Chereads / the Twins / Chapter 8 - Eight

Chapter 8 - Eight

Rebahan nyaman di kasurnya, Dylan menonton ulang video yang dia rekam tadi siang. Tak lupa pakai headset dan ditemani dengan setumpuk cemilan, dia pun menghabiskan malamnya dengan bahagia.

"Ingat, Dy. Sikat gigi sebelum tidur. Makan jangan kececeran, ntar kamunya dikerubung semut." Begitu yang kakaknya bilang tadi saat melihat Dylan memborong sekantong kresek jajanan ke dalam kamar.

"Iya, kakakku sayang. Kalau lupa sikat gigi ya maaf, berarti aku ketiduran. Hehe," jawab Dylan cengengesan.

Aaron yang juga bersiap mau tidur cuma geleng kepala. "Besok sekolah, jangan kemaleman tidurnya."

"Hooh," Dylan menjawab singkat lalu masuk ke kamarnya sendiri dan menutup pintu.

Meski kembar, Aaron dan Dylan tidak pernah yang namanya tidur seranjang setiap malam. Kadang-kadang aja satu kasur atau berdempetan di ambal depan ruang tivi, selebihnya mereka punya privasi masing-masing. Sudah pada gede, jadi harus tetap ada sekat yang memisah walau sama-sama cowok sekalipun.

Soal sekolah dua kakak beradik itu juga memilih tujuan yang berbeda. Tujuannya simpel aja, biar tidak ada yang salah mengenali dan juga nyari pengalaman baru. Mulai dari PAUD sampai SMP satu sekolahan terus, bosen.

Mulut Dylan penuh dengan keripik kentang, sementara matanya fokus ke layar hp yang dia taruh di atas meja belajar. Kakinya bersila di depan si meja, sesekali berselonjor jika serasa kesemutan. Tapi mulutnya mengunyah terus, sama sekali tak terlihat kelelahan.

Ketika video sudah setengah putaran, mata Dylan melebar melihat sesuatu yang familiar. Dia mem-pause, untuk melihat lebih jelas ke arah salah satu pemain band di video. Pikirnya dia seperti kenal sama gitarisnya, tapi dimana? Mulut Dylan berhenti mengunyah karena dibuat mikir.

"Ah!" Seru Dylan seraya menunjuk ke hp nya sendiri, baru ingat sama gitaris itu. Dia adalah cowok yang makan cumi bakar dengannya tadi siang. Yup, pasti dia. Jadi cowok itu adalah gitaris?

Dylan memutar ulang videonya. Si cowok tampak keren dan kharismatik saat memainkan sang gitar listrik. Gerakan jemarinya lincah, sedangkan orangnya cool dan tidak terlalu banyak gaya. Diperbesarnya volume untuk mendengar lebih jelas. Tiap petikan senar si cowok cumi memiliki irama yang rumit namun indah. Tanpa sadar Dylan tersenyum, tiba-tiba saja dia merasa jatuh cinta. Bukan sama orangnya, tapi dengan cara mainnya yang menurutnya diatas rata-rata. Masih SMA tapi sudah sebagus itu, pasti belajar secara profesional.

Keesokannya, rutinitas sekolah si kembar di mulai. Motor yang masih sebiji, dibuat bergantian setiap hari. Terkadang Aaron yang mengantar jemput, terkadang sebaliknya. Dan kali ini giliran Dylan yang diantar kakaknya.

Seperti sudah sifatnya, Dylan memasuki gerbang sekolah dengan langkah acuh. Headset nempel di kuping, pakai jaket hoodie, dan kedua tangan yang dimasukkan saku celana. Gaya yang cool. Tapi jika sudah mengenal siapa Dylan, maka siapapun pasti akan mengatainya sombong.

Seperti kakaknya yang tak begitu bergaul, Dylan juga menutup diri untuk dekat dengan siapapu. Tak banyak bicara jika disekolah, tak berusaha menonjolkan diri dalam kegiatan apapun kecuali memang diminta. Persis seperti Aaron. Dua-duanya pandai dan cakep, namun tak pernah sok pinter dengan tebar pesona kesana kemari.

Tak jauh beda dengan Aaron, Dylan pun diam-diam banyak penggemar. Tapi ya itu tadi, dia malas buat akrab, apalagi sahabatan dengan siapapun teman sekolahnya. Tujuannya adalah belajar. Titik!

Pelajaran pertama hari Senin adalah Matematika, cukup cadas untuk mengawali hari. Kelas Dylan yang belum ada gurunya terdengar ramai. Anak-anak mengisi waktu dengan saling bercanda. Sebagian berkerumun untuk ghibah dan selebihnya bermain lempar-lemparan pesawat kertas. Dylan yang duduk di bangku paling belakang pas samping jendela terlihat santai membaca buku. Dia tak peduli akan suasana sekitar, dan tak pula ada yang mengajaknya bergabung karena sudah paham akan sifatnya.

Tiba-tiba sebuah pesawat kertas mendarat di tengah buku yang Dylan baca. Suasana yang gaduh menjadi sedikit sepi karena mulut-mulut yang semula berteriak heboh selama lempar-lemparan tadi terdiam. Mereka saling pandang, lalu saling dorong untuk mengambil kembali pesawatnya. Dylan diam menatap si benda jatuh, lantas dengan santai dia menaruhnya di atas meja. Sama sekali tak peduli akan siapa pelakunya.

