Chereads / Flat Face [END] / Chapter 17 - Flat Face 17

Chapter 17 - Flat Face 17

Hari terakhir kuliah. Usia kandungan udah 36 minggu. Jalan udah berat. Napas udah pendek dan sesak. Sering buang air kecil dan nggak ada napsu makan. Kata dokter itu wajar karena baby semakin besar dan menekan beberapa organ dalam.

Hari ini, aku berencana meminta maaf sama duo banyol yang udah lama nggak aku sapa. Ya, sejak aku bilang kalo Alif bukan pria yang baik ke Selly, dan berakhir dengan Selly marah besar, kami nggak pernah terlihat bersama. Padahal kami adalah sahabat tak terpisahkan dulu.

Untuk Merry, dia menghargai Selly dan nggak deketan lagi sama aku. Tapi kadang kami ketemu di luar. Karena biar bagaimanapun, Merry nggak ada masalah sama aku. Dan juga, Merry merasa punya kewajiban bantuin aku selama hamil dan melahirkan. Sesama perempuan katanya.

Kaki rasanya udah nggak kuat nopang tubuh yang udah menggelembung. Bayangin aja, beratku sebelum hamil 50kg dengan tinggi 155 cm. Sekarang beratku udah sampai 72kg dengan tinggi yang sama.

Berulang kali aku istirahat biar bisa lanjutin perjalanan mencari dua orang itu. Perpustakaan, parkiran, kantin. Mereka nggak ada disana. Ruang klub juga nggak ada. Mau nyerah tapi rasanya nggak tenang kalo belum minta maaf.

"Nyari siapa?" suara itu menghentikan langkahku. Itu suara Alif.

Aku cuekin dia. Lagian bukan dia yang aku cari kan.

"Gimana kabar dia?" pertanyaan itu sukses menghentikan langkahku lagi. Ada angin apa sampai dia tanya tentang anaknya?

Tapi aku abaikan lagi.

"Cewe ato cowo?" untuk pertanyaan terakhir ini, aku nggak berhenti.

Aku terus jalan menuju parkiran. Mood untuk mencari duo banyol udah rusak gara-gara ketemu tuh orang.

"Tenang, Kar. Jangan benci berlebihan, nanti anak lo mirip dia." gumamku, berusaha menenangkan hati.

Sia-sia dong soundingku selama ini ke Baby A tentang bapaknya. Karena setiap malam sebelum tidur, aku pandangin foto Angga dan kasih tahu kalo dia bapaknya Baby A.

Langkah kakiku terhenti lagi karena melihat sesuatu. Ya, mereka ada disana. Duduk di deket mobil dan sedang sibuk bercengkrama. Pemandangan yang bikin aku iri berat.

"Hai." sapaku ke mereka. Entah dapat kekuatan dari mana, sampai aku bisa jalan lebih cepat menghampiri mereka.

Melihatku, Selly buru-buru beresin barang bawaannya. Jelas banget kalo dia masih hindarin aku.

"Gue minta maaf kalo selama ini banyak salah. Bentar lagi gue bakal lahiran. Doain ya guys." aku memasang senyum terbaikku. Berharap mereka mau merespon ucapanku atau apapun itu.

Sayangnya nggak. Selly langsung pergi gitu aja dari sana. Dia bahkan jalan tanpa lihat kearahku. Tinggal Merry yang masih duduk disana dan melihat kearahku. Keliatan banget kalo Merry sebenarnya bingung harus berbuat apa.

Merry berdiri dan mendekatiku. Dia memelukku erat. Rasanya nyaman aja dipeluk kayak gini. Tapi emang sih, pelukan Angga terbaik.

"Selly cuma bingung kudu ngomong apa, jadi dia pergi gitu aja."

"Gue paham kok. Tolong sampaikan maaf ke Selly. Dan maaf juga kalo gue banyak salah." rasanya aku nggak bisa nahan air mata lagi.

Dengan semua sifat keibuannya, Merry memelukku dan mengajakku duduk. Dia sabar banget dan nenangin aku.

"I'm fine. Sana kejar Selly. Jangan sampai dia marah juga sama lo."

"Boleh aku elus?" malah itu yang diucapkan Merry. Aku menganggukkan kepala. "Hei, Baby, it's me Auntie Merry. Tumbuh jadi anak baik ya, jaga Mommy kamu dengan baik."

Setelah mengusap perutku, Merry pamit.

Itu terakhir kalinya aku melihat dua sahabat yang dulu selalu menemaniku dalam keadaan apapun. Semoga kalian sehat selalu guys.

***

Jadwal kepulangan Angga diundur karena ada pekerjaan dadakan. Duh, padahal udah 38 minggu. Untungnya aku selalu sounding ke bayi biar lahir pas Angga ada disini. Jadi aku sedikit tenang.

Setelah memutuskan cuti, kerjaanku cuma gegoleran di apartemen doang. Bedanya sekarang ada Tika yang nemenin.

Sesuai kesepakatan, dia cuma beberes rumah aja. Cuci baju dan setrika, cuci bekas alat makan dan nemenin aku ghibah. Untuk sapu pel, udah ada robot yang muter buat bersihin apartemen.

