Chereads / Flat Face [END] / Chapter 15 - Flat Face 15

Chapter 15 - Flat Face 15

Angga menepati janjinya. Dia akan pulang setiap dua minggu sekali. Baginya, harga tiket bukan masalah selama dia bisa pulang dan ketemu sama aku. Apalagi sekarang ada orang lain yang menunggu kepulangan Angga.

Usia kandunganku sekarang 20 minggu. Bukan hal mudah untuk bisa bertahan sampai saat ini. Apalagi banyak orang yang selalu saja berkomentar nggak baik ke aku. Mereka akan memberi komentar tanpa aku minta ketika melihat aku yang belum menikah tapi sudah hamil. Ya, perutku sekarang udah buncit. Belum begitu besar memang, tapi sudah kelihatan kalau aku hamil.

"What was that?" Angga langsung menegakkan tubuhnya ketika merasakan sesuatu.

"Itu gerakan dia." ucapku sedikit bersemangat.

Itu adalah gerakan pertama yang terasa. Aku aja sampai kaget pas merasakan gerakan itu. Pelan dan lembut, tapi cukup bisa dirasakan. Apalagi Angga. Dia kayak yang takjub banget sama apa yang baru aja dia alami.

"Hey, Baby, is that you? Can you hear me?" jangan kaget kalo sekarang Angga banyak ngomong.

Sejak pertemuan terakhir dengan dokter dan disarankan untuk ngobrol sama janin meski masih dalam kandungan, Angga sering ngobrol sama si Bayi. Nggak cuma itu, dia juga jadi hobi banget elus perutku setiap dia pulang.

Mata Angga berkaca-kaca saking takjubnya. Berkali-kali pula aku mengucap syukur karena memiliki Angga disisiku. Disaat orang lain menghujatku, dia yang seharusnya paling membenciku, ternyata menjadi orang yang sangat mendukungku.

"Thank you, for being our side." ucapku tulus.

"Not free, actually." aku langsung tahu apa yang dimaksud Angga.

Ketika tahu bahwa berhubungan sex ketika hamil nggak dilarang, Angga benar-benar nggak menahan diri. I know, terdengar mengerikan karena kami masih melakukannya padahal aku lagi hamil anak orang lain. Tapi Angga nggak masalah.

Aku juga merasa nggak masalah. Mungkin Angga akan menganggap aku pemuas napsunya, aku juga nggak masalah. Kalau dengan cara ini bisa bikin Angga bahagia, aku akan melakukannya. Ini juga caraku untuk berterima kasih ke Angga, karena masih ada disampingku.

***

Kegigihan Angga untuk memintaku menikah dengannya masih terus berlanjut. Setiap pulang, dia akan bersikap sangat manis. Dia juga selalu memberikan apa yang aku butuhkan, tanpa aku minta.

Dan aku juga masih gigih menolak Angga. Seperti yang aku bilang sebelumnya, kalau aku nggak mau Angga berkorban untuk hal yang nggak dia lakuin. Masa depan Angga masih panjang, jalannya udah pasti terjamin. Jadi dia nggak perlu jadi orang bodoh dan terus mengejarku.

Hal itu masih terus berlangsung sampai usia kandunganku menginjak enam bulan. Yang artinya dalam waktu tiga bulan lagi aku akan melahirkan.

Hari itu, Angga bertanya apa yang ingin aku lakuin. Kami sedang berjemur di balkon apartemen, menikmati matahari pagi yang hangat. Kebetulan ini juga hari Minggu, dimana aku nggak kuliah.

"Gimana kalo kita makan udang?" itu adalah list makanan yang ingin aku makan saat ini. Sayangnya aku tahu Angga nggak akan pernah bisa makan itu.

"Oke. Where?" eh? Ini serius dia mengiyakan?

"Beach. Chef Dika cook for me." itu agak berlebihan sih sebenernya, tapi aku memang tergila-gila sama udang asam manis buatan Chef Dika.

Angga menganggukkan kepala. "For Dinner."

Dia lalu menelepon seseorang dan berkata dengan cepat. Biasanya sih sama Deano ya, soalnya pake bahasa asing yang nggak aku pahami. Nggak berapa lama, dia balik dan ngajakin aku untuk ke dokter.

Jangan heran kalo kami ke dokter di hari Minggu. Angga bisa mendapatkan apa aja yang dia mau, termasuk meminta dokter kandungan untuk datang ke rumah sakit cuma buat periksa aku doang. Padahal kan hari Minggu kebanyakan dokter libur, membuatku merasa tidak enak hati sama dokternya.

Keuntungan ini aku dapatkan karena koneksi Angga. Dia selalu bilang kalo aku cuma boleh periksa di NAR Hospital. Rumah sakit milik keluarga Angga. Tenang, kami tetep bayar kok.

Apalagi yang akan kami lakukan?

Sebenernya Angga udah gatel pengen belanja kebutuhan Baby. Dia berulang kali tanya pendapatku tentang barang-barang yang berhubungan sama Baby. Apalagi sekarang kami udah tahu jenis kelaminnya. Cowo.

"Mungkin cicil nggak masalah sih, Ang." kataku. Inget banget kalo ada pantangan nggak belanja barang bayi sebelum usia kandungan tujuh bulan. Pamali katanya.

Begitu dapet ijin dariku, dia langsung bawa aku ke pusat perbelanjaan. Kayaknya ada yang kalap belanja dong ya. Sampai-sampai apa yang dibeli harus dua biji. Sebagai contoh, dia beli car seat dua biji, alasannya biar nggak perlu pindahin carseat di mobil kami masing-masing. Stroller juga beli dua macam biar bisa bandingin mana yang lebih baik.

