Chereads / the Twins / Chapter 7 - Seven

Chapter 7 - Seven

Sementara Aaron menjalankan tugasnya, Dylan memanfaatkan hari libur dengan menonton festival konser band SMA. Dia yang penyuka musik tentu tak akan melewatkan even seperti ini, apalagi festival itu dikhususkan bagi band-band anak seusia dirinya. Pasti sangat menarik. Dylan tak bisa bermain band karena minder, jadi dia lebih memilih jadi penikmatnya. Anggap saja sebagai penyaluran hobi terpendam.

Dengan menumpang motor Satria, kendaraan pribadi satu-satunya yang dia miliki bersama Aaron, Dylan menuju tempat konser. Acara festivalnya berlangsung di sebuah lapangan bola yang disulap menjadi pasar rakyat dadakan dengan panggung yang cukup besar di tengahnya. Dimulai dari jam 9 pagi sampai sore, dengan diikuti band-band dari berbagai sekolah di Jakarta.

Saat pertama melihat banner promonya di depan sekolah minggu lalu, Dylan sempat nelangsa. Dia juga pingin punya grup band sendiri, secara dia bisa nyanyi dan main berbagai alat musik. Tapi kehidupan pribadinya menjadi penghalang. Misal dia terjun ke dunia seperti itu, rahasia kelamnya pasti akan terbongkar. Daripada malu, mendiang diam saja.

Lokasi konser sudah sesak dengan manusia saat Dylan tiba disana setengah jam sebelum acara dimulai. Rata-rata mereka tak datang sendiri, pasti dengan teman maupun pacar. Sepertinya cuma Dylan yang pede hadir seorang diri. Ya selain karena gak punya teman karib apalagi pacar, niatnya kemari memang buat nonton musik, bukan kencan.

Yang pertama dilakukan Dylan setiba disana adalah membeli beberapa cemilan dan air mineral. Ragil keluarga Stein itu memang hobi nyemil. Kalau belanja bulanan pasti duitnya banyak keluar untuk membayar snack. Dan Dylan pede saja makan dan minum sendirian, tak mempedulikan banyak pasang mata yang memandangnya. Daripada bengong nunggu konser dimulai, mendingan dia nyicip aneka jajanan yang ada di sana. Semuanya enak-enak. Benar-benar surga.

Acara kemudian dibuka oleh sebuah band beraliran metal, membuat susasana langsung seru. Para penonton seakan terhipnotis untuk ikut berjingkrak-jingkrak. Dylan sendiri meski bukan penggemar musik keras begitu tapi dia masih bisa menikmati. Jarang-jarang kan punya kesempatan menyaksikan langsung seperti ini. Tapi Dylan tak ikutan jejingkrakan karena sedang merekam dengan ponselnya. Palingan cuma hentakan kaki dan kepala doang. Band-band yang tampil selanjutnya juga tak lepas dari kameranya. Pokok nanti akan dia videoin semua yang dia bisa, buat selingan tontonan kapan saja dia mau.

Saking fokusnya merekam, Dylan tak memperhatikan orang-orang disekelilingnya. Meski suara music cukup memekakkan telinga, meski euforia sedang tinggi-tingginya, tapi remaja-remaja di sekitar Dylan tak melepaskan kesempatan untuk menikmati keindahan yang ada pada adiknya Aaron itu. Kaos lengan panjang hijau army dipadu topi warna senada, celana jeans warna biru pucat, kulit putih dan tinggi badan proporsional, dia tampak sangat enak dilihat.

Dylan yang dipandangi, entah sama cewek maupun cowok, benar-benar tak merasa kalau dia jadi pusat perhatian. Pikirannya hanya tertuju pada apa yang dia ingini, sebodo amat dengan yang lain. Dia cuek saja bergoyang dan ikut bernyanyi mengikuti aliran lagu. Sikapnya yang acuh dan malas lihat kanan kiri membuat jiwa-jiwa liar yang ingin berkenalan dengannya mengurungkan niat. Pemandangan yang bisa dilihat kemudian adalah, Dylan merekam panggung sementara banyak ponsel lain yang malah merekam atau sekedar memfotonya.

Hari semakin siang, jam main cinderella sudah habis dan harus segera pulang. Dylan melihat jam tangannya, sudah mendekati angka 1. Cepat amat, gak terasa ujug-ujug sudah jam segitu aja. Tadi diwanti-wanti sama Aaron supaya dia pulang sebelum jam 2. Jangan kelamaan main, katanya.

Dylan mengelus perutnya yang kembali lapar. Sebelum pulang dia memutuskan untuk nyari cemilan dulu, sekalian beliin Aaron sesuatu. Jadilah Dylan berkeliling seperti tadi menyusuri beragam gerobak jajanan beraneka warna yang seakan-akan melambaikan tangan minta dibeli. Langkah Dylan kemudian terhenti pada penjaja seafood bakar. Mulutnya langsung ileran begitu mencium baunya. Enak, gurih, manis dan juicy.