"Sori, aku gak sengaja." Seorang cewek berdiri di dekat Dylan, hendak mengambil kembali miliknya. Dia berharap cowok acuh itu memandangnya, entah sekedar mata ketemu mata atau marah-marah pun tak apa. Soalnya, rasanya hampir tak pernah Dylan mau bertatap mata dengan siapapun jika tak sengaja.

"Tak apa," jawab Dylan yang tanpa mengalihkan pandangan dari buku.

Cewek itu cemberut dan memaki Dylan dalam hati. Sombong adalah kata yang pantas di sematkan pada manusia yang tak butuh teman seperti Dylan. Tapi meski dongkol, dia berdebar juga saat mencomot si pesawat kertas. Dari jarak dekat sang juara kelas itu terlihat makin ganteng. Baunya wangi pula.

Tak berapa lama sang guru pun memasuki kelas, membuat seisi kelas berhamburan ke tempat duduknya masing-masing. Mereka bersiap untuk memulai pertempuran dengan matematika. Eh tapi, ada sesuatu yang berbeda pagi ini. Pak guru membawa seorang anak laki-laki bersamanya. Dia tinggi dan cakep.

"Selamat pagi anak-anak!"

Semua serentak menjawab, kecuali Dylan yang masih membaca buku.

"Maaf bapak terlambat masuk kelas karena masih ada perlu dengan calon teman baru kalian."

Suasana kelas kembali heboh, terutama dari para ceweknya. Pagi-pagi sudah dapat rejeki dapat teman baru yang ganteng.

"Tolong bersikap baik padanya. Terutama buat cewek-cewek nih, jaga sikap kalian. Boleh pedekate tapi jangan over. Yang cowok gak boleh ikutan pedekate, ngerti?"

Seisi kelas mengeluarkan koor, "Huuuu!!!" seraya tertawa karena kelucuan guru mereka.

"Oke, stop! Stop! Bapak tahu kalian sudah tidak sabar. Silahkan perkenalkan diri kamu, murid baru!"

Bagai dikomando, satu kelas langsung hening. Mereka menunggu sang murid baru membuka suara. Apakah suaranya nanti semacho penampilannya?

"Perkenalkan aku Levi Julian. Panggil saja Levi. Salam kenal."

Uwuu!! Gadis-gadis penghuni kelas itu seketika meleleh. Satu lagi makhluk cakep yang akan hadir dalam hari-hari mereka di sekolah. Semoga kali ini lebih ramah. "Salam kenal juga, Levi!!!" jawab mereka serentak. Bahkan ada yang ganjen dengan mengacungkan dua jari tanda cinta.

"Tempat dudukmu di sana." Pak Guru menunjuk bangku kosong di belakang Dylan.

Levi berterimakasih lalu mengikuti arah yang gurunya tunjukkan. Sepanjang dia melangkah, mata-mata terpesona terus mengikuti. Tapi Levi sendiri malah menjatuhkan pandangan pada satu anak laki-laki yang dari tadi tak terpengaruh oleh kehadirannya. Anak itu cuek membaca buku meski kelas begitu ramai, seolah berada di dunianya sendiri. Levi lewat dan menggeser kursi pun masih tak dipedulikan. Barulah ketika pelajaran dimulai anak itu meletakkan bacaannya.

Seringai tipis terukir di bibir Levi, heran dengan tingkah cowok di depannya. Dia yang berada tepat dibelakang dianggap angin lalu seakan kehadirannya tak kasat mata. Selama pelajaran matematika berlangsung pun tidak ada tanda-tanda dia akan disapa. Bukan karena segitunya ingin dinotice sih, cuman masa sama tetangga sendiri gak peduli?

Levi lantas menyobek setengah halaman kertas dari bukunya, menulis sesuatu, meremasnya, lalu melempar ke meja depan. Dylan tentu saja kaget, tapi dibiarkannya saja gumpalam kertas itu tergeletak di meja. Dia tahu kalau ada anak baru, sadar juga jika anak itu duduk juga di belakangnya, tapi bodo amat gitu. Bukan urusannya

Merasa geram karena diacuhkan, Levi melakukan hal yang sama sekali lagi. Tapi bedanya dia tak meremas si kertas, hanya melipat dengan bagian yang ada tulisannya tetap terlihat.

Pluk!

Dylan melirik. Dahinya berkerut membaca coretan besar yang terpampang di kertas kedua. Baca. Dylan ingin acuh, tapi sepertinya lemparan serupa akan tetap datang dan mengganggunya jika dia tetap diam. Dia membuka lipatan kertas kedua, Baca yag satunya! Oke, Dylan pun mengikuti instruksi dengan membuka gumpalan kertas pertama. Kita ketemu lagi, cowok cumi.

Dylan seketika menoleh ke belakang dan melihat anak baru itu tersenyum sok manis. Oh, bukankah dia si cowok cumi a.k.a gitaris band yang dipuja-pujinya tadi malam?

Cowok cumi? Jadi mereka punya panggilan yang sama?