"Name?" itu hal pertama yang Angga tanyakan ketika Baby A dibawa ke kamar.
"Kamu nggak tanya gimana keadaanku? Apa aku udah dilupakan?" kok rasanya sedih ya Angga lebih perhatian sama orang lain? Karena aku selama ini nggak pernah merasa cemburu sama Angga.
"Haven't told me his name." bahkan Angga sekarang ngomongnya nggak lihat aku. Tangannya sibuk elus pipi gembul bayi merah itu.
"Aksara." akhirnya aku menyebutkan nama anakku. "Boleh aku pakai nama kamu?"
Mata Angga berbinar banget. "Aksara Narendra."
"No." keliatan banget kalo Angga bingung. Dahinya mengkerut dalam. "Nur Aksara Tedjo Dauqi."
Senyum Angga langsung hilang. Ya, aku tahu dia kecewa sama pilihan nama itu, tapi memang itu keputusanku. Ada maksud tersendiri kenapa aku memilih dan menyematkan nama itu untuk anakku.
"Ang, aku nggak mau menghilangkan sosok bapak kandung dia. Dia juga berhak tahu siapa bapaknya, entah kapan aku akan kasih tahu dia. Yang pasti, kamu adalah daddy dia yang paling sayang sama dia. Itu udah cukup." jelasku ke Angga.
Di Indonesia nama belakang memang bukan sesuatu hal yang wajib. Hanya beberapa kalangan saja yang menggunakan nama belakang. Contohnya aja beberapa suku, atau orang kaya yang memang sudah turun temurun menggunakan nama belakang. Sisanya, nama belakang itu nggak ada artinya.
Bagiku sendiri, nama belakang itu identitas. Sama seperti aku dan Angga yang menggunakan nama belakang ayah kami. Itu menandakan kami adalah bagian dari keluarga mereka. Dan untuk kasus anakku, aku hanya ingin dia tahu bahwa ayah kandung dia memiliki nama 'Dauqi'. Itu aja sih sebenarnya.
Toh, nanti ketika dia tahu apa yang sebenarnya terjadi, dia pasti akan bertanya tentang ayahnya kan.
"Can't be changed?"
"Nama kalian sama-sama NAT kalo disingkat. Itu udah meaningful banget buat dia. Dan dia juga akan memiliki huruf A untuk namanya. Aksara."
Wajah Angga mulai mengendur. Itu artinya dia paham dan menerima semua keputusan yang aku ambil. Syukurlah, karena kami tidak perlu berdebat di depan Aksa di hari pertamanya di dunia ini.
Angga menciumku berulang kali. Jenis ciuman yang lembut dan penuh kasih. Menandakan bahwa Angga merasa bersyukur. Ya, apa yang tidak patut disyukuri dengan semua hal indah ini? Memang akan ada badai dalam hidup, tapi juga akan ada pelangi dalam hidup. Untuk saat ini, Angga dan Aksa adalah pelangiku.
***
Kini aku tahu apa manfaat hadirnya seorang confinement. Hal yang asing bagiku karena aku nggak lahir di keluarga yang keturunan China. Bukan rasis ya, karena aku sama sekali buta soal hal ini.
Ayi, panggilan untuk si confinement, bantuin aku ngurus Aksa yang masih sangat mungil. Memang ada Angga, tapi melalui Ayi kita belajar banyak hal. Maklum aja, kami sama-sama belum pernah pegang bayi baru lahir sebelumnya. Nggak ada orangtua yang dampingi kami juga. Ya cuma Ayi aja yang bantuin dan ngajarin kami ngurus bayi.
Ayi juga siapin makanan buatku. Makanan khusus untuk orang baru melahirkan, dan harus dilakukan selama 40 hari pertama kelahiran bayi. Karena baru pertama, banyak makanan yang nggak cocok di lidahku karena emang rasanya aneh dan hambar. Pantes hambar, orang nggak dikasih garam kok.
Kerjaanku cuma gegoleran aja sambil kasih asi ke Aksa. Sisanya dilakukan sama Ayi dan Tika. Bahkan kadang aku cuma diem aja nggak ngapa-ngapain, karena Angga selalu semangat kalo berurusan sama bayi itu.
"You have to rest a lot after giving birth." ucap Angga, yang menjadi alasan kenapa aku tidak boleh ikut sibuk mengurusi Aksa. Hey, aku ibunya!
Mandiin, gantiin popok, gantiin baju, kasih minum susu, jemur Aksa dipagi hari. Itu semua Angga yang lakuin. Katanya mumpung dia masih ada disini. Dan kebetulan Angga emang cuti selama sebulan penuh. Jangan tanya gimana caranya dia bisa dapet cuti sebulan penuh, itu urusan dia.
Semua berjalan lancar. Paling nggak kami puas dengan apa yang udah kami lakuin, meski masih banyak kekuranganya. Terima kasih buat Ayi, orang yang awalnya nggak aku harapkan kehadirannya, kini adalah orang yang paling aku butuhkan. Dan ketika masa 40 hari udah selesai, aku merasa berat melepas Ayi.
"Tinggal dua bulan lagi." kataku penuh harap.