"Mas, cumi bakarnya satu!"

Mas penjualnya mengiyakan.

Dylan berdiri di samping alat panggangan, menyaksikan tahap demi tahap bagaimana pesanan pelanggan yang berjubel melewati proses pemanggangan. Ada bakso, sosis, dan udang big size yang dijajar di tusuk sate, lobster, juga cumi. Lidah Dylan berdecap. Dia kemudian minta nambah pesanan lagi. 4 lobster bakar, buat dia dan Aaron di rumah nanti.

Cuminya sudah ready, tinggal lobsternya yang belum. Sambil nunggu pesanannya siap, Dylan duduk di kursi yang telah disedian dan memakan cumi bakarnya dengan bahagia. Tidak ada yang lebih indah di dunia ini selain musik dan makanan.

Lagi enak-enaknya makan, ada seseorang yang menaruh kotak karton berisi cumi bakar di mejanya. Dylan melihat sekilas si cumi, lalu kembali asik sendiri. Tak peduli siapa yang menaruh makanan itu di depannya.

Selama menyantap, pikiran Dylan terus teringat kakaknya. Cumi bakar ini enak pakai banget, tapi kalau dibawa pulang sudah pasti jadi dingin. Kalau dipanasin lagi malah alot. Bukannya Aaron gak pernah makan yang kayak gini, tapi masa iya dia makan enak sendirian. Tapi mungkin saja kakaknya itu sudah dijamu yang lebih enak-enak di istana sana. Semoga saja begitu.

"Ada saos di dagumu."

Huh?! Dylan mengangkat kepala dan melihat cowok di depannya mengulurkan tisu.

"Bumbunya nyangkut di dagumu," ulang si cowok.

Dylan meraih tisu itu lalu mengelap dagunya. Eh iya bener. Kok dia bisa gak sadar makannya belepotan? Well, bodo amat.

"Thanks."

"Sama-sama."

Kembali acuh, Dylan fokus lagi ke cumi tersayangnya. Dilahapnya suapan terakhir. Nyam! Pas menjilat bumbu yang tertinggal di jempol, dia menyender ke kursi dan otomatis pandangannya jadi mengarah ke depan. Dilihatnya cowok tadi sedang menatapnya. Gerakan menjilat Dylan terhenti dengan jari yang masih menempel di bibir.

"Kenapa? Apa ada bumbu lagi di mukaku?"

Cowok yang mungkin seumuran dengannya itu tersenyum geli. "Enggak. Cuman lucu aja lihat kamu makan."

"Lucu? Emang aku makan sambil nyanyi?"

"Pfftt!!" Cowok itu tertawa, bikin Dylan jadi keki.

"Kalau gak ada cemong di mukaku ya udah."

Dylan berdiri dan meninggalkan mejanya menuju mas penjual buat ambil pesanan. Setelah transaksi selesai, dia buru-buru melangkah pergi. Sudah jam 2 lebih. Gara-gara tergoda seafood dia jadi lupa waktu. Namun sial, pas balik badan dia menabrak seseorang. Bruk! Kepala Dylan terantuk sesuatu.

"Sorry!" pekiknya panik sembari memegangi kepalanya yang kejedot tadi. Tapi alangkah mengejutkan, ternyata yang dia tabrak adalah si cowok tisu!

"It's okay." Cowok itu mengusap dagunya. Oh, yang Dylan tabrak tadi dagu orang itu.

"Maaf, dagumu pasti sakit."

"Sedikit, tapi tak apa."

"Ya udah kalau gitu. Sori banget, bro. Aku beneran gak sengaja. Bye!"

Dylan melangkah tergesa, tanpa perasaan meninggalkan korban yang masih kesakitan. Baginya sudah cukup dengan meminta maaf. Mau apalagi? Digendong terus dibawa ke rumah sakit? Lebay! Lagian dia memang sedang terburu, takut Aaron marah karena pulangnya terlalu ngaret, jadi harus cepat-cepat. Semoga saja jalanan gak macet.

Sesampainya di rumah, Dylan seperti maling yang masuk dengan mengendap-endap. Pintu tak terkunci menandakan kakaknya sudah pulang. Iyalah, sekarang jam berapa juga. Dilihatnya suasana sekitar yang sepi. Tampak pintu kamar Aaron tertutup, pasti dia sedang tidur. Good.

Kaki Dylan melangkah perlahan. Suasana sunyi membuat suara sekecil apapun jadi terdengar jelas. Kakinya serasa berjalan di atas tuts piano yang berbunyi setiap kali dia mendaratkan telapaknya.

Baru beberapa langkah masuk, dia dikejutkan oleh sosok ganteng yang sedang duduk di ruang tengah. Rambut Dylan seketika berdiri saking kagetnya. Kirain Aaron di kamar, tak tahunya di situ. Tapi apa yang sedang dilakukan kakaknya? Ruang tengah adalah tempat buat nonton televsi, film, ngegame atau apapun. Namun Aaron di sana hanya diam memandangi layar tivi yang mati.

