Chereads / the Twins / Chapter 5 - Five

Chapter 5 - Five

"Jadwal les adalah setiap hari Minggu mulai jam 9 pagi sampai selesai. Untuk transportasi, anda akan dijemput oleh pihak istana, dan pulangnya juga diantar."

Aaron duduk di kursi yang sempat dia kira buat rapat kenegaraan, mendengarkan penuturan dari Pak Han. Ada Aurora di seberang meja sana, duduk sok manis dan anteng. Sebuah sikap sopan yang jauh berbeda dengan kegenitannya dulu. Selain itu ada dua orang lagi yang berdiri di samping Aurora. Mereka adalah si bodyguard Men in Black.

Saat peraturan les yang bakal Aaron jalani jika menerima pekerjaan sebagai guru dibacakan, Aaron terlihat khidmat mendengarkan. Tapi yang sebenarnya terjadi dia sama sekali tak bisa konsentrasi. Kenyataan bahwa Aurora adalah anak presiden sangat membuatnya syok. Kok bisa bocah ganjen itu keturunan orang nomor satu di negeri ini? Gak ada pantes-pantesnya. Tapi dia sekaligus juga merasa lega, bahwa sang bapak asisten tahu tentang dirinya hanya dari Aurora. Itu berarti kisah kelam keluarganya tetap aman.

Aaron lantas teringat pernah mengolok orang tua Aurora yang tak bisa mengajari anaknya dengan baik. Ternyata yang dia olok bukan orang kaleng-kaleng, presidennya sendiri gitu. Yang benar saja. Tapi masih untung bapaknya Aurora bukan Kyai atau Habib. Bisa-bisa kualat dunia akhirat dia ntar.

"Maaf, boleh nanya?" Aaron mengacungkan tangan meski sebenarnya tak perlu. Wong peserta rapat yang ada hak nanya cuman dia seorang.

"Silahkan."

"Maksud dari 'sampai selesai' itu apa? Apakah ketika materi sudah tersampaikan semua lalu saya boleh pulang?"

"Oh, tidak. Maksudnya sampai nona kami merasa bosan. Jika sampai sore belum bosan, anda harus tetap di sini."

Hah?! Bola mata Aaron nyaris melompat keluar saking kagetnya. Mana ada peraturan seperti itu di dunia perles-lesan? Ini namanya perbudakan!

Terdengar suara tawa yang ditahan di seberang meja. Rupanya Aurora. Dia terkikik karena melihat ekspresi wajah Aaron yang lucu. Manusia yang biasanya berwajah sadis, dingin, dan tak berperasaan, ternyata bisa imut juga kalau sedang kaget.

Aaron hanya meliriknya sesaat lalu kembali fokus ke Pak Asisten. "Maaf. Tapi kalau peraturannya seperti itu, saya menolak," ucapnya tegas.

Tawa Aurora seketika terhenti. Sekarang gantian dia yang syok. Seumur-umur jadi penghuni istana ini, baru kali ini ada yang menolak permintaan ayahnya.

"Jadwal kerja saya tidak jelas. Saya hanya pelajar biasa tapi seolah tenaga saya diperas. Itu melanggar hak asasi manusia."

Pak Asisten tercengang. Tapi detik kemudian dia senyum. Sama seperti Aurora, beliau juga mikir ini pertama kalinya ada yang berani membantahnya. Sama anak SMA pula. Bocah itu memang sesuatu.

"Bagaimana kalau anda coba dulu sehari? Jika merasa diperbudak, maka kami persilahkan untuk mundur."

Aaron terdiam, memikirkan keputusan apa yang sebaiknya dia ambil. Misal dilepas, dia akan kehilangan sebuah pengalaman yang mungkin akan menarik kedepannya. Meski keluarganya termasuk tajir melintir, tapi jadi tutor anaknya kepala negara adalah sesuatu yang tidak semua orang bisa beruntung mengalami.

Baiklah. Kesempatan emas tak datang dua kali. Anggap saja ini tantangan di masa muda. Kapan lagi ya kan pelajar SMA jadi gurunya anak presiden? Ya meski ada udang dibalik batu atas alasannya berada di sini.

"Saya akan mencobanya."

Kalimat persetujuan itu disambut senyum merekah dari sang asisten presiden. Beliau berdiri, berjalan ke arah Aaron lalu menepuk pelan pundaknya. "Terimakasih. Anda sangat bermurah hati. Saya jamin nona kami akan memperlakukan anda dengan baik. Jika dia tidak patuh, anda boleh menghukumnya."

"Paman!" pekik Aurora.

Pria karismatik yang dipanggil paman itupun tertawa. Sepertinya beliau memang sengaja menggoda anak bosnya.

"Sekarang silahkan beri peraturan pada murid anda. Terserah peraturan yang bagaimana. Selama mengajar, anda berhak secara penuh mengontrol nona kami. Itu adalah sebagian bayaran dari waktu anda yang mungkin akan terbuang olehnya."

"Paman apa-apaan sih?"

Pria itu melambaikan tangan ke arah Aurora. "Bye!" katanya lalu pergi dari tempat itu, masih dengan tertawa. Terlihat wajah Aurora yang keki. Diam-diam Aaron pun menyunggingkan senyum. Baginya interaksi keduanya cukup manis, menunjukkan kasih sayang dengan cara yang berbeda.