"Nggak bisa, udah ada yang nunggu jasaku." balas Ayi santai.
Ayi, wanita yang udah nggak muda lagi dan galaknya minta ampun. Dia juga disiplin banget. Memang menyebalkan, tapi aku akan sangat merindukan Ayi nanti kalo udah lama nggak ketemu. Kami berpelukan sebelum Ayi pergi. Rasanya kayak dapet pelukan dari ibu sendiri. Hangat dan menenangkan.
Sejak kepergian Ayi, aku mengurus Aksa sendirian. Ya nggak sendirian juga sih, karena ada Tika.
Dia kadang akan urus Aksa ketika aku sedang masak. Atau ketika aku ada urusan seperti mandi dan juga belanja. Aku belum tega ngajakin Aksa keluar dari apartemen meski sekarang usianya udah hampir dua bulan. Keputusanku di dukung sama Angga, karena dia juga berpikir Aksa belum terlalu kuat imunnya. Mungkin keluar kalo ke dokter aja. Itupun sama Angga.
Tepat diusia ke tiga bulannya, Angga ngajakin aku keluar. "You haven't out in a long time."
Baru tiga bulan sih. Dan aku merasa nggak ada masalah nggak keluar. Aku malah bisa fokus untuk olahraga dan ngurus Aksa. Mungkin keluar kalo mau belanja aja. Itu pun kadang Tika yang belanja.
"I'm okay." balasku singkat.
"Let's have a dinner." denger ajakan dia buat dinner aja wajahku langsung merona. Keliatan banget kan kalo aku memang mengharapkan hal ini.
Oke, akhirnya kami berdiskusi sama Tika untuk teknisnya. Agak kasihan juga sih ninggalin Aksa sendirian sama Tika. Bukan nggak percaya sama Tika, tapi ini pertama kalinya kami pergi berdua tanpa Aksa.
"Tahu ya gimana siapin susu? Kami cuma bentar, paling cuma dua jam." aku memastikan untuk kesekian kalinya sebelum keluar dari apartemen.
"Iya, Mbak, paham." jawab Tika.
Angga ngajakin aku dinner romantis yang sebenarnya. Meja yang dipilih adalah meja yang paling strategis, dimana kami bisa melihat pemandangan luar tanpa penghalang apapun. Ditambah penerangan yang nggak begitu terang, membuat suasana menjadi lebih intim. Apa ini artinya Angga ingin sesuatu yang lebih dari sekedar makan malam? 'Makan' yang lain juga?
"Calm down, Tika take care of him well." ucap Angga santai.
Kok tahu sih dia kalo pikiranku melayang ke Aksa? yah, walopun mikirin yang lain juga sih.
Angga mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan layar ponselnya. Itu kayak semacam rekaman cctv gitu. Darimana Angga punya rekaman itu? "Don't worry."
Oke, mari kita coba berpikir baik dan fokus pada makan malam ini. Meski sulit, aku berusaha sekeras mungkin nggak mengecewakan Angga yang udah siapin ini semua. Tapi tetep aja, aku pengen acara ini cepet kelar dan bisa balik ke rumah, biar bisa cepet ketemu sama Aksa juga.
Setelah semua piring yang ada di meja kami disingkirkan, jus disajikan untuk kami. Ya kan aku lagi menyusui, jadi nggak boleh minum wine atau minuman beralkohol lainnya.
Angga menyodorkan kotak kecil berwarna hitam. Aku pikir itu cincin, karena biasanya cincin kan yang dimasukin ke kotak. Ternyata bukan. Isinya sebuah kalung yang sangat cantik. Kalungnya sih biasa aja, sama seperti kalung lainnya yang polos dan kalem gitu. Yang bikin istimewa itu liontinnya. Huruf A yang dilingkari cincin.
"Thank you, brought him to this world." lalu Angga memasangkan kalung itu kepadaku.
Kayaknya aku kehilangan kemampuan untuk berbicara. Aku cuma bisa diem aja ketika Angga mengucapkan kalimatnya dan memasangkan kalung itu. Bingung aja harus merespon seperti apa.
"Kenapa aku dikasih kalung?" akhirnya aku bisa ngomong.
"Perempuan itu istimewa. Kami nggak bisa melahirkan ataupun menyusui. Kami nggak bisa sekuat kalian ketika melahirkan, juga ketika harus mengurus rumah dan juga anak. Ini hanya sebagai ucapan terima kasih, karena kamu sudah melakukan hal hebat untuk kami." ucap Angga tulus.
Ya ampun, kurang baik dan manis apa Angga ini? Padahal wajahnya tuh biasa aja pas ngomong, tapi dia bisa begitu manis gini? Aksa, kamu harus jadi laki-laki yang penyayang dan manis seperti Angga, ya.
"Itu yang Ayah ajarkan ke kami." tambah Angga, ketika aku nggak buruan membalas ucapannya.
Nggak peduli dia belajar hal manis ini dari siapa. Yang jelas, Angga sukses bikin aku merasa sangat bahagia dan dihargai. Dia orang asing yang selalu ada dan iklas membantuku. Dia yang kata orang nyebelin dan galak, nyatanya begitu perhatian dan sangat manis.