Dylan duduk di samping sang kakak setelah menaruh bungkusan lobster di atas meja. "Kamu ngapain, Ar?" tanyanya prihatin. Wajah Aaron tampak serius.

"Dy, kamu telat pulang."

Nafas Dylan tercekat. "Maaf. Tadi aku nyari makan dulu di sana. Laper."

Aaron menatap adiknya. "Sekarang masih lapar?"

Dylan mengangguk. "Aku beli lobster banyak buat makan siang. Kamu sudah makan?"

"Belum. Nunggu kamu pulang."

"Ya udah aku ambilin piring sama nasi." Dylan bangkit, namun tangannya ditahan Aaron.

"Aku ingin ngomong sesuatu sama kamu. Sebentar saja."

Kalau Aaron sudah bilang begitu berarti ada hal penting yang ingin dikatakannya. Mereka hampir tak pernah duduk berdua membicarakan hal serius, kecuali dulu pas Aaron ngajak dia buat hijrah meninggalkan rumah. Mereka yang masih sangat muda kala itu, mau lulus SMP, sudah mikir jauh buat pergi dari papa dan sang ayah. Meski hidup masih ditanggung orang tua, tapi setidaknya tak ada lagi beban di hati setiap melihat interaksi dua orang yang tak patut ditiru itu.

Dylan kembali duduk. Wajahnya tampak tegang. Dia jadi deg-degan tiap diajak bicara serius begini. Kali ini apalagi. Apa papa mereka menyuruh pulang, atau uang jajan di stop?

"Dy, aku sudah memikirkannya matang-matang. Tinggal kamu setuju apa tidak."

Dylan menunggu. Selera makan lobsternya sudah lenyap berganti perutnya yang terasa mulas karena cemas.

"Boleh aku beli motor lagi?"

Eh? Dylan menatap kakaknya heran. Jadi mau ngomongin beli motor toh?

"Kamu nakutin aku aja, Ar. Kalau mau beli ya beli aja. Tinggal telepon papa kan beres. Beli mobil pasti juga diijinin."

"Tapi aku gak mau minta ke papa."

"Lah terus?"

"Kamu lupa kita pernah berjanji apa?"

Dylan menggaruk kepalanya. "Ingat sih."

Dulu ketika memutuskan sekolah di luar kota, mereka pernah mengucap janji tak akan pernah meminta lebih dari yang papanya berikan. Lha wong ngambek kok masih nuntut banyak. Motor yang sekarang saja itu murni pemberian sang papa. Mau beli sendiri kan belum mampu. Dan oleh karena ingin menjalani hidup yang tak mencolok, mereka memilih motor yang murah.

"Uang dari papa bulan depan rencananya akan kubelikan motor baru. Cash. Buatku berangkat ngajar. Aku gak enak sama tetangga, masa dijemput dan diantar pulang sama mobil mewah istana. Dikiranya nanti aku jadi simpanan orang. Boleh gak?"

Dylan mengerti sekarang kenapa kakaknya galau. Rupanya ini menyangkut uang jatah sebulan. Biarpun mereka hidup sederhana, tapi ada saatnya jiwa anak konglomerat masih susah buat ditinggalkan. Makan yang enak-enak, pulsa, bayar wifi, loundry, beli perkakas rumah atau baju bermerk, alat musik, dan masih banyak lagi. Itu belum termasuk SPP sekolah yang selangit dan juga sewa rumah. Meski jatah bulanan selalu ada sisa buat ditabung, tapi merelakan sebagian besar untuk beli motor adalah hal yang cukup berat.

"Beli aja. Toh cuma sebulan. Kita kan bisa bayar-bayar kebutuhan pakai uang tabungan."

Aaron menatap haru ke adiknya. Dylan memang saudara yang ter-the best.

"Thanks," ujar Aaron yang kemudian memeluk bahu sang adik. "Tapi kita nanti hidup irit. Jajan harus dikurangi, jangan belanja yang gak perlu, dan makan seadanya."

Dylan meringis mendengar poin pertama dan terakhir yang disebutkan kakaknya. Dua hal itu adalah yang paling penting untuknya. Dia selama ini tak pernah bisa ngambek ke Aaron, atau segan sama kakaknya, adalah karena Aaron pandai masak. Dan mereka selalu belinya bahan makanan yang kelas mall, jadi mahal. Sudah jajannya ngegas, makan sehari-hari juga yang kelas atas.

"Iya. Aku paham," jawab Dylan dengan perasaan pilu. Bye bye, makanan mahal!

Aaron melepas pelukannya. "Nah, sekarang kita isi perut. Tadi dari istana aku dibawain banyak makanan yang enak-enak. Kamu pasti suka."

Mata Dylan berbinar. Iya ding, Aaron kan kerja di istana presiden. Semoga saja setiap minggu kakaknya selalu dibawain makanan enak dari sana. Hohoho!

Welcome delicious food!