Kepalaku rasanya pusing banget. Kebiasaan deh, kalo kebanyakan minum jadinya kayak gini. Ini pertama kalinya aku mabuk sejak kenal sama Angga. Kalo ada Angga, jelas dia nggak akan biarin aku mabuk sampai kayak gini.
Begitu buka mata, aku langsung waspada. Ada suara asing disebelahku. Pas tolehin kepala, ternyata itu Alif. Alif?
Aku langsung aja bangun dan kaget mendapati kami sama-sama nggak pake baju. Wah bahaya nih.
Berusaha banget buat inget apa aja yang terjadi semalam, tapi aku bener-bener nggak ingat. Ingatanku cuma mentok ketika Alif tanya kenapa aku sendiri, dan dia ngasih gelas berisi minuman lagi ke aku. Setelahnya? Nggak tahu.
Mumpung Alif masih merem, aku langsung lari menuju kamar mandi dan bersihin diri. Secepat mungkin dan setenang mungkin biar Alif nggak bangun. Gila aja kalo sampe Alif bangun. Mau gimana coba ngadepin tuh orang? Apalagi Alif masih pacarnya Selly.
Meski aku nggak ingat kejadian semalam, aku nggak ada niat kok buat ambil Alif dari Selly. Bukan mau remehin ya, tapi Angga jauh dari Alif. Angga lebih baik dan lebih segalanya ketimbang Alif. Jadi, maaf, aku nggak berminat sama Alif. Cuma ngerasa nggak enak aja sih sama Selly nantinya.
Sejak kejadian itu, aku menghindari Alif. Kalo misal dia jemput Selly, aku langsung menyingkir. Entah itu ke kamar mandi atau kemana aja. Pokoknya jangan sampai ketemu dan tatap muka lagi sama Alif.
Jengkel dan marah sama Alif? Jelas dong.
Siapa juga yang nggak marah kalo misal kita diperlakukan seperti itu? Ini jatuhnya pemerkosaan lho, soalnya aku nggak ngasih ijin dia buat sentuh aku. Memang sih, Alif sempet kirim pesan dan minta maaf. Dia bilang dia juga terlalu mabuk sampai nggak sadar udah lakuin hal itu. Akhirnya aku kasih jalan tengah, biar sama-sama enak, mending nggak usah dibahas lagi dan jangan sampai Selly tahu.
Itu sebabnya aku berusaha menghindari Alif, biar nggak perlu keliatan nggak enak dan canggung juga.
"Kok lo pucet gitu? Sakit apa gimana sih?" Merry dengan segala sifat keibuannya, selalu perhatian.
"Nggak tahu, badan rasanya nggak enak." jawabku.
Itu memang benar adanya. Badanku rasanya gampang banget capek, terus gitu makan jadi nggak berselera banget. Tiba-tiba pusing dan mual padahal nggak abis cium sesuatu yang menyengat. Udah beberapa hari sih, tapi aku abaikan gitu aja. Belum ada waktu buat ke dokter juga.
"Lo nggak hamil kan?" kami semua langsung kaget.
"Hamil apaan sih?" elakku sekuat tenaga.
"Jaman gue hamil Star, gue juga gitu. Badan rasanya nggak enak. Udah gitu gue gampang capek dan ngantuk. Pokoknya badan nggak bisa dikondisikan, padahal gue juga udah cukup tidur." jawaban Merry bikin aku menaruh perhatian.
Penjelasan Merry sama plek dengan yang aku rasain. Ngantuk banget setiap hari padahal tidur udah cukup. Badan juga rasanya nggak bertenaga dan gampang capek juga. Pikiranku langsung berkelana. Menghitung apa yang seharusnya memang perlu dihitung.
Wajah Merry dan Selly langsung sama syoknya kayak aku.
Tanpa aba-aba, aku langsung berkemas dan masuk ke dalam mobil. Pergi ke apotek sejauh mungkin dari kampus ataupun kos cuma buat beli benda pipih itu. Belinya langsung borongan beberapa merk, biar yakin aja kalo alatnya nggak salah atau aku yang nggak becus pake alatnya.
Sedetik dua detik, aku sabar nunggu alat itu bekerja. Nggak cuma satu alat yang aku coba. Ada lima merk yang aku coba dan hasilnya sama. Dua garis.
Lututku rasanya langsung lemes. Nggak percaya aja sama apa yang baru aja aku lihat.
Dua garis mean hamil. Itu artinya aku hamil. Ini seriusan?
Aku hamil. Anaknya siapa? Orang terakhir yang 'nyentuh' aku ya Alif. Ini anak dia. Nggak mungkin.
Masa baru sekali aja langsung jadi? Sedangkan aku sama Angga aja yang tergolong sering, dan kami sudah melakukannya selama setahun ini nggak pernah jadi tuh.