Kalau aku nggak ngeluh capek, mungkin Angga bakal borong semua barang yang ada di toko. Dia juga mungkin akan memeriksa dengan detail semua barang yang ada di toko ini.

Nggak tahu kenapa rasanya aku bahagia banget. Lihat Angga yang semangat banget menyambut anak ini. Padahal ini bukan anaknya. Nggak usah bahas bapaknya, karena aku memang udah nggak mau tahu tentang dia lagi. Beberapa kali ketemu juga dia berlagak cuek.

Kelar belanja, waktu udah jam 4 sore. Jadi kami langsung menuju ke pantai untuk menikmati makan malam. Yah, walaupun yang menikmati cuma aku doang, karena jelas Angga nggak bisa makan. Paling nggak nanti Angga bisa pesen makanan lainnya yang nggak terkontaminasi seafood.

Kaget aja Angga nyiapin ini semua. Ditengah kerumunan orang-orang yang mengunjungi pantai, ada satu spot yang terlihat istimewa. Meja itu ditata sedemikian rupa, juga ditambah lampu dan juga payung pantai yang cantik.

"Welcome." pelayan menyambut kami dan membimbing kami ke meja. Angga membantuku duduk di kursiku, lalu dia duduk di kursinya sendiri. "Ready for the appetizer?"

Kami mengangguk, dan si pelayan segera berlalu dari hadapan kami.

Matahari hampir terbenam, menyisakan warna oranye yang berpendar. Semilir angin dan deburan ombak menambah kesan istimewa untuk makan malam ini. Untungnya aku berpakaian sedikit hangat, kalo nggak, jelas aku cuma bakal masuk angin setelah pulang dari makan malam ini.

Pokoknya, makan malam ini melebihi ekspektasiku. Aku sangat bangga dan berterima kasih sama Angga karena telah menyiapkan semua ini.

"Ucapan makasih aja nggak cukup untuk malam ini. Ini melebihi ekspektasiku." ucapku tulus.

Seperti biasa, Angga cuma liatin aku dengan tatapan yang membius itu. Tapi kali ini dia menambahkan senyum tipisnya yang mempesona. "All for you, and Baby A."

"Apa? Baby A?" aku sedikit kaget. "Jadi, udah siapin nama buat dia?"

"Not yet. Just want the name start with A."

Oke, itu peer yang harus dikerjakan.

Nggak terasa, makan malam udah selesai. Aku pikir sih kita bakal ngobrol sebentar terus balik, nyatanya nggak. Angga nyiapin kejutan lain. Api unggun dinyalakan, membuat sekitar menjadi terang. Lalu ada musik yang dimainkan. Ini musik favoritku, Canon in D milik Mozzart. Nggak tahu kenapa aku suka banget sama instrumen ini.

Musiknya memang nggak cocok buat dansa, tapi aku nggak kuasa menolak uluran tangan Angga ketika ngajakin aku dansa. Rasanya lucu banget acara dansa ini, karena perutku yang buncit menghalangi kami untuk lebih dekat. Tapi kami menikmati acara dansa itu.

Kejutan nggak berhenti disitu. Chef Dika keluar dari tempat persembunyiannya dengan pakaian formal. Dia mengenakan jas dan kemeja, sedikit mencolok untuk dikenakan di pantai. Rambutnya juga ditata rapi, padahal dia biasanya acak-acakan.

Kebingungan, aku menatap Angga dan Chef Dika bergantian. Mencoba mencari penjelasan, tapi hasilnya nihil.

Chef Dika berdiri dihadapan kami dan tersenyum sumringah. "Are you ready?"

Aku bingung, tapi Angga menganggukkan kepala.

"Angga Tedjo Narendra, maukah kamu menjadikan Kara Syafiq sebagai pasanganmu? Menyayangi dan melindungi dia dalam suka dan duka, sehat dan sakit, kaya dan miskin, sampai maut memisahkan?"

"I do." jawaban Angga membuatku nggak percaya.

"Aku resmikan kamu sebagai pasangan Kara Syafiq. Berbahagialah kalian dan tumbuhlah menjadi manusia yang saling mencintai dan mengasihi."

Kebingunganku nggak terurai. Apa coba maksud Chef Dika ngomong kaya gitu?

"Tanya Angga aja, aku cuma diminta mengucapkan itu." Chef Dika tersenyum. "Tugasku udah selesai, aku pergi. Enjoy the honeymoon, tapi jangan kelepasan, Ang."

Aku menuntut penjelasan dari satu-satunya orang yang ada dihadapanku. Yang sialnya kini dia berlutut dihadapanku seraya membawa cincin indah yang nggak pernah aku bayangkan.

"Now, I'm your spouse."

Antara bingung dan bahagia. Bayangin aja, udah berulang kali aku nolak Angga, dan dia nggak pernah menyerah. Kalau aku menolak lagi, aku takut Angga akan menyerah dan aku belum tentu bisa ketemu sama orang seperti Angga. Tapi aku nggak ingin Angga menghancurkan hidupnya yang sempurna ini. Jadi aku nggak tahu harus berkomentar seperti apa.

"The last time I propose you, so take this ring and keep it." Angga memasangkan cincinnya dijariku, sayangnya udah nggak muat karena berat badanku naik drastis. Kami tertawa akan hal konyol ini. "I'll wait till you ready. If another man more than me and you decide to marry him, keep this ring and give it to Baby A. Let him propose to his lover with this ring."

Kali ini aku bener-bener nggak bisa nolak. Orang seperti Angga nggak banyak. Mumpung aku menemukan orang seperti Angga, jadi aku harus menjaganya biar nggak menyesal dikemudian hari.

"Thank you." ucapku lirih. Dibarengi air mata yang mulai menetes.