"Mbak, besok bisa ijin? Ibu saya datang, pengen ke museum."

"Boleh, tapi kamu balik kesini ya." kataku cepat.

Aku berusaha jadi temen sama Tika. Aku juga nggak serewel itu sama Tika. Jadi kami bisa cocok.

Paginya, Tika pamit mau anter ibunya ke museum. Alasan aku ijinin juga karena belum ada tanda-tanda mau lahiran. Angga juga katanya nanti siang sampai disini kok.

Sialnya semua meleset.

Nggak ada 30 menit sejak kepergian Tika, aku ngerasa perutku sakit. Kram kayak mau menstruasi gitu. Terus juga punggung bawah rasanya pegel pol. Mulai atur napas dan berpikir positif kalo ini cuma kontraksi palsu. Sayangnya nggak reda. Ini kontraksi asli. Aku bakal lahiran tanpa seorangpun nemenin.

Di keadaan darurat kayak gini bisa-bisanya aku malah nangis. Takut aja kalo hal buruk bakal nimpa aku atau baby.

"Tenang, Kar. Nggak secepet itu kok baby-nya lahir." aku mencoba afirmasi diri. Sambil elus perut yang udah makin nggak nahan rasanya, aku coba ngobrol ke Baby A. "Baby, daddy belum sampai. Sabar dulu ya."

Panikku bikin aku nggak bisa diam. Tanpa sadar aku jalan keliling apartemen buat nenangin pikiran dan mengalihkan rasa sakit. Aku sempet kabarin Angga juga kalo aku udah rasain kontraksi.

"Be there at 3. Hang on." terdengar suara Angga yang sedikit panik.

Mumpung masih bisa nahan kontraksi, aku mulai beberes. Nyiapin tas sama barang yang mau aku bawa. Untuk tas yang berisi perlengkapan bayi udah ada di mobil.

"Daddy sampai sini jam 3 sore, Baby, sabar ya." ucapku lagi.

Sampai akhirnya aku udah nggak tahan lagi. Sekitar jam 1 siang aku nekat mengendarai mobil sendiri ke rumah sakit. Aku udah kasih tahu dokter kalo aku udah di jalan menuju rumah sakit. Jangan tanya gimana caranya aku sampai rumah sakit dengan selamat. Karena aku berkendara sepelan dan seaman mungkin. Berulang kali harus menepi karena kontraksinya terlalu kuat.

Akhirnya sampai rumah sakit. Dokter Nita sampai nggak percaya aku nyetir sendirian ke rumah sakit dalam kondisi mau melahirkan kayak gini. Dia aja nggak nyangka, apalagi aku?

Nggak lupa, aku kabarin Angga kalo aku udah sampai di rumah sakit. Tinggal dua jam lagi sampai angga tiba disini. Selama menunggu, dokter Nita nyaranin aku buat makan, biar ada tenaga. Juga gerak lebih aktif biar pembukaan jadi cepet.

Iya sih, itu juga aku baca di banyak referensi. Sayangnya teori nggak semudah prakteknya. Sakitnya udah nggak santai banget, tapi Angga nggak buruan dateng. Kata perawat yang cek, udah bukaan tujuh. Tinggal tiga lagi buat ke bukaan lengkap.

"Ang, please." rintihku nahan sakit.

Kayaknya aku memang kudu berjuang sendiri. Nyatanya sampai bukaan lengkap, Angga nggak dateng. Padahal ini udah lebih dari jam 3 sore. Sedih, tapi tetep harus strong buat Baby A kan.

Ketika perawat bilang udah bukaan lengkap dan dokter udah kasih aba-aba buat mengejan, pikiranku udah nggak ada yang lain selain ke Baby A. Tapi emang pikiran nggak bisa bohong ya. Entah udah percobaan keberapa aku nggak inget. Yang jelas semuanya gagal. Padahal dikit lagi lahir. Karena kata dokter Nita rambutnya udah keliatan.

Rasanya udah mau nyerah aja. Ini udah sampai batasnya buat berusaha. Tenagaku udah abis karena mengejan yang nggak tepat tapi menguras tenaga.

"I'm here. Let's fight together." suara itu rasanya kaya oase di gurun pasir yang panas dan gersang.

Aku pikir aku berhalusinasi karena denger suara Angga, tapi genggaman tangan Angga yang kuat meyakinkanku kalo ini semua bukan halusinasi. Ya, Angga akhirnya datang dan kasih semangat buat aku. Dia datang tepat waktu ketika aku mau nyerah.

Nggak usah dihitung berapa kali mencoba, karena akhirnya Baby A keluar dengan tangisan yang kenceng banget. Bahkan bisa bikin telinga sakit saking kencengnya dia nangis.

"Thank you." mata Angga berkaca-kaca. Aku nggak tahu dia berterima kasih buat apa, karena dia bukan bapak Baby A. Dan aku juga nggak ngelakuin apa-apa buat dia. "Thank you, thank you, thank you."

Ciuman Angga nggak henti menghujani wajahku, padahal wajahku udah basah sama keringat. Apa dia nggak jijik?