses perjuangan memang nggak akan berkhianat. Paling nggak butuh waktu lebih dari lima bulan sampai kami nemu formula yang tepat.

Aku ajak Aksa bangun lebih awal biar kami bisa morning routine bareng. Nanti pas aku berangkat kerja, paling nggak dia kesentuh sama aku. Siang di sekolahnya, sore sama Tika. Malam, aku biasa sampe apartemen sekitar jam 8 malam. Itu juga paling cepet. Aksa yang udah tidur siang jelas matanya masih berbinar, time to play with Mommy.

Dengan begitu Aksa tetap dapat waktu sama aku, dan peranku sebagai ibu juga nggak langsung ilang gitu aja. Good job for us, kataku ke Aksa.

***

Adaptasi di tempet kerja tuh nggak gampang. Memang masih muda, tantangannya juga nggak main-main, Hyung.

Disini, senioritas masih marak terjadi. Mereka selalu aja nyuruh kami yang masih junior buat lakuin apa aja, termasuk beresin meja senior dan juga fotokopi berkas. Padahal udah ada tugasnya masing-masing.

Aku juga kebagian kok di kerjain sama senior. Pas lagi mau meeting, aku harus bikin draft laporan, nanti bakal dipresentasikan. Matilah, mana aku nggak paham sama materinya. Mau asal bikin juga nggak enak kan. Akhirnya begadang dong ya, karena paginya mau dipake.

Masalah datang karena ternyata apa yang aku bikin nggak sesuai sama apa yang diharapkan. Mana udah masuk waktunya presentasi.

Semua tim kena damprat. Dan yang lebih parahnya, para senior bilang kalo itu kerjaanku. Aku menyanggupi untuk bikin materi presentasi itu. Padahal katanya mereka udah ngarahin aku buat lakuin yang lain.

Yang bisa aku lakuin cuma nangis. Rasanya pengen resign dari sana saat itu juga. Ngomong sama Angga kalo aku dizolimi sama senior, biar mereka nggak bisa semena-mena.

Kalo dipikir-pikir lagi, kalo aku cerita dan Angga turun tangan, dimana letak mandiriku? Aku ngotot kerja buat bisa mandiri, tapi kenyataannya malah ngerepotin Angga lagi. Sama aja Maemunah!

"It's okay, Kara, you can do this." kataku menyemangati diri sendiri. Tentu aja setelah puas nangis.

Penindasan masih terus berlanjut. Nggak tahu gimana caranya buat ngelawan secara halus tapi efeknya ngena. Berhari-hari lho aku mikirnya.

Makin lama makin ngerasa kalau aku memang jadi objek penindasan. Hanya karena aku satu-satunya perempuan yang masuk di tim itu. Padahal kemampuanku nggak kalah jauh dari yang lain.

Sembari mikirin gimana caranya lepas dari penindasan, aku juga mikir gimana caranya dapet pacar. Ya ampun, sejak hamil Aksa, aku nggak pernah kepikiran buat pacaran lagi. Rasanya gugup tiap kali ada cowo yang berusaha mendekatiku.

Nggak kepedean ya itu, tapi emang bener. Bahkan untuk sekedar ngobrol santai aja aku gugup. Pokoknya kayak anak perawan yang lagi pertama kali deket sama cowo aja gitu. Yeah, nggak usah debat sama kata perawan, karena itu hanya perumpamaan.

Tapi, emang ada cowo yang mau nerima aku apa adanya? Yang statusnya masih single tapi udah punya anak? Selain Angga ya, karena jelas dia bakal terima aku apa adanya.

Padahal baru aja mau ambil langkah maju, eh kenyataan pahit bikin aku mundur lagi. Oke, mending emang lupain aja masalah pacaran, biar fokus ke kerjaan dulu.

Dan itu emang aku lakuin. Fokus kerja dan juga ngurus Aksa.

Kalo dibilang sombong karena nolak beberapa cowo yang mendekatiku sih nggak juga. Aku juga nggak tahu gimana mereka, apa mereka serius sama aku atau cuma buat seneng-seneng aja. Memang sih, harusnya masa sekarang seusiaku itu lagi masanya menikmati hidup kan? Tapi aku nggak kepikiran sampai kesana, karena ada Aksa.

Bukan berarti aku nggak menikmati hidup. Aku bahkan sangat menikmati hidup bareng sama Aksa dan Angga. Sampai rasanya aku nggak mau kehilangan mereka.

Jadi, untuk saat ini memang aku akan menikmati hidupku dengan caraku sendiri. Kalau orang lain seusiaku mungkin akan lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah dengan nongkrong atau kumpul gitu, aku lebih milih pulang dan main sama Aksa. Banyak yang nanya, kenapa aku nggak pernah mau gabung sama mereka. Bukan nggak mau gabung, tapi memang prioritasku berbeda dengan mereka. Kadang sih ngikut gabung juga, karena aku juga butuh bersosialisasi sama mereka, tapi nggak yang sampai segitunya.