Kini di ruangan itu tinggallah Aaron dan Aurora. Dua bodyguard yang masih berdiri itu anggap saja pajangan. Soalnya keberadaan mereka bikin risih tapi tak bisa disingkirkan. Juga, Aaron tidak punya hak menyuruh mereka pergi.

"Pasti kamu yang memintaku jadi guru les," tembak Aaron langsung pada muridnya.

Aurora menjawab dengan mengibaskan rambut dan bersikap cuek, pura-pura tak mendengar yang Aaron tanyakan.

"Kamu ingin balas dendam padaku. Iya kan?"

Mata Aurora membulat, terkejut dengan tuduhan Aaron. "Jahat sekali pikiran kakak. Cewek selugu diriku mana mungkin memikirkan balas dendam. Emangnya gak ada kerjaan lain apa?" semprotnya dengan muka kesal yang dibuat-buat.

Lugu? Aaron menahan diri untuk tidak memperoloknya. Kalau lugu mana mungkin ngejar-ngejar dia?

Selintas kenangan akan roti yang terbuang menghampiri Aaron. Masih bisa dia ingat dengan jelas wajah menangis si tengil, ehem, maksudnya Aurora. Dan dia kembali merasakan penyesalan.

"Maaf soal roti itu. Aku gak sengaja."

"Tak apa," jawab Aurora acuh dan memalingkan muka.

Aaron terpana melihat sikap itu. Jadi mentang-mentang ketahuan kalau anaknya presiden, terus sekarang sok-sokan judes? Anak itu jelas ingin balas dendam padanya.

Tapi pikiran Aaron keliru, sebab sedetik kemudian Aurora kembali memandangnya dan tersenyum centil. "Besok kita belajar apa? Matematika, Kimia, Sejarah, atau Bahasa Inggris?"

Lah? Cepat sekali moodnya berubah. Atau cuma pura-pura marah saja tadi?

"Sebelum resmi memulai pelajaran besok, ada dua hal yang harus kamu lakukan hari ini. Pertama, jawab pertanyaanku. Apa yang mendasarimu menjadikan aku guru les?"

"Karena aku suka kakak."

Jawaban itu terlalu spontan, membuat Aaron merinding. Sementara duo pengawal itu terlihat menyunggingkan senyum, seakan menggodanya dengan kata, "Cieee..."

"Lupakan," balas Aaron. "Yang kedua....." Aaron terdiam buat mikir. Sebenarnya dia ingin bertanya kenapa gadis itu berhenti sekolah. Tapi mendingan gak usah. Ntar malah disalahpahami karena dikira kasih perhatian lagi.

"Siapkan catatanmu. Aku akan membacakan tata tertib yang harus kamu patuhi selama jam mengajar. Jangan sampai ketinggalan satu butir pun."

Begitu mendengar instruksi catat, duo pengawal yang tadinya berdiri kaku bak tiang beton itu langsung sigap. Dua-duanya mengeluarkan ponsel dari saku jas. Sementara yang Aaron suruh catat sendiri malah terlihat santai. Dasar manja.

Kedua pengawal tadi secara kompak meletakkan ponsel mereka ke depan guru bos kecilnya, lalu kembali bersikap tegap. Aaron melirik benda-benda pipih itu, rupanya sudah dimode merekam. Sungguh bodyguard yang multi fungsi, pikirnya.

"Maaf, tapi aku maunya muridku sendiri yang mencatat. Pakai pulpen," tegas Aaron. Dia kelihatan songong gak sih, mentang-mentang dibutuhkan lalu merasa di atas angin dengan bersikap sok? Tapi tak apalah. Menghadapai gadis seperti Aurora memang harus begini biar gak ngelunjak dan kegatelan padanya. Tujuan Aurora mengundangnya kemari kan jelas ada maksud tak wajar, jadi dia harus jaga-jaga.

"Ck!" Aurora berdecak, kesal karena disuruh nulis manual. "Sini!" katanya dengan tangan menengadah. Kemudian salah satu pengawal segera keluar dari ruang itu dan kembali dengan membawa pulpen dan block note.

Aaron gemas melihatnya. Bukannya bocah itu punya kaki sendiri ya?

"Apa tata tertibnya?"

Anak sulung Stein itu menarik nafas. Sepertinya hari-hari minggunya nanti bakalan berat.

"Pertama, harus bersikap sopan terhadap tutor."

Aurora menulis apa yang dikatakan Aaron.

"Kedua?" tanyanya kemudian.

Tapi Aaron malah diam, tak jua menjawab. Bahkan hingga semenit berlalu tetap tak ada kepastian kapan tata tertib kedua dia sampaikan.

Aurora menunggu, dua pengawal itu juga menunggu, sang asisten pribadi yang menguping diam-diam dari balik kelambu pun menunggu.

"Tata tertib kedua..."

Aurora bersiap menulis.

"Aku belum kepikiran. Besok-besok saja kalau sudah ada ide."

Gubrak!

"Ih, kak Aaron mah...." sang putri manja ingin protes keras. Masa peraturan yang sudah susah payah dia tulis cuma sebiji doang? Tapi demi melihat wajah pujaan hatinya yang dingin dan datar, dia urung melakukannya.

Bisa gitu ya bercanda dengan wajah selempeng itu?