"Why?" pertanyaan Angga jelas bikin aku nggak napsu lagi sama black forest yang ada di hadapanku. Padahal aku udah sengaja puasa demi bisa makan kue favoritku.
"Privasi." jawabku singkat. Meski bukan itu juga sih alasannya.
Aku sebelumnya lagi cerita sama Angga tentang apa yang kami bicarakan tadi. Yang kata Angga 'girls talk'.
"What afraid of?"
Kadang aku berpikir kalo Angga tuh punya semacam keahlian atau indera keenam. Dia kayak bisa baca pikiranku dan tebakannya selalu bener.
Kalau boleh jujur, aku takut mereka bakal mikir yang aneh tentang aku. Ya walaupun sebenernya itu udah biasa juga sih selama beberapa tahun terakhir ini, tapi aku tetep nggak mau teman terdekatku berpikir kayak gitu.
Kara hamil sama laki-laki lain, tapi tinggal sama laki-laki lainnya. Udah hamil diluar nikah, nggak dinikahin, eh sekarang malah kumpul kebo.
Pemikiran kotor itu terus aja berputar diotakku. Padahal kalo boleh jujur, sebenernya yang berpikir buruk itu aku. Aku malah nuduh mereka akan berpikir seperti itu. Apa kenyataannya bakal gitu juga?
"Just afraid." jawabku singkat. Nih lama-lama aku jadi kayak Angga ya, ngomong singkat-singkat gini.
Hal lain yang bikin aku nggak mau jujur soal Aksa ke mereka karena aku takut masa depan Aksa jadi kacau. Kalau orang-orang pada tahu tentang Aksa, dan ketika anak itu udah paham apa yang dimaksud sama orang-orang, nanti malah bikin dia down. Aku nggak mau hal itu terjadi.
Lagi, aku mulai berpikir kayak Angga. Tentang privasi.
Aku masih main sosial media, tapi aku nggak pernah sekalipun upload wajah Aksa disana. Kalo memang ada Aksa, aku lebih milih nutupin wajah Aksa pakai stiker atau apapun itu.
Ya, aku takut Aksa akan minder kalo tahu asal usulnya. Apalagi netijen tuh kalo nyinyir suka nggak pake otak. Entah itu bener atau nggak, yang penting nyablak aja dulu.
"Do what you wanna do. You know what best for Aksara." ya, aku hanya butuh kalimat dukungan itu aja dari Angga.
Setiap Angga mendukungku ataupun mencurahkan kasih sayangnya buat aku, rasanya aku nggak bisa menahan diri. Bawaannya pengen gigit bibir Angga yang menggoda itu. Oke, call me bitch for that.
Dan sialnya aku nggak pernah malu-malu kalo sama Angga. Pengen ya lakuin. Terjang aja kayak nggak ada hambatan.
Naik ke pangkuan Angga, aku mulai melakukan apa yang memang ingin aku lakukan. Mencium bibir Angga dan juga menggigitnya. Menikmati aroma napas Angga yang menyenangkan.
Kayaknya harus ada aturan di apartemen ini, biar kami nggak kelewat batas. Padahal ini masih di ruang tengah lho, tapi aku main hajar aja. Ya gimana, mumpung Aksa udah tidur. Tika juga udah ngurung diri di kamarnya.
"Mommy, you wanna kill Daddy?" teriakan itu kayak sengatan listrik. Aku otomatis melompat dan memisahkan diri dari Angga, lalu mendapati Aksa yang udah menampilkan wajah ketakutannya.
"Sweet heart, what you doing? Thristy?" aku mendekat dan langsung ditolak sama Aksa.
"Don't touch me. You bad, Mommy. You wanna kill Daddy."
Mataku langsung tertuju ke Angga yang masih stay cool di sofa. Oke, mungkin dia butuh waktu buat nenangin pikiran dan selangkangannya.
"No, Aksara. Mommy won't kill me. She just kiss me, because she loves me so much." oke, Daddy panutan mulai beraksi.
Angga mendekati Aksa, nggak ada penolakan buat Angga. Great, aku adalah ibu tiri disini.
"You sure? Not hurt?" Aksa khawatir banget kayaknya. Apalagi Aksa sekarang udah raba bibir Angga yang tadi aku gigit. Belum lagi lehernya.
Ya ampun, malu banget!
"Pretty sure. I'm fine." gendongan Angga selalu sukses bikin Aksa tenang. Dari jaman masih bayi orok sampai detik ini. "Why you wake up?"
"Thristy."
Mereka lalu mulai sibuk. Dengan telatennya Angga bikinin susu buat Aksa dan antar Aksa ke kamarnya. Temenim Aksa sampai bocil itu balik tidur lagi. Untung aja sih nggak ada adegan lebih yang diliat Aksa. Tapi tetep aja bikin deg-degan dan panik.
Pikiran buat iya-iya sama Angga langsung ilang gitu aja. Berganti dengan scrolling tentang gimana solusi kalo ketangkap basah sama anak pas lagi iya-iya.
***
Masih ada beberapa hal yang perlu aku urus di kampus. Karena Angga lagi cuti, jadi dia bisa temenin aku ke kampus. Angga juga inisiatif ajakin Aksa. Katanya biar dia punya suasana baru. Sekalian nanti mau makan siang bareng.
Ya nggak papa, asal dia bisa urus Aksa dan nggak gangguin aku urus beberapa hal ini. Biar cepet kelar aja sih.
Emang bener kok, Angga tanggung jawab. Dia urus Aksa sembari nungguin aku. Beberapa kali aku lihat dari atas, Angga sama Aksa lagi duduk di deket mobil sambil ngobrol.
Tentu aja mereka jadi pusat perhatian karena banyak yang lewat.
"Gila nggak sih tuh cowo. Udah ganteng, sayang anak lagi. Kayaknya juga kaya, kalo diliat dari penampilannya." komentar itu terdengar begitu aja. Belum tahu dia kalo tuh laki udah ada yang punya.
"Iya, tapi kayaknya dia lakinya si kakak tingkat deh."
Thanks to masker yang aku pake, jadi wajahku nggak keliatan. Bisa nguping apa aja yang mereka bahas tanpa ketahuan.
"Yang mana sih?"
"Itu, kating yang gosipnya kumpul kebo."
"Oh, si Kara-kara itu? Ya wajar sih mau kumpul kebo, orang yang miara juga kayak gitu."
"Simpenan ya sis."
Aku udah biasa diomongin kayak gitu. Dan sekarang pun aku merasa biasa aja. Sakit hati memang, tapi aku cuek aja. Seperti kata Angga, mereka nggak tahu yang sebenarnya terjadi.
"Iya, apalagi sekarang dia udah dapet mobil sama apartemen. Duit bulanan juga ditransfer mulu. Tapi jangan harap dia mau sama kalian." aku langsung nimbrung gitu aja.
Jelas banget kalo dua cewe itu kaget liat aku ada di belakang mereka. Nggak nyangka juga kalo orang yang mereka bahas ada di deket mereka.
"Kak." cuma itu yang mereka ucapkan, itupun dengan suara lirih.
Udah, nggak usah dibahas lagi mereka. Kalo Angga sampe tahu, nanti masalahnya bisa makin panjang.
Pas mau turun lewat tangga, aku ketemu sama Selly dan Merry. Mereka kayak yang udah nungguin aku gitu.
Memang nggak ada yang ngomong diantara kami bertiga, tapi kami sepakat untuk mencari tempat yang tenang agar bisa ngobrol.
"Anak lo namanya siapa? Dia ganteng." seperti biasa, Merry yang memulai.
"Aksa. He is a boy." jawabku.
"Kar, kami tahu kami salah. Can you just forgive us?"
"Gue udah maafin kalian. Jadi lupain aja masa lalu yang nggak enak itu."
Ditempatnya, Selly tiba-tiba nangis. Nangis gitu aja padahal dia belum ngomong apa-apa.
"Kar, maafin gue. Gue banyak salah sama lo. Seharusnya gue percaya sama lo dari awal, bukannya malah raguin lo. Maaf, gue bukan sahabat yang baik." Selly ngomong untuk pertama kalinya sejak kami duduk bareng.
"Itu masa lalu, Sel, nggak usah dibahas lagi. Toh sekarang lo tahu faktanya. Dan gue seneng lo baik-baik aja." hadeh, sok bijak banget ya aku.
"Bisa kita jadi temen kayak dulu lagi?"
"Bisa. Tapi gue nggak selonggar dulu." jawab gue sumringah.
Well, meski aku berusaha sok cool dihadapan mereka, tapi aku tetep aja bahagia kalo diajakin buat jadi temen lagi. Lagian, cuma mereka berdua yang bisa ngertiin gimana seorang Kartika Rani.
Kami berpelukan kayak teletubbies nggak jelas. Nggak papa dipandang aneh, yang penting baikan sama sahabat.
Setelah berbaikan, akhirnya aku mutusin untuk kenalin Aksa ke mereka. Aksa juga harus kenal dan tahu sama sahabat-sahabatku. Biar dia juga punya temen main lainnya. Nggak cuma aku sama Tika doang.
"Honey, I want you to meet my friends. My best friends." ucapku, ketika kami sudah deket sama Angga dan Aksa.
"Mommy, I miss you so much. I thought you forgot me." ya ampun, anak bayi kok bisa ngomong kayak gini?
"No way, Mommy nggak akan lupa sama kamu." ucapku sambil elus sayang Aksa. "So, you wanna meet them?"
Aksa langsung melongok kearah Selly dan Merry. Terlihat jelas kalo dia nggak begitu yakin, tapi juga nggak mau mundur.
"Hai Aksa, my name is Merry." Merry mengulurkan tangannya untuk bersalaman sama Aksa.
"You know my name?"
"Of course. Mommy told me."
"You can't call her with mommy. She's my mom."
Aksa yang pintar. Siapa coba yang ngajarin?
"You can call me Auntie Selly." giliran Selly yang maju dan memperkenalkan diri.
"I think I know you."