Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

the Twins

LangitBiru_18
--
chs / week
--
NOT RATINGS
20.3k
Views
Synopsis
Cinta itu aneh. Kadang semulus jalan tol, kadang pula serumit rumus matematika. Ada yang normal, ada juga yang anti-mainstream. Dan kategori yang terakhir itu contohnya adalah papa si kembar Aaron dan Dylan. Beliau memiliki cinta yang berbeda dengan memilih manusia dari jenis yang sama. Tapi kisah ini bukan tentang sang papa, melainkan tentang hidup Aaron dan Dylan yang harus menerima kenyataan memiliki orang tua berbeda. Bahagiakah mereka, atau.... Cover edited by : ig @felladelia
VIEW MORE

Chapter 1 - One

Hidup bergelimang harta sudah merupakan hal yang biasa bagi si kembar Aaron dan Dylan. Semenjak kecil mereka dimanjakan dengan yang namanya fasilitas mewah. Naik mobil seharga rumah, naik pesawat jet pribadi, butuh apa-apa tinggal ngomong, fashion brand ternama limited edition, atau makanan yang enak-enak dan mehong, semua itu sudah kenyang mereka rasakan. Jadi yang namanya kemewahan dunia, si kembar sudah tidak heran lagi.

Tapi itu hanyalah sebuah kemewahan yang mereka nikmati ketika masih kanak-kanak. Menginjak usia remaja, keduanya berubah menjadi pribadi yang sederhana. Tak pernah pamer kekayaan, tak lagi kemana-mana pakai mobil mahal, tak ada buang-buang uang untuk sekedar mengisi perut. Pokoknya merakyat. Sekolah saja naik angkot, untuk bisa makan harus masak dulu. Selayaknya kehidupan orang menengah ke bawah.

Bukannya bangkrut dan jadi miskin. Tetep anaknya konglomerat. Hanya saja ada satu alasan yang membuat mereka bersikap rendah hati. Tidak, bukan rendah hati, tapi lebih tepatnya rendah diri. Dan satu alasan itu adalah status sang papa.

Semua cerita bermula ketika Aaron dan Dylan berusia 5 tahun. Saat papa yang setahu mereka selalu sendiri karena sang mama telah tiada, tiba-tiba datang membawa seseorang. Si kembar yang masih kecil belumlah paham soal hubungan orang tua tunggalnya dengan orang itu. Yang keduanya tahu, orang itu selalu ada di samping papa mereka, sering menginap di rumah, dan sering bersama papa menjemput mereka di sekolah. Aaron dan Dylan yang masih duduk di bangku TK juga menurut saja ketika papa mereka menyuruh memanggil orang itu dengan sebutan ayah.

Waktu terus berlalu, Aaron dan Dylan kecil hidup dengan damai dan bahagia bersama papa dan ayah yang semenjak mereka SD telah tinggal serumah bersama mereka. Keduanya amat lengket dengan anggota keluarga baru itu. Maklum, sang papa makin lama makin jarang berada di rumah karena sibuk bekerja dan hanya ada ayah untuk mereka bermanja. Berangkat dan pulang sekolah, ayahlah satu-satunya orang yang mengantar dan menjemput, bukan lagi papa. Ingin jalan-jalan, ayah pula yang menemani. Ingin makan ini itu, ayah jualah yang membeli ataupun memasak. Jadi wajar kalau Aaron dan Dylan saat itu merasa teramat sayang pada ayah mereka. Sudah pintar memasak, sabar, baik hati, ganteng pula. Jauh lebih ganteng daripada papa yang jarang ada mereka temui.

Segalanya terasa indah sampai Aaron dan Dylan memasuki usia remaja. Kala itu nalar keduanya telah cukup sempurna, jadi sudah mampu membedakan mana yang wajar dan mana yang tidak masuk akal. Dan hubungan antara papa dengan sang ayah, bagi mereka masuk dalam kategori tidak bisa diterima dengan akal sehat. Dua pria menghabiskan waktu bersama, tidur sekamar, sering mereka pergoki saling berpeluk atau mencium pipi, serta ketidakwajaran yang lain. Bila saudara, mana ada saudara semesra itu? Bila teman, teman macam apa yang setiap hari berperan sebagai ibu bagi mereka?

Sampai akhirnya setelah Aaron dan Dylan berulang tahun ke-15, sang papa mengungkap segalanya, bahwa beliau telah lama menikah dengan ayah yang selama ini mereka sayang. Saat itu akhirnya si kembar paham, mengapa dulu harus memanggil orang asing itu dengan sebutan 'Ayah'. Ternyata....

Semua pengakuan menyakitkan itu diawali dengan permintaan maaf dan berakhir dengan derai air mata. Aaron dan Dylan hanya mampu diam seraya menahan ketidakmengertian akan yang baru saja mereka dengar. Sejuta rasa bingung terus menggelayut dalam benak mereka. Papa yang keren, ayah yang mereka cintai, ternyata adalah pasangan gay.

Setelah pengakuan itu Aaron dan Dylan kemudian cukup akrab dengan dunia pelangi. Bukan dalam kehidupan nyata, melainkan hanya mencari informasi melalui dunia maya. Apakah gay itu, bagaimana dunia gay itu dan lainnya dan lainnya. Yah walaupaun kaya, tapi si kembar termasuk anak yang pergaulannya lurus-lurus saja. Pegang gadget paling banter cuma buat game atau browsing yang berbau pelajaran. Tak ada situs neko-neko yang pernah mereka masuki dan memang mereka tak pernah bisa. Soalnya, sang papa telah mengatur gadget mereka jadi gadget yang syariah. Lucu, orangnya sendiri malah tidak syariah.

Semenjak tahu dunia papanya, Aaron dan Dylan yang semula adalah remaja yang aktif berubah menjadi lebih tertutup dan tak banyak bergaul. Karena mereka tahu, bahwa gay itu tabu dan terlarang. Si kembar pun jadi canggung saat berhadapan dengan orang yang semula mereka anggap sebagai ayah terbaik di dunia. Hubungan mereka perlahan seperti orang asing, tak lagi sehangat dulu. Jika kejadian yang mereka alami hanyalah wacana seperti di dunia maya, mungkin rasanya akan biasa. Tapi ini mereka alami sendiri. Sakit di hati tak bisa mereka ungkapkan. Aaron dan Dylan terus memendam nelangsa karena memiliki orang tua yang tak biasa.

Ketika SMA mereka sampai memilih sekolah di ibu kota, hidup terpisah pulau dengan keluarga yang mengimingi kemewahan. Alasannya, agar jauh-jauh dari pemandangan menyakitkan yang bakal tiap hari disaksikan jika mereka masih satu rumah dengan papa dan ayah. Juga, mereka jadi tak punya nyali berhadapan dengan siapapun yang telah mereka kenal selama ini. Takut jika kehidupan pribadi mereka akan diusik lalu hubungan sejenis keluarganya akan terbongkar. Bagaimanapun, negara ini tidak bisa menerima yang namanya same sex marriage.

Namun semua kegalauan itu mereka telan sendiri, tidak berani terang-terangan protes pada sang papa, tidak juga sanggup membenci sang ayah. Pindah kota pun alasannya ingin punya banyak pengalaman dan bisa mandiri. Biar gimana orang tua tetaplah orang tua. Dan lagi masa kecil mereka dipenuhi kebahagiaan bersama dua orang itu. Papa Erick yang berwibawa dan Ayah Kevin yang penuh kasih sayang, bagaimana caranya mereka bisa mengingatkan tanpa menyakiti?