Pikiranku kacau banget. Panik, nggak tahu harus gimana. Terlebih, aku harus jelasin apa ke keluargaku dan Angga?
Untuk saat ini aku cuma bisa nangis. Sendirian di lantai kamar mandi apartemen Angga yang dingin.
Tenang, Kara, selalu ada jalan keluar untuk setiap masalah.
Setelah tenang, hal pertama yang aku lakuin adalah ke dokter. Memeriksa dan memastikan semuanya baik-baik aja.
"Kandungannya baik, dan sekarang berusia 10 minggu. Jaga asupan makan dan jangan stres. Kalo bisa, ajak suaminya ketika periksa." ucap sang dokter dengan senyum terbaiknya.
Aku melihat ke sekeliling. Memastikan kalau nggak ada apapun yang bikin aku terlihat mencurigakan.
"Dok, bisa aku gugurin anak ini?" bibirku bergetar sewaktu ngomong. Ada rasa takut yang melingkupiku.
Sang Dokter hanya bisa diam saja dan nggak berkomentar. Perlu waktu lama sampai si dokter bersuara. "Maaf, itu menyalahi kode etik. Saya juga tidak menyarankan abortus kalau tidak ada kondisi kegawatan."
Jadi aku harus gimana? Diem aja sampai perutku buncit dan semua orang tahu kalo aku hamil di luar nikah? Gimana nanti komentar Bapak sama Dwiki? Aku pasti bikin malu Bapak banget.
***
Tinggal beberapa jam lagi sampe pesawat yang Angga tumpangi mendarat di bandara. Aku udah sejak sejam yang lalu nungguin Angga. Sendirian. Kali ini aku nggak ngajak duo banyol itu karena langsung mau ngobrol penting.
Kemarin Sabtu aku balik ke Solo. Ketemu sama Bapak dan Dwiki. Aku udah diem aja, tapi entah itu namanya feeling atau apa, akhirnya Bapak tahu.
"Bawa dia nemuin Bapak!" begitu ucapan Bapak ketika aku selesai menjelaskan.
Aku tahu, aku udah bikin Bapak kecewa. Juga bikin malu keluarga ini.
"What you thinking?" suara Angga terdengar lembut banget di telinga.
Aku langsung fokus dan lihat ke arah Angga. Dia udah turun ternyata, dan aku nggak tahu kalo Angga udah ada disisiku sekarang.
Deano langsung pamit untuk pulang setelah Angga dan aku ketemu. Jadi, aku nyetir mobil untuk balik ke apartemen. Berusaha keras untuk mengabaikan Angga dan fokus nyetir.
Sampai di apartemen, Angga langsung melepas kangennya ke aku. You know lah maksudnya apa.
Kalo biasanya aku akan dengan senang hati melayani Angga, kali ini nggak. Kami tetap melakukannya, tapi rasa bersalahku terlalu besar untuk bisa menatap Angga. Dan kayaknya Angga ngerasain apa yang aku rasain. Jadi ketika dia sampai di klimaks pertamanya, dia menghentikan kegiatan itu lalu membersihkan diri.
Angga kayak yang kecewa banget. Aku tahu, aku sudah mengacaukan semuanya. Ketika Angga akhirnya tertidur, aku cuma bisa mandangin dia dalam diam dan mulai menangis. Ya ampun, apa yang udah aku lakuin? Aku udah punya cowo yang sempurna, tapi aku malah ngelakuin hal yang nggak baik dan berakhir seperti ini.
Gimana nanti komentar Angga kalau tahu yang sebenarnya?
Jangan pikir aku nggak minta tanggung jawab dari Alif. Setelah tahu kalau aku hamil, aku ketemuan sama Alif dan kami ngobrol empat mata. Alif menolak untuk bertanggung jawab karena dia mikir aku ngelakuin itu nggak cuma sama dia aja.
"Lo tahu kan gue pacar sahabat lo. Apa nanti kata orang kalo dia tahu? Lagian, kenapa lo minta tanggung jawab ke gue? Angga jelas pasti mau tanggung jawab. Bisa jadi kan itu anak dia." ucapan Alif bikin aku sakit hati banget.
Sejak saat itu, aku nggak pernah bahas hal itu lagi sama dia.
"Ang, anterin aku balik ya. Ada yang ketinggalan." ucapku, disela makan siang kami. Angga cuma menganggukkan kepala.
Sorenya, aku dan Angga menuju Solo. Tentu aja Angga udah nggak jetlag lagi karena udah hampir seminggu dia balik. Aku berusaha keras untuk bersikap biasa aja. Sebenernya aku nggak mau pulang, tapi Bapak terus aja maksa aku buat pulang dan bawa orang yang Bapak minta.
Maaf, Ang, aku udah kecewain